Sang Penggubah nazhom ini – semoga Allah meridhoinya dan memberi kita manfaat dengan berkatnya – mengatakan:
وَاحْفَظْ لِسَانَكَ مِنْ طَعْنٍ عَلَى أَحَدٍ * مِنَ الْعِبَادِ وَمِنْ نَقْلٍ وَمِنْ كَذِبِ
artinya: Dan jagalah lidahmu dari mencela seseorang * dari hamba-hamba (Allah) dan dari memindahkan (omongan, yakni namimah / mengadu domba) dan dari dusta / bohong.
Yakni peliharalah dan jagalah sehingga terhindar dari jatuhnya ia dalam membicarkan aib salah seorang dari hamba-hamba Allah, dan dari memindahkan perkataan tentang aib orang tersebut atau memindahka perkataan darinya kepada orang lain. Dan jaglah pula dari dusta yakni mengkabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Adapun makna ‘mencela seorang muslim’ yakni yaitu mengadu domba mereka (namiimah) dan membicarkan aib mereka (ghiibah).
Al-Habib Abdulloh Al-Haddad sendiri berkata: “Batasan ghibah secara syari’at adalah engkau menyebut-nyebut saudaramu sesama muslim dibelakangnya (ketika ia tidak di hadapnmu) dengan sesuatu yang dia benci seandainya ia mendengarnya, baik itu berupa: kekurangannya dalam hal beragama, atau pada badannya, atau pada keluarganya, atau anaknya, bahakan walaupun tentang gayanya berjalan, ataau pakaiannya dan segala yang berkaitan dengan dirinya, begitu juga engkau menulis apa yang dia benci, dan engkau memberi isyarat kepadanya dengan tangan (dengan maksud menghina). Sedangkan batasan namiimah adalah meemindahkan perkataan dari seseorang kepada orang lain dengan maksud meruak hubungan tau memfitnah. Kesimpulannya, bahaya lidah adalah sangat besar sekali, dan urusannya sangat mengerikan, dan menjaga lisan adalah sangat penting sekali. Sebab lisan adalah anggota tubuh yang paling dominant dan paling kuat untuk mengarahkan seseorang kedalam kebinasan, jika dia tidak menjaganya dari segala yang diharamkan oleh Allah atasnya.” (Sabda Nabi SAW:)
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ ألْسِنَتِهِمْ
Artinya: “Dan bukankah manusia ditelungkupkan diatas wajah mereka dalam api neraka hanya karena menuai hasil / keburukan lisan mereka.”
Sedangkan lisan itu kecil bentuknya namun besar ketaatan dan dosanya, dan tak ada yang dapat menyelamatkan seseorang dari bahaya lisan kecuali diam, dan tidak berbicara kecuali dengan kebaikan atau dengan sesuatu yang menolong kepada kebaikan.
Allah SWT berfirman:
لَاخَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ..... (النساء: 114)
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia….” (Q.S An-Nisaa’: 114)
Dan Allah SWT juga berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas (roqiib) yang selalu hadir ('atiid).” (Q.S Qoof: 18)
Dririwayatkan ‘Uqbah bin ‘Aamir RA, ia berkata: “Aku berkata: “Ya Rasulalloh, apakah keselamatan itu?” Beliau bersabda:
أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ
Artinya: “Peliharalah atas dirimu lisanmu, dan hendaknya engkau merasa cukup dengan rumahmu (yakni jagalah dosa dengan cara berdiam di rumah), dan menangislah atas dosa-dosamu.”
مَنْ وُقِيَ شَرُّ قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبِِهِ وَلَقْلَقِهِ وُقِيَ الشَّرُّ كُلُّهُ
Artinya: “Barangsiapa yang dijaga dari kejelekan perutnya, kemaluannya, dan lisannya, maka dia telah dijaga dari semua kejelekan.” Sebab syhawat yang tiga itu sering membinasakan manusia.
Ibnu Abbas – semoga Allah meridhoi keduanya – telah berkata: “Ada lima hal yang lebih berharga daripada uang yang diwakafkan di jalan Allah, diantaranya adalah: janganlah engkau berbicara dengan sesuatu yang tidak ada gunanya bagimu, sebab itu adalah suatu pemborosan, dan jangalah engkau merasa aman dari dosa, dan jangalah engkau berbicara tentang sesuatu yang berguna bagimu hingga engkau mendapati tempat yang cocok untuknya, sebab terkadang orang berbicara dengan sesuatu yang bermanfaat namun ia meletakkannya di bukan pada tempatnya sehingga ia pun menjadi sengsara.”
Ibrohim At-Taymiy berkata: “Seorang mukmin, jika ia hendak berbicara maka ia melihat apakah ada kebaikan jika ia bicara, ketika ia lihat kebaikan maka ia pun berbicara dan jika tidak maka ia diam. Sedangkan orang yang ahli maksiat mengumbar lisannya begitu saja.” Amr bin Dinar berkata: “Seseorang berbicara di dekat Nabi SAW lalu orang itu pun banyak bicaranya, maka beliau pun bersabda kepadanya: “Berapa pintu yang menutup mulutmu?” orang itu menjawab: “Dua bibirku dan gigi-gigiku.” Rasul bersabda: “Tidakkah itu dapat mencegah pembicaraanmu.”
Di antara penyakit / bahaya lisan: perdebatan (miroo’) dan perbantahan (jidaal). Diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ
Artinya: “Tidaklah tersesat sebuah kaum pun kecuali karena mereka diberikan kemampuan untuk berdebat.”
Beliau juga bersabda:
لاَ يَسْتَكْمِلُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يَدَعَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
Artinya: “Tidak ada seorang hambapun yang dapat menyempurnakan hakikat keimanan hingga dia meninggalkan berdebar walaupun dia benar.”
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Yang dimaksud dengan perdebatan di sini adalah menyanggah perkataan orang lain dengan menunjukkan cela / kesalahan dalam perkataan itu baik dari segi lafaz atau makna atau dalam kesalahan maksud si pembicara, baik dari segi susunan perkataan, atau tatabahasa, atau bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan perbantahan adalah mengalahkan atau melemahkan orang lain serta menghinakannya dan menjatuhkannya dengan mengkritik perkataannya. Baik perdebatan maupun perbantahan merupakan maksiat yang amat buruk. Sebab mengganggu / menyakiti perasaan kaum muslim sangatlah haram. Sebab telah datang ancaman yang berat tentangnya. Dan tak ada keselamatan dari itu kecuali dengan diam dari segala perkataan yang tidak berdosa jika kita diam darinya.”
Termasuk penyakit / bahaya lisan adalah pertengkaran. Rasululloh SAW bersabda:
مَنْ جَادَلَ فِي خُصُوْمَةٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سُخْطِ اللهِ تَعَالَى حَتَّى يَنْـَزعَ
Artinya: “Barangsiapa yang berbantah-bantahan dalam suatu pertengkaran tanpa ada ilmu maka dia senantiasa dalam kemurkaan Allah Yang Maha Tinggi hingga dia mencabutnya / meninggalkannya.”
Tidak ada seorang pun dari orang yang waro’ / hati-hati dalam masalah agama yang bertengkar dengan orang lain. Seandainya tidak ada akibat apapun dalam pertengkaran kecuali dapat membangkitkan kejengkelan dan amarah serta mengeruhkan perasaan, maka cukuplah itu (sebagai akibat yang buruk). Pertengkaran adalah asal dari segala kejelekan dalam masalah agama dan dunia. Bagaimana tidak, sedangkan orang-orang yang suka beertengkar, berdebat, dan berbantah-bantahan kehilangan pahala yang besar yang diberikan kepada orang yang berkata-kata baik, dalam Firman-Nya:
...وَقُوْلٌوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا.... (البقرة: 83)
Artinya: “…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…” (Q.S Al-Baqoroh: 83)
Dan sabda Rasululloh SAW:
اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
Artinya: “Kata-kata yang baik adalah sedekah.”
Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits yang lain:
يُمْكِنُكُمْ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ طِيْبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ
Artinya: “Yang dapat memasukkanmu ke surga (di antaranya) perkataan yang baik, dan memberi makan kepada orang lain.”
Di antara bahaya / penyakit lidah yang buruk adalah melaknat, mencela dan berdoa buruk kepada orang lain, walaupun kepada hewan sekalipun.
Diriwayatkan dari Nabi SAW:
اَلْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِلَعَّانٍ
Artinya: “Orang mukmin bukanlah seorang yang suka melaknat.”
Diriwayatkan juga dari Nabi SAW:
اَلْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ
Artinya: “Dua orang yang saling mencela adalah seperti dua setan yang saling mencaci-maki.”
مَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ مِثْلُ أَنْ يَقْتُلَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang melaknat orang mukmin maka dia seperti membunuhnya.”
Dan di antara penyakit lisan adalah banyak bercanda / bersenda gurau, dan terlalu sering serta berlebihan di dalam hal tersebut, dan terlalu banyak tertawa. Tentang masalah ini akn di jelaskan secara tersendiri setelah ini.
Di antara penyakit lisan adalah menyebarkan rahasia, mengejek, dan menghina orang lain. Allah SWT berfirman:
... لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُوْنُوْا خَيْرًا مِنْهُمْ، وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنّ ... (الحجرات: 11)
Artinya: “…janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebik baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan)…” (Q.S Al-Chujuroot: 11)
Diriwayatkan dari Nabi SAW:
إِنَّ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ بِالنَّاسِ يُفْتَحُ ِلأَحَدِهِمْ بَابُ الْجَنَّةِ فَيُقَالُ: هَلُمَّ هَلُمَّ فَيَجِيْءُ بِكَرْبِهِ وَغَمِّهِ فَإِذَا جَاءَ أُغْلِقَ دُوْنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengolok-olok orang lain kelak akan dibukakan bagi mereka pintu surga lalu dikatakan kepada mereka: “Marilah, marilah kemari.” Lalu datanglah orang itu dengan segala kesumpekannya dan kegelisahannya, namun ketika ia telah sampai dekat pintu surga itu, lalu tiba-tiba ditutuplah pintu itu tanpa dia bisa memasukinya.”
Dikatakan oleh Al-Hasan bahwa termasuk khianat adalah engkau membicarakan rahasia saudaramu.
Dan termasuk penyakit lisan adalah memuji, adapun mencela maka masuk di dalamnya ghibah dan namiimah, dan nanti akan kita bicarakan tentang keduanya itu insyaa Allah. diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
إِذَا مَدَحْتَ أَخَاكَ فِي وَجْهِهِ فَكَأَنَّمَا أَمْرَرْتَ الْمُوْسَى عَلَى حَلَقِهِ
Artinya: “Jika engkau memuji saudaramu di depan mukanya maka seolah-olah engkau melewatkan pisau di atas lehernya.”
Rasululloh SAW mengatakan kepada orang yang memuji seseorang:
عَقَرْتَ الرَّجُلَ عَقَرَكَ اللهُ
Artinya: “Engkau telah menggorok (leher) orang itu, semoga Allah menggorokmu.”
Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
اُحْثُوْا فِيْ وُجُوْهِ الْمَدَّاحِيْنَ التُّرَابَ
Artinya: “Lemparkanlah pasir di muka / wajah orang yang suka memuji.”
Dan di antara penyakit lisan adalah ghibah (membicarakan aib orang lain). Allah SWT berfirman:
... وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ... (الحجرات: 12)
Artinya: “…dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik…” (Q.S Al-Chujuroot: 12)
Allah SWT juga berfirman:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (الهمزة: 1)
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (Q.S Al-Humazah: 1)
Mujahid berkata: “yang dimaksud pengumpat adalah orang yang suka mencacat orang, sedangkan yang dimaksud dengan pencela adalah orang yang suka memkana daging manusia (yakni membicarakan aibnya).” Rasululloh SAW bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّ اْلغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا
Artinya: “Hati-hatilah kalian terhadap ghibah, karena sesunguhnya ghibah lebih parah dari zina.”
Diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظْفَارِهِمْ فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
artinya: Pada malam aku di-isro’-kan aku melewati sebuah kaum yang mencakari muka merekaa sendiri dengan kuku-kuku mereka, maka aku pun bertanya: “Ya Jibril, siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: “Mereka itu ialah orang-orang yang suka membicarakan kejelekan orang lain dan menghancurkan kehormatan / nama baik orang lain.”
Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لاَ تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَبَّعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَتَهُ يَفْضَحَهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum beriman dengan hatinya, janganlah kalian saling ghibah sesama muslim, dan janganlah kalian korek-korek kesalahan / aib mereka. Sebab barangsiapa yang mengorek-ngorek kesalahan / aib saudaranya maka Allah akan mengorek-ngorek aibnya. Dan barangsiapa orang yang dikorek aibnya oleh Allah maka Allah akan membuatnya malu walau dia berada di dalam rumahnya.”
Diriwayatkan pula:
مَا النَّارُ فِي الْيَبِيْسِ بِأَسْرَعَ مِنَ الْغِيْبَةِ فِي حَسَنَاتِ الْعَبْدِ
Artinya: “Cepatnya api dalam membakar dedaunan kering tidaklah lebih cepat dari pada ghibah membakar / menghabiskan amal kebaikan seorang hamba.”
Al-Hasan – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Demi Allah, sungguh ghibah lebih cepat merusak agama seorang mukmin dari pada hewan yang memakan jasadanya.”
Termasuk contoh ghibah adalah engkau mengatakan: “Si fulan buta, atau hitam atau hina atau tukang sampah atau bakhil / pelit atau lemah atau tukang bohong atau mengentengkan salat atau meremehkan zakat atau tidak tepat ruku’nya atau kurang sopa atau banyak bicara atau banyak tidur atau luas lengan bajunya atau kotor bajunya.” Dan Al-Imam Al-Ghozzaliy telah menukil kesepakatan para ulama umat ini bahwa orang yang menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu yang dibenci oleh orang itu maka ia telah berbuat ghibah, walaupun yang disebut itu merupakan kebenaran. Sebab telah datang riwayat dari Rasululloh SAW bahwa beliau bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya: “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.” Seorang bertanya: “Bagaimanakah jika apa yang saya sebuat tentang sudara saya itu benar adanya?” Beliau bersabda: “Jika benar hal itu ada padanya maka engkau telah ghibah (membiacarkan kejelekannya), dan jika hal yang kau sebut itu tak ada padanya maka engkau telah berbohong atas dirinya / memfitnahnya.”
Ghibah disebut dengan tiga nama: ghibah, buhtan, dan ifk, dan semuanya itu terdapat dalam Kitabulloh. Adapun ghibah adalah engkau menyebut-nyebut apa yang ada padanya, sedangkan buhtan (fitnah) adalah engkau menyebut-nyebut sesuatu yang tidak ada padanya, sedang ifk adalah engkau mengatakan apa saja yang sampai padamu (tanpa memikirkan apakah itu benar atau dusta).
Hujjataul Islam berkata: “Termasuk ghibah yang keji adalah perkataan seseorang: “Semoga Allah memperbaiki si Fulan, dahulu dia berbuat baik kemudian dia meninggalkannya” atau perkataan yang semacam itu, seperti perkataannya: “Si Fulan diberi cobaan (dengan terjerumus kepada kemaksiatan) sebagaimana kita telah diberi cobaan, semoga Allah menerima taubat kita dan taubatnya” namun dia ucapkan itu bukan dengan maksud mendoakan (namun mengejek).
Ketahuilah sesungguhnya orang yang mendengarkkan ghibah dan diam atas ghibah itu, adalah sama dosanya dengan orang yang melakukan ghibah itu sendiri, jika dia ridho dengan ghibah-nya itu. Dan wajib bagi orang tersebut untuk mengingkari perbuatan ghibah itu dengan lisannya. Jika dia tidak bisa, maka hendaknya dia wajib meninggalkan tempat itu, jika tidak mampu maka hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan tidak boleh sama sekali ridho dengan ghibah secara mutlak. Dan tidak cukup untuk mengugurkan dirinya dari dosa hanya dengan dia berkata: “Diamlah” sedangkan dia ridho / senang dengan ghibah itu, sebab itu adalah sebuah kemunafikan, dan tidak cukup pula jika ia hanya memberi isyarat dengan tangan atau alis atau dengan mengerutkan dahi untuk melarang ghibah tersebut. Tetapi haruslah ia melarang secara tegas dan jelas.
Haram ghibah kecuali dalam enam perkara, yang di nazhomkan oleh sebagian ulama dalam perkataannya:
لَقَبٌ وَمُسْتَفْتٍ وَفِسْقٌ ظَاهِرُ * وَالظُّلْمُ تَحْذِيْرٌ مُزِيْلُ مُنْكَرٍ
Maknanya:
1. Laqobun (julukan), yakni jika orang yang dimaksud tidak di kenal kecuali jika disebut julukannya, misalnya: Fulan si pincang itu.
2. Mustaftin (orang yang meminta fatwa), umpamanya dia ajukan masalahnya yang terkait dengan seseorang dan untuk meminta fatwa itu ia diperlukan untuk menyebut perbuatan buruk orang yang dimaksud.
3. Fisqun zhoohiru (kefasikan yang nyata), yakni jika seseorang sudah terkenal fasik / suka berbuat maksiat, misalnya: si fulan teah terkenal suka mabuk-mabukan, maka tidak berdosa jika seseorang menyebut tentag sifatnya itu, sebab tanpa disebut pun orang sudah mengetahui sifat buruknya itu.
4. Azh-zhulmu (kezaliman) yakni seseorang dizalimi oleh orang lain, maka untuk melaporkan kezaliman orang tersebut maka ia diizinkan untuk menyebut nama orang yang menzaliminya dan menceriterakan tentang kezalimannya.
5. Tachdziirun (memberi peringatan), misalnya: ada seseorang yang suka menipu dalam berdagang, maka ada satu orang lain ingin berbisnis denganorang tersebut, lalu kita memperingatkannya bahwa orang yang dimaksud itu suka menipu, tujuan kita agar saudara kita tadi tidak tertipu oleh orang yang dimaksud, maka ini bukanlah ghibah yang diharamkan.
6. Muziilu munkarin (untuk menghilangkan kemunkaran).
Maka hendaklah kita berhati-hati dalam masalah ini. sebab dosa ghibah amatlah besar dan siksanya amatlah pedih. Maka wajiblah untuk bertaubat dari ghibah dengan menyesal, meninggalkan perbuatan itu, dan bertekad untuk tidak kembali lagi kepada perbuatan tersebut,dan meminta keridhoan orang yang pernah dia bicarakan aibnya. Sebab dosa ghibah termasuk kezaliman terhadap sesame hamba Allah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Rasululloh SAW, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ ِلأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فِيْ عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَلْيَتَحَلَّلْهَا مِنْهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَيْسَ هُنَاكَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ يُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَزِيْدَتْ عَلَى سَيِّئَاتِهِ
Artinya: “Barangsiapa yang masih memiliki dosa perbuatan zalim kepada saudaranya baik dalam hal kehormatannya maupun hartanya maka hendaklah dia meminta keridhoan saudara itu sebelum datang suatu hari yang mana pada hari itu tidak berlaku lagi dinar dan dirham. Maka diambillah amal kebaikannya (sebagai bayaran kepada suadara yang dizaliminya itu), dan jika ia tidak memiliki amal kebaikan maka akan diambil dari kejelekan / dosa saudara yang dizalimi itu dan akan ditambahkan itu kepada dosa orang yang menzaliminya.”
Dan hendaknya bagi orang yang dimintai kerelaan oleh saudaranya hendaklah ia merelakannya dan memaafkannya. Al-Hasan – semoga Allah merahmatinya – berakata: “Jika rapa ummat telah berlutut di atas lututnya di hadapan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung pada hari kiamat nanti maka dipangillah: “Hendaklah bangun orang-orang yang pahalanya di sisi Allah. maka tidaklah bangun kecuali orang-orang yang memaafkan kezaliman orang lain terhadapnya.”
Termasuk penyakit / bahaya lisan adalah: namiimah (mengadu domba), merusak hubungan antara satu orang dengan yang lain, dan perkataan orang yang musafik. Para ulama salaf mengatakan bawa namiimah adalah memindahkan omongan antara satu orang dengan orang lain dengan maksud merusak dan menimbulkan fitnah, seperti misalnya seseorang berkata kepadamu: “Si fulan membicarakanmu begibi dan begitu” sedang dia membicarakan sesuatu yang mana seseorang tidak senang jika hal tersebut disingkap kepada orang lain, walaupun dengan isyarat, lambang ataupun tulisan. Jika kesalaha orang tesebut dia adukan kepada seorang yang memiliki kekuasaan, bukan dengan maksud mencegah kemunkaran, namun agar orang yang dimaksud mendapat celaka atau semacanya, maka ini disebut si’aayah. Dan jika ia memindahkan omongan dari kedua belah pihak atau lebih maka orang itu disebut dzuu lisaanain (yang memiliki dua lidah). Hal ini lebih buruk dari adu domba (namiimah). Sebab seorang bisa disebut tukang adu domba hanya dengan memindahkan omongan dari salah satu pihak saja, sedangkan dalam hal ini orang yang memiliki dua lidah (munafik) memindahkan omongan dari dua belah pihak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. عُتُلٍّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ.(القلم: 10 – 13)
Artinya: “Dan janganlah kamu ikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (Q.S Al-Qolam: 10 – 13)
Yang dimaksud dengan zaniim (yang terkenal kejahatannya) adalah anak angkat. Sedangkan Abdulloh bin Al-Mubarok berkesimpulan tentang ayat ini bahwa orang yang suka mengadu domba tidak ada kecuali dari anak zina dan itulah yang dimaksud anak angkat. Rasululloh SAW bersabda:
شِرَارُ عِبَادِ اللهِ الْمَشَّاؤُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ
Artinya: “Paling buruknya hamba Allah adalah orang yang selalu berjalan untuk mengadu domba, yang suka memisahkan antara orang-orang yang saling berkasih sayang.”
Rasul SAW juga bersabda:
إِنَّ النَّمِيْمَةَ وَالْحِقْدَ فِي النَّارِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِيْ قَلْبِ مُسْلِمٍ
Artinya: “Sesungguhnya namiimah dan dengki temaptnya adalah di api neraka, dan kedua sifat itu tidak akan berkumpul dalam hati seorang muslim.”
Rasululloh SAW juga bersabda:
لَيْسَ مِنِّيْ ذُوْ حَسَدٍ وَلاَ نَمِيْمَةٍ وَلاَ كَهَانَةٍ وَلاَ أَنَا مِنْهُ ثُمَّ تَلاَ:
Artinya: “Bukanlah termasuk golonganku orang yang memiliki sifat hasud, adu domba, dukun, dan aku pun bukan bagian dari mereka”, kemudian beliau membaca ayat ini:
وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا (الأحزاب: 58)
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S Al-Achzaab: 58)
Rasululloh SAW juga bersabda:
مَنْ أَشَاعَ عَلىَ مُسْلِمٍ كَلِمَةً لِيُشِيْنَهُ بِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ أَشَانَهُ اللهُ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Barangsiapa yang menyebarkan atas seorang muslim sebuah kata-kata yang menjelekkan orang muslim tersebut tanpa ada alasan yang benar maka Allah akan menjelekkan orang itu di dalam api neraka pada hari kiamat.” Dalam riwayat lain:
كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ تَعَالَى أَنْ يُذِيْـبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي النَّارِ
Artinya: “Maka sudah menjadi hak Allah SWT untuk melelehkannya pada hari kiamat di dalam api neraka.”
Maka wajib bagi orang yang didatangi oleh seorang yang berniat mengadu domba untuk melarang orang itu dari perbuatannya, membencinya dan jangan membenarkannya. Sebab orang yang suka mengadu domba adalah dihukumi sebagai seorang yang fasiq dan tertolak kesaksiannya, dan orang itu dibenci di dalam pandangan Allah SWT dan tidak boleh sama sekali meriwayatkan perkataannya sebab itu pun dianggap sebagai namiimah.
Rasululloh SAW bersabda:
تَدْرُوْنَ مَنْ شَرُّ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هَؤُلاَءِ بِحَدِيْثٍ وَهَؤُلاَءِ بِحَدِيْثٍ
Artinya; “Apakah kalian tahu siapa hamba Allah SWT yang paling jelek pada hari kiamat, dia adalah dzul wajhain (orang yang memiliki dua wajah) yang mana dia datang kepada satu kelompok dengan satu omongan dan datang ke kelompok lain dengan omongan yang berbeda.” Atau dalam riwayat lain:
هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ
Artinya: “datang kepada satu keompok dengan satu wajah dan kepada kelompok lain dengan wajah lain.”
Termasuk penyakit / bahaya hati yang membinasakan adalah dusta, sumpah palsu, persaksian palsu, dan janji palsu. Kesemuanya itu masuk dalam bohong atau dusta. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ ...... (النحل: 105)
Artinya: “Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman…” (Q.S An-Nachl: 105)
Allah SWT juga berfirman:
... لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِيْنَ (آل عمران: 61)
Artinya: “…semoga laknat Allah tertimpa atas orang-orang yang berdusta.” (Q.S Aalu ‘Imroon: 61)
Oleh karenanya, dusta dalam perkataan dan sumpah adalah dosa yang buruk dan aib yang keji sekali. Diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
إِنَّ الْكَذِبَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النِّفَاقِ
Artinya: “Sesungguhnya dusta adalah salah satu pintu dari pintu-pintu penyakit munafik.”
Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW:
اَلْكَذِبُ يَنْقُصُ الرِّزْقَ
Artinya: “Dusta dapat mengurangi rezqi.”
Diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
تَقْبَلُوْا لِيْ سِتًّا أَتَقَبَّلُ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ قَالُوْا وَمَا هِيَ؟ قَالَ: إِذَا حَدَثَ أَحَدُكُمْ فََلاَ يَكْذِبُ وَإِذَا وَعَدَ فَلاَ يَخْلُفْ وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلاَ يَخُنْ غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَكُفُّوْا أَيْدِيَكُمْ وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ
Artinya: “Terimalah dariku 6 hal maka aku akan menjamin kalian dengan surga.” Para sahabat bertanya: “Apa itu?” Beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian berbicara maka janganlah berdusta. Jika berjanji maka jangan mengingkari, jika dipercaya maka jangan mengkhianati, jagalah pandangan mata kalian dan jagalah tangan kalian dan jagalah kemaluan kalian.”
Rasululloh SAW bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ بِإِثْمٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْباَنُ
Artinya: “Barangsiapa yang bersumpah demi suatu dosa yang mana dengan sumpah itu dia mengambil harta seorang muslim tanpa hak, maka ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat sedang Allah amat murka kepadanya.”
Rasululloh SAW juga bersabda:
كُلُّ خَصْلَةٍ يُطْبَعُ أَوْ يُطْوَى عَلَيْهَا الْمُؤْمِنُ إِلاَّ الْخِيَانَةُ وَالْكَذِبُ
Artinya: “Setiap perangai / sifat dapat terpateri dan ada pada diri orang yang beriman, kecuali khianat dan dusta.”
Diriwayatkan dari Ummu Kaltsum – semoga Allah meridhoinya – ia berkata:
مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرَخِّصُ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ: اَلرَّجُلُ يَقُوْلُ الْقَوْلَ يُرِيْدُ اْلإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُوْلُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا.
Artinya: “Aku tidak perna mendengar dari Rasululloh SAW bahwa beliau memberi keringanan dalam berbohong kecuali dalam 3 hal: seseorang mengatakan sesuatu untuk tujuan mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, seseorang mengatakan sesuatu dalam peperangan, seorang laki-laki mengatakan sesuatu kepada isterinya atau seorang isteri kepada suaminya.”