Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 Desember 2014

jawaban bagi pengingkar perayaan maulid (bagian 1)

Sanggahan untuk “Jawaban untuk ‘4 Alasan Pembolehan Peringatan Mawlid Nabi’”

Abu Misykah menulis:
Jawaban untuk ''4 Alasan Pembolehan Peringatan Maulid Nabi''
Oleh: Abu Misykah Tamam

Saya (MuhAliBaraqbah) menulis:

Berikut ini – dengan izin Allah – saya akan menanggapi tulisan Abu Misykah tersebut dan saya sertakan pula tulisannya secara utuh dan saya tandai dengan cetak miring.

Saya al-faqiir Muhammad Ali bin Taufiq Baraqbah berkata: “Melihat dari judul yang diberikan oleh penulis (Abu Misykah Tamam) diatas saya mengatakan: “Kalau hanya empat alasan maka itu sangat kurang sekali saya bahkan – insya Allah – akan memberikan 20 alasan atau bahkan lebih jika perlu sebagai dasar pembolehan peringatan mawlid Nabi.”

Abu Misykah menulis:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah.Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Yakni pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H. Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.

Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Saya berkata: “Perkataan anda: Ditilik dari sisi histori…..dan seterusnya perkataan ini sebetulnya tidak perlu untuk ditanggapi sebab pernyataan itu tidak memiliki kekuatan sebagai sebuah pernyataan historis / yang bernilai sejarah, karena anda tidak mencantumkan sumber yang jelas dari fakta historis itu.Anda hanya menyebut atau mencatut nama Al-Maqriziy namun tidak mencantumkan dari karya Al-Maqriziy yang mana anda mengambil keterangan itu. Saya memiliki banyak kitab karya Al-Maqriziy – atau kalau boleh dikatakan hampir semua dari kitab-kitabnya – diantara semua kitab Al-Maqriziy itu hanya ada tiga kitab yang berbicara tentang sejarah Mesir, yaitu:
a.       ‘Iqdul Jawaahiril Asfaath fii Akhbaar Madiinati Fusthooth yang mengabarkan tentang keadaan Mesir sewaktu Mesir masih menjadi bagian dari Kekhalifahan ‘Abbaasiyyah meskipun pada saat itu mulai ada perlawanan atau usaha untuk berdiri sendiri yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Thuluniyyah dan Ikhsyiidiyyah. Kitab ini hilang dan sebelumnya kitab ini sangatlah terkenal hingga masa perang dunia kedua yang mana naskah satu-satunya di simpan di Perpustakaan Negeri di Berlin, Jerman, diantara beberapa kumpulan makhtuuthoh (manuskrip) bernomor 9845, namun setelah itu tidak diketahui bagaimana nasib kitab ini khususnya setelah berkecamuknya Perang Dunia Kedua yang juga menghancurkan Jerman.
b.      Itti’aazhul Chunafaa fii Akhbaaril Khulafaa, atau Itti’aazhul Chunafaa bi Akhbaaril A-immah Al-Faathimiyyiin Al-Khulafaa, yang mana dalam kitab ini Al-Maqriiziy mengetengahkan periode sejarah Mesir berikutnya yaitu pada saat di bawah pemerintahan Dawlah Syi’ah Faathimiyyah, dan juga persaingan antara Dawlah Umayyah di Andalus (Spanyol) dengan Dawlah ‘Abbaasiyyah dalam usaha menguasai Mesir.
c.       As-Suluuk fii Ma’rifati Duwalil Muluuk, dalam kitab ini Al-Maqriiziy mengabarkan tentang Mesir pada masa setelah tumbangnya Dinasti Fathimiyyah dan munculnya dinasti Ayyuubiyyah pada masa Solachuddiin Al-Ayyuubiy. Kitab ini dan kitab Itti’aazhul Chunafaa di atas adalah yang sampai kepada kita pada saat ini, namun naskahnya jarang didapati.
Keterangan tentang tiga kitab Al-Maqriziy di atas saya nukil dari mukaddimah tahqiq kitab Itti’aazhul Chunafaa bi Akhbaaril A-immah Al-Faathimiyyiin Al-Khulafaa halaman 19 – 20 yang mana ditulis oleh Doktor Jamaaluddiin Asy-Syayyaal Dosen Sejarah Islam dan Dekan Fakultas Adab Universitas Al-Iskandaariyyah Jilid 1 Cetakan Kedua tahun 1416 H / 1996 M, Kairo.
Saya telah merujuk kepada kitab Itti’aazhul Chunafaa tersebut untuk mencari pernyataan yang disebutkan oleh Abu Misykah tersebut dan tidak ada satu pun dari penyataan itu yang terdapat didalam kitab tersebut yakni pernyataan anda seperti tersebut di atas yang berbunyi:Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah. Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Tidak ada satu buku sejarah pun yang menyatakan bahwa fathimiyyuun adalah pelopor pertama peringatan mawlid Nabi, bahkan dalam kitab-kitab Al-Maqriziy sekalipun. Memang Al-Maqriziy menyebutkan tentang perayaan mawlid yang dilakukan oleh para penguasa Dinati Fathimiyyah Mesir dalam kitab Itti’aazhul Chunafaa. Yakni sebagaimana diberitakan oleh Al-Maqriziy dalam kitabnya Itti’aazhul Chunafaa’ juz 3 halaman 40 (naskah elektronik dari Maktabah Al-Misykaah) ketika ia (Al-Maqriziy) memberitakan beberapa kejadian penting pada masa kekuasaan Sultan Al-Aamir bi Achkaamillaah salah satu sultan Dinasti Fathimiyyah Mesir pada tahun 517 H ia mengatakan:
وجرى الرسم في عمل المولد الكريم النبوي في ربيع الأول على العادة‏.
Artinya: “Dan berlaku tradisi pengamalan / peringatan Mawlid Yang Mulia dalam bulan Robi’il Awwal menurut kebiasaan.”
Juga pada halaman 42 tersebut:
وعمل في شهر ربيع الأول المولد الكريم وفرق المال على الرسم‏.
Artinya: “Dia (Sultan Al-Aamir) melaksanakan dalam bulan Robii’ul Awwal Mawlid Yang Mulia dan membagi-bagikan harta menurut kebiasaan.”
[sengaja setiap nukilan di sini saya sebutkan dengan lengkap sumbernya untuk menghindari tuduhan manipulasi sumber, yang mana manipulasi sumber ini sering dilakukan oleh orang-orang wahabi atas kroni-kroninya, dalam hal ini saya memiliki bukti bukan asal omong kosong, namun bukan disini tempatnya untuk membicarakan masalah manipulasi sumber yang dilakukan wahabi]

Dari kedua nukilan di atas jelas bahwa itu kejadian pada tahun 517 H meskipun di situ disebutkan ‘menurut kebiasaan’ namun di kitab tersebut tidak dijelaskan tentang peringatan mawlid sebelum tahun 517 H tersebut sehingga tidak diketahui kapan pastinya kebiasaan itu mulai berlangsung di Mesir dalam masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah. Maka dari mana anda mengklaim bahwa mereka adalah pelopor pertana peringatan Mawlid dan disitu tidak disebutkan tentang pembacaan Kisah mawlid Nabi (seperti kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang mana acara mawlid yang biasanya diisi dengan pembacaan kisah mawlid tersebut dituduh sebagai bid’ah dan dicela oleh Abu Misykah dan kawannya [baca: Wahabi CS]) di situ hanya disebutkan bahwa Sultan membagi-bagikan harta. Sehingga sekali lagi dakwaan kosong yang dituduhkan oleh Abu Misykah itu bahwa Dinasti Fathimiyyah sebagai pelopor mawlid dan bahwa seolah-olah kita meniru adat orang syi’ah adalah sebuah dusta yang tak berdasar dan tak terbukti.
Begitu juga perkataan anda (wahai Abu Misykah): Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan yang tidak berdasar, sebab hal itu juga tidak tersebut dalam kitab Al-Maqriziy sama sekali, atau dengan kata lain itu hanya pendapat sepihak saja. Apakah anda hidup pada zaman itu sehingga anda tahu tujuan mereka dari mengadakan peringatan mawlid tersebut? Begitujuga keterpurukan yang anda sebutkan itu sama sekali tidak terbukti dengan bukti-bukti sejarah. Bahkan Al-Maqrizi pun tidak membahas atau menyebutkan barang sedikit tentang keterpurukan masyarakat tersebut ketika ia menyebutkan bahwa Sultan Al-Aamir membagi-bagikan harta sebagaimana saya nukil di atas, selain itu Al-Maqriziy tidak menyebut sama sekali bahwa tujuan Dawlah Fathimiyyah dalam mengadakan mawlid tersebut adalah untuk menarik perhatian masyarakat.
[Perhatian: Segala tentang pemerintahan Syi’ah Fathimiyyah yang saya nukil di sini lepas dari maksud untuk membela aliran / paham syi’ah sebab saya sendiri termasuk seorang sunniy yang tidak sepaham dengan pemahaman aliran syi’ah. Saya sebutkan hal-hal tersebut semata-mata untuk meluruskan sejarah dari pembelokan fakta atau distorsi sumber yang sering dilakukan oleh kaum wahabi dan konco-konconya seperti Abu Misykah ini]

Lalu anda (wahai Abu Misykah) menulis: Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Tidak ada perkataan Al-Maqriziy seperti yang anda katakan: bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Memang Al-Maqriziy menyebutkan kejadian-kejadian penting yang terjadi selama kurun pemerintahan Dinasti Fathimiyyah di Mesir termasuk beberapa perayaan yang pernah dirayakan pada masa itu. Seperti tentang perayaan Al-Ghithoos (Abu Misykah menulisnya dengan hari Al Ghottos, yang benar adalah Al-Ghithoos), yang dimaksud Al-Ghithoos (Hari Epiphani) ini dalam keyakinan Nasrani adalah hari raya kemunculan Al-Masih (atau menurut mereka Tuhan Yesus) yakni setelah natal yang mana tiga raja / orang Majusi menghampiri Al-Masih dari tempat mereka yang jauh dengan membawa hadiah dan dalam perjalanan mereka dipandu oleh bintang yang sangat terang dilangit tanda kelahiran Nabi Isa. Al-Maqriziy menyebutkan kata-kata Al-Ghithoos beberapa kali di kitabnya Itti’aazhul Chunafa, yaitu:
Dalam Itti’aazhul Chunafaa jilid 1 hal 90:
ومنع العزيز في هذه السنة وهي سنة سبع وستين النصارى من إظهار ما كانوا يفعلونه في الغطاس‏:‏ من الاجتماع ونزول الماء وإظهار الملاهي وحذر من ذلك‏.‏
Artinya: Sultan Al-Aziiz (salah satu dari sultan-sultan Dawlah Fathimiyyah) dalam tahun ini yakni tahun (tiga ratus) enam puluh tujuh (hijriyyah) melarang orang-orang nasrani untuk menampakkan apa yang dahulu mereka lakukan pada hari Al-Ghithoos daripada berkumpul, turun / menyelam ke dalamair dan bersenang-senang.
Juga pada jilid 2 halaman 8:
في المحرم (388 هـ) كان غطاس النصارى فضربت الخيام والمضارب والأشرعة في عدة مواضع من شاطىء النيل ونصبت أسرة للرئيس فهد بن إبراهيم وأوقدت له الشموع والمشاعل وحضر المغنون والملهون وجلس مع أهله يشرب إلى أن جاء وقت الغطاس فغطس وانصرف‏.‏ (ج 2 ص 8(
Artinya: dan dalam Muharram (tahun 388 H, pada masa pemerintahan Sultan Al-Chaakim) datang waktu peringatan Al-Ghithoos lalu didirikanlah kemah-kemah dibeberapa tempat di tepi sungai Nil lalu didirikan pula singgasana untuk Kepala / Panglima Fahd bin Ibrohim lalu dinyalakanlah lilin-lilin dan obor-obor lalu datanglah para penyayi dan penghibur lalu duduklah Fahd bersama keluarganya, ia minum hingga datang waktu Al-Ghithoos lalu ia menyelam sebentar kemudian ia pergi.
Pada jilid 2 halaman 39:
ومنع النصارى من الغطاس (401 هـ) فلم يتظاهروا على شاطىء البحر بما جرت عادتهم به‏. (ج 2 ص 39)
Artinya: (Al-Chaakim) melarang orang-orang Nasrani dari (merayakan) Al-Ghithoos (pada tahun 401 H) sehingga mereka tidak menampakkan sekali perayaan itu di tepi laut sebagaimana adat kebiasaan mereka.

Nampak perbedaan yang mencolok jika kita bandingkan fakta dari kitab Al-Maqriziy yang saya nukilkan di atas dengan kutipan perkataan Abu Misykah yang seolah-olah menggambarkan bahwa pemerintahan Dawlah Fathimiyyah secara resmi merayakan hari raya Nasrani atau bahkan Majusi, yang mana dengan kata-katanya itu Abu Misykah ingin memojokkan Dawlah Fathimiyyah (yang memang bermazhab syi’ah) yang kemudian intinya adalah memojokkan peringatan Mawlid yang menurutnya jiplakan atau dipelopori oleh sebuah Dawlah (Negara) yang sedemikian parah akidahnya dan perlakunya. Ini sebuah cara yang tidak jujur yang biasa dilakukan oleh wahabi dan konco-konconya seperti Abu Misykah ini.

Di sisi lain saya ingin mengmukakan fakta bahwa peringatan mawlid bukan mnopoli Dawlah Fathimiyyah semata. Yang mana tersebut dalam kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsiir (perlu diketahui pula bahwa Ibnu Katsiir ini adalah salah satu murid dan oengagum Ibn Taymiyyah, kiblatnya wahabi) pada jilid 12 halaman 326 – 327 cetakan Daar Ichyaa’ At-Turoots Al-Arobiy, cetakan pertama 1408 H / 1988 M tertulis ketika memberitakan kejadian-kejadian pada tahun 565 H, diantaranya sebagai berikut:
وفيها سار الملك نور الدين إلى الرقة فأخذها، وكذا نصيبين والخابور وسنجار، وسلمها إلى زوج ابنته ابن أخيه مودود بن عماد الدين، ثم سار إلى الموصل فأقام بها أربعة وعشرين يوما، وأقرها على ابن أخيه سيف الدين غازي بن قطب الدين مودود، مع الجزيرة، وزوجه ابنته الاخرى، وأمر بعمارة جامعها وتوسعته، ووقف على تأسيسه بنفسه، وجعل له خطيبا ودرسا للفقه، وولي التدريس للفقيه أبي بكر البرقاني، تلميذ محمد بن يحيى تلميذ الغزالي، وكتب له منشورا بذلك، ووقف على الجامع قرية من قرى الموصل، وذلك كله بإشارة الشيخ الصالح العابد عمر الملا، وقد كانت له زاوية يقصد فيها، وله في كل سنة دعوة في شهر المولد، يحضر فيها عنده الملوك والامراء والعلماء والوزراء ويحتفل بذلك، وقد كان الملك نور الدين صاحبه، وكان يستشيره في أموره، وممن يعتمده في مهماته وهو الذي أشار عليه في مدة مقامه في الموصل بجميع ما فعله من الخيرات، فلهذا حصل بقدومه لاهل الموصل كل مسرة، واندفعت عنهم كل مضرة،
Artinya: Pada tahun itu (565 H) Raja Nuruddin (yakni Nuruddin Zanki bin Imaaduddin Zanki, ia adalah penguasa Halab / Aleppo dan sekitarnya dan berhasil menyatukan Mesir dan Syam serta menumbangkan Dawlah Fathimiyyah dan menyebarkan faham ahlussunnah wal jama’ah) berjalan ke Ar-Riqqoh lalu ia pun menguasainya begitu juga Nashibin, Al-Khobuur, dan Sinjaar lalu ia menyerahkan wilayah itu kepada isteri keponakanya, anak dari saudaranya Mawduud bin ‘Imaaduddiin, kemudian Nuruddin berjalan ke Mawshil lalu ia tinggal di sana 24 hari, dan ia menetapkan wilayah itu untuk anak dari saudaranya, yaitu Sayfuddin Ghoozii bin Quthbuddiin Mawduud bin ‘Imaaduddiin begitu juga Al-Jaziiroh, lalu ia (Nuruddin) menikahkannya dengan puterinya yang lian, dan memerintahkannya untuk memakmurkan masjid Jami’nya (masjid yang digunakan untuk sholat jum’at) dan memperluasnya dan menangani langsung pembentukannya, lalu ia menjadikan / mengambil untuk masjid itu Khothib dan pengajar fiqih (Hukum Islam), dan yang melakukan pengajaran fiqih adalah Al-Faqiih (seorang ahli fiqih) Abubakar Al-Barqooniy murid dari Muhammad bin Yahya murid dari (Al-Imam) Al-Ghozzaliy, dan ia menulis sebuah surat untuk menguatkan hal itu, lalu ia (Nuruddin) mewakafkan masjid jami’ di satu desa dari desa-desa di Mawshil. Semua itu ia lakukan berdasar isyarat / petunjuk dari seorang yang salih dan ahli ibadah yaitu Asy-Syekh Umar Al-Mulla, ia memiliki sebuah zawiyah (tempat para sufi) yang dituju oleh orang banyak dan setiap tahun ia mengundang orang-orang di bulan mawlid (Robii’ul Awwal) banyak para raja, pemimpin, ulama, para menteri yang menghadirinya dan merayakannya. Dan raja Nuruddin itu adalah kawan dari Asy-Syekh Umar Al-Mulla tersebut dan ia selalu meminta petunjuk kepada beliau dan beliaulah yang memberi arahan kepada Raja Nuruddin untuk melakukan berbagai kebaikan terebut selama ia tinggal di Mawshil. Olehkarenanya terjadilah segala kesenangan dengan kedatangan raja ke Mawshil dan tertolaklah segala mudarat / bahaya.

Peringatan Mawlid yang besar berikutnya yang terekam dalam sejarah adalah yang dilakukan oleh Raja Muzhoffar (wafat 630 H) yang terekam dalam kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah pada jilid 13 halaman 169 – 170 ketika ia menyebutkan beberapa orang penting yang meninggal pada tahun 630 H yang di antaranya adalah Raja Muzhoffar berikut redaksinya:
قلت أما صاحب إربل فهو:
الملك المظفر أبو سعيد كوكبري ابن زين الدين علي بن تبكتكين أحد الاجواد والسادات الكبراء والملوك الامجاد، له آثار حسنة وقد عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون، وكان قد هم بسياقة الماء إليه من ماء بذيرة فمنعه المعظم من ذلك، واعتل بأنه قد يمر على مقابر المسلمين بالسفوح، وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الاول ويحتفل به احتفالا هائلا، وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه الله وأكرم مثواه.
وقد صنف الشيخ أبو الخطاب ابن دحية له مجلدا في المولد النبوي سماه: " التنوير في مولد البشير النذير "، فأجازه على ذلك بألف دينار، وقد طالت مدته في الملك في زمان الدولة الصلاحية، وقد كان محاصر عكا وإلى هذه السنة محمود السيرة والسريرة، قال السبط: حكى بعض من حضر سماط المظفر في بعض الموالد كان يمد في ذلك السماط خمسة آلاف رأس مشوي، وعشرة آلاف دجاجة، ومائة ألف زبدية، وثلاثين ألف صحن حلوى، قال: وكان يحضر عنده في المولد أعيان العلماء والصوفية فيخلع عليهم ويطلق لهم ويعمل للصوفية سماعا من الظهر إلى الفجر، ويرقص بنفسه معهم، وكانت له دار ضيافة للوافدين من أي جهة على أي صفة، وكانت صدقاته في جميع القرب والطاعات على الحرمين وغيرهما، ويتفك من الفرنج في كل سنة خلقا من الاسارى، حتى قيل إن جملة من استفكه من أيديهم ستون ألف أسير، قالت زوجته ربيعة خاتون بنت أيوب - وكان قد زوجه إياها أخوها صلاح الدين، لما كان معه على عكا - قالت: كان قميصه لا يساوي خمسة دراهم فعاتبته بذلك فقال: لبسي ثوبا بخمسة وأتصدق بالباقي خير من أن ألبس ثوبا مثمنا وأدع الفقير المسكين، وكان يصرف على المولد في كل سنة ثلاثمائة ألف دينار، وعلى دار الضيافة في كل سنة مائة ألف دينار.

Artinya: Saya (Ibnu Katsir) berkata: “Adapun penguasa Irbil, ia adalah Raja Muzhoffar Abu Sa’id Kawkabariy (dalam bahasa turki artinya serigala biru) bin Zaynuddin Ali bin Tabaktakin salah seorang dermawan, pemimpin besar, dan raja yang mulia, ia memiliki banyak amal baik di antaranya ia telah memakmurkan masjid Jami’ Al-Muzhoffariy di bukit Qosiyun. Dan ia memiliki keinginan untuk mengalirkan air ke Masjid tersebut dari mata air Badziiroh namun dilarang oleh Al-Mu’azhzhom sebab itu akan melewati pekuburan muslimin di perbukitan tersebut. Ia merayakan mawlid yang mulia di bulan Robii’ul Awwal dengan perayaan yang dahsyat. Bersama dengan itu ia adalah seorang yang gagah, berani, perkasa, perwira, cerdas, alim (ahli ilmu), dan adil, semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.
Dan sungguh Asy-Syekh Abul Khoththob bin Dichyah telah menyusun untuk Raja Muzhoffar sebuah kita mawlid (yang mengisahkan tentang kelahiran Nabi) yang dinamakan dengan judul ‘At-Tanwiir fil Mawlidil Basyiirin Nadziir’ (Penerangan tentang Mawlid / Kelahiran Sang Pembawa Berita Gembira dan Peringatan) lalu raja memberinya hadiah berupa uang 1000 Dinar (uang emas, 1 dinar kurang lebihsetara dengan 4 gram emas). Telah panjang masa kekuasaannya yang bersamaan dengan masa kekuasaan Dinasti sholachiyyah (yakni Salahuddin Al-Ayyubi), dan ia ikut mengepung kota Akka (ketika masih dikuasai oleh orang-orang Nasrani), dan ia hingga tahun ini senantiasa menjadi seorang yang terpuji sikap lahir dan batinnya. As-Sibth berkata: “Sebagian orang yang menghadiri perayaan Mawlidnya menceritakan bahwa di dalam hidangan mawlid itu ia menyediakan 5000 (lima ribu) ekor daging bakar, 10.000 (sepuluh ribu) ekor ayam, 100.000 (seratus ribu piring) mentega, dan 30.000 piring manisan.” Ia berkata: “dan adalah yang hadir padanya di kala peringatan mawlid itu banyak dari para pemuka ulama dan orang-orang sufi maka ia memebri mereka semua pakaian yanga baik dan menyambut kedatangan mereka, dan ia membuat majlis lantunan syair-syair pujian bagi mereka mulai dari zhuhur hingga fajar dan ia (Raja Muzhoffar) sendiri menari bersama mereka (tarian sufi bukan tarian orang-orang fasiq yang berlenggak-lenggok yang diharamkan oleh syari’at) dan ia memiliki rumah khusus untuk menampung para tetamu dari mana saja ia berasal dan bagaimana pun sifat mereka, dan ia senantiasa bersedekah untuk segala bentuk ketaatan terutama untuk dua tanah suci (Makkah dan Madinah). Ia membebaskan setiap tahunnya banyak dari orang eropa (nasrani) yang ia tawan, sehingga dikatakan jumlah tawanan yang ia bebaskan mencapai 60.000 (enam puluh ribu) tawanan. Isterinya, Robii’ah Khotuun binti Ayyub – saudari Sholahuddin Al-Ayyubiy yang mana ia menikahkannya dengan Muzhoffar ketika bersama-sama mengepung kota ‘Akkaa – berkata: “Adalah baju gamis Sultan Muzhoffar tidak sampai seharga 5 dirham (sekitar Rp 75.000).” maka isterinya itu menegurnya dan Muzhoffar menajwab: “Saya memakai baju yangs eharga 5 dirham dan saya bisa bersedekah dengan sisa uang saya lebih saya sukai daripada saya memakai baju yang mahal namun saya menterlenatarkan orang-orang faqir dan miskin. Ia membelanjakan setiap tahunnya untuk mawlid Nabi sebesar 300.000 (tiga ratus ribu) dinar, dan untuk rumah tamu setiap tahunnya 100.000 (seratus ribu) dinar.”

Dari fakta di atas dapat kita simpulkan bahwa peringatan mawlid pada masa itu buka monopoli Dawlah Fathimiyyah dan tidak fakta yang betul-betul akurat tentang apakah Raja Muzhoffar dan Asy-Syekh Umar di atas mengambil tradisi itu dari Fathimiyyah ataukah sebaliknya Fathimiyyah mengambil dari tradisi ahli sunnah, atau masing-masing menjalankan tradisi yang sudah lama ada dan bisa jadi telah ada jauh sebelum masa itu (abad ke 6 hijriyyah). Namun yang jelas perayaan mawlid yang diisi dengan pembacaan kisah mawlid baru nampak nyata – sebagaimana terekam dalam data sejarah – pada masa Sultan Muzhoffar yakni dengan adanya karya kisah Malid At-Tanwiir yang disusun oleh Ibnu Dichyah sebagaimana teserbut di atas (meskipun kisah Mawlid itu tidak sampai pada kita), dan begitu juga kaum muslimin sekarang merayakannya dengan membaca kisah mawlid Syaroful Anam, Al-Barzanji, Ad-Diba’iy, Al-‘Azab, Simthud Duror dan lain-lain, dan mereka bukan megambil dari tradisi Fathimiyyah.

Selain itu sebagaimana kita ketahui para sahabat selalu menceritakan dan memberitakan kejadian-kejadian penting tentang Rasul dan masa kehidupan beliau kepada generasi berikutnya dalam perkumpulan-perkumpulan / majlis mereka. [Lantas, apa bedanya mereka menceritakan kisah-kisah itu dan kita pun membacakan kisah-kisah mawlid dan perangai nabi yang kebanyakan adalah nukilan dari riwayat-riwayat mereka (generasi awal Islam) tersebut yang mana para ulama yang datang kemudian sudah merangkumnya – agar kita tidak sulit mendapatkannya dari kitab-kitab yang besar yang tidak semua orang berlesempatana untuk menelaahnya – lalu mereka menggubahnya dalam kitab-kitab mawlid yang terkenal itu] Mereka para sahabat dan tabi’in menceritakan baik tentang peperangan beliau sampai masalah detail sandal beliau, dsb sebagaimana kita banyak dapati keterangan dari generasi awal Islam (para sahabat dan tabi’in) tersebut di kitab-kitab Maghozi (peperangan beliau), Siroh (sejarah hidup beliau), ataupun Syama-il (keseluruhan sifat dan perangai beliau). Ini menunjukkan ikatan batin yang kuat dari para sahabat dan tabi’in serta generasi Islam dari awal Islam hingga masa berikutnya, dari masa ke masa. Maka sangatlah tidak mungkiin jika kita mengatakan bahwa mereka tidak mengingat peristiwa-peristiwa penting tersebut termasuk peristiwa mawlid / kelahiran Rasul – semoga salawat dan salam tetap terlimpah atas beliau dan keluarga beliau – yang mana seandainya saja tidak ada mawlid / kelahiran beliau maka tidak ada wahyu Al-Qur’an, jikalau tidak karena mawlid beliau tidak ada Isroo’ dan Mi’rooj sehingga tidak ada sholat lima waktu, jikalau tidak ada mawlid tidak ada hijrah ke Madinah, tidak ada perintah puasa Romadhon, tidak ada perintah zakat, tidak ada Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) dan sebagainya. Walaupun bisa jadi mereka memperingatinya secara pribadi-pribadi atau dengan cara-cara lain seperti bersedekah atau melakukan kebakan-kebaikan lainnya.
Yang paling penting untuk diperhatikan juga dalam masalah ini adalah: bahwa yang Pertama kali mengadakan peringatan Maulid adalah Shohibul maulid itu sendiri yaitu Rasulullah saw , beliau berpuasa di hari kelahiran beliau ..seperti dalam riwayat berikut :

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ غَيْلَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَقَالَ فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun dari Ghailan dari Abdullah bin Ma'bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: "Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku." (shahih muslim )

Minggu, 14 Desember 2014

Hukum Mengucapkan Selamat Natal


Banyak sudah tulisan yang beredar tentang masalah ini dan semuanya bermuara pada dua kesimpulan, sebagian membolehkan mengucapkan selamat natal dan sebagian lagi tidak membolehkan. Bahkan saya sempat membaca di salah satu situs tentang masalah terkait, lalu si penulis mengatkan bahwa mayoritas ulama sebenarnya membolehkan mengucapkan Selamat Natal dan yang tidak membolehkan menurutnya adalah wahabi atau anteknya. Padalah setahu saya banyak juga ulama ahlis sunnah wal jamaah (non Wahabiiy) bahkan dari kalangan NU sendiri yang mengharamkan pengucapan selamat Natal. Sehingga terkadang hal ini membuat bingung sebagian orang. Maka di sini saya mencoba – dengan keterbatasan ilmu dan tentu keyakiknan bahwa kebenaran sejati hanya milik Allah – untuk mengurai hal tersebut. Terutama pokok pangkal mengapa sampai terjadi perbedaan pendapat tersebut.
Pertama-tama, yang harus kita ketahui adalah kita tidak mungkin menghukumi sesuatu jika kita belum mengerti hakikat sesuatu tersebut. Dalam hal ini adalah ucapan “Selamat Natal” (atau dalam bahasi Inggris: Merry Christmas, dari bahasa Inggris lama: Christes Maesse: artinya: Missa Kristus) apakah maknanya? Sudah banyak diketahui bahwa natal diambil dari bahasa latin yang bermakna kelahiran. Dan jika kita membuka ensiklopedi-ensdiklopedi barat seperti ensiklopedi Britanica dan Americana tentang Christmas maka akan dapat kita ambil kesimpulan bahwa makna ucapan “selamat natal” adalah selamat atas hari kelahiran Yesus Kristus (dari bahasa Yunani Kristos yang bermakna yang diberkahi / Al-Masih) sebagai anak Tuhan atau Tuhan atau titisan Tuhan untuk menebus dosa umat manusia. Untuk lebih jelasnya tentang makna Natal itu sendiri secara terperinci saya sarankan anda juga membuka situs-situs nasrani seperti:  http://gbihog.org/index.php?option=com_content&view=article&id=291:makna-natal-bagi-iman-kristen&catid=3:renungan&Itemid=7, dan semacamnya.
[nama Yesus atau Jesus sebenarnya adalah terjemahan nama Isa yang asli kedalam bahasa Yunani, sedangkan nama beliau yang asli sebagai mana dalam naskah Injil Lukas kuno adalah Yasuu’ Yehesyua, atau ‘Iisa dalam dialek Arab]
Sehingga telah jelas bahwa ucapan “Selamat Natal” bukan hanya sebuah ucapan biasa tetapi dari sisi lain merupakan pengakuan akan akidah mereka berupa penuhanan Nabi Isa dan akidah matinya Yesus di tiang salib untuk menebus dosa umat manusia. Otomatis dengan demikian kita mengakui pula akidah dosa warisan dan penebusan dosa, yang kesemuanya itu sudah jelas bertentangan dengan akidah Islam. Inilah sebenarnya yang dipermasalahkan oleh ulama yang mengharamkan.
Sedangkan ulama yang membolehkan rupanya hanya melihat dari sisi bahwa ucapan tersebut hanya sebatas ucapan dan tidak mengandung ritual / ibadah atau keyakinan. Lebih jauh lagi ada yang mengaitkannya dengan kelahiran Nabi Isa. Padalah sebenarnya pakar Nasrani pun banyak yang menolak bahwa kelahiran Nabi Isa terjadi pada tanggal 25 Desember yang notabene dikenal sebagai hari kelahiran Dewa Matahari (Mitra). Bahkan dalam 4 Injil kanonik sendiri (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) yang diakui oleh Gereja, diceritakan bahwa Yesus ketika dilahirkan, para penggembala kambing membiarkan ternaknya di padang hingga malam hari. Yang mana itu tidak terjadi kecuali musim panas (sekitar Maret atau April). Sedangkan Desember adalah musim dingin di Yerussalem, Palestina.
Begitu juga Al-Qur’an dalam surat Maryam dikisahkan bahwa ketika Maryam hendak melahirkan ia bersandar di pohon korma dan ia mendapat makanan berupa Ruthob (kurma yang hampir masak) tersebut atas ilham dari Allag serta Allah alirkan mata air di dekat tempat ia bersandar. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum dikalangan orang Arab bahwa kurma Ruthob ataupun kurma masak tidak didapati kecuali pada musim panas.
Jadi meskipun kita mengucapkan selamat Natal dengan dalih kelahiran Nabi Isa maka juga sama sekali tidak tepat bahkan lebih bahaya lagi dikhawatirkan kita malah terjerumus kepada kepercayaan Pagan (berhala) yang sudah di adopsi oleh gereja tentang tanggal Natal yaitu 25 Desember dengan menyamakan hari yang diagungkan oleh kaum pagan yaitu hari kelahiran dewa matahari, untuk menarik simpati mereka yang baru masuk ke dalam Agama Nasrani. Yang mana hal ini sudah menjadi rahasia umum diantara pakar sejarah terutama sejarah Kristen dan Gereja.
Yang tak kalah menghebohkan lagi (kalo tidak salah setahun yang lalu) khusunya bagi pembaca di dunia maya, adalah ucapan natal dari Al-Habib Ali Al Jufri. Dan di sini untuk keobyektifan saya sengaja mencari ucapan tersebut dari situs resmi beliau namun tidak saya jumpai dan akhirnya saya membuka akun facebook resmi beliau: https://www.facebook.com/ali.jefry/posts/10151250549818541, distu saya jumpai ucapan natal dari beliau khusunya kepada umat Kristen Koptik (Mesir) yaitu dengan redaksi sebagai berikut:
 أُهنئ سيدنا محمداً بذكرى ميلاد السيد المسيح.. نعم أُهنئ سيدنا محمداً..
أليس هو من قال: (أنا أولى الناس بعيسى ابن مريم فى الدنيا والآخرة)..
وأُهنئ المسلمين والمسيحيين بل أُهنئ البشرية كلها بالميلاد المجيد لمن تجلّى الله عليه فى مولده باسمه السلام فجعله رمزاً للسلام..
وأخص إخوتي المسيحيين الأقباط وسائر الأرثوذوكس بالتهنئة .. أعاده الله على العالم بالمحبة والسلام
وأقول لسيدنا المسيح:
سيدى يا روح الله ويا كلمته.. السلام عليك يوم وُلدتَ ويوم تموتُ ويوم تُبعثُ حياً..
(Tertanggal 7 januari 2013)
Yang artinya: Aku mengucapkan selamat kepada sayyidina (junjungan kami) Nabi Muhammad dalam rangka peringatan kelahiran (miilaad / natal) Al-Masih. Ya, aku memberi tahniah (ucapan selamat) kepada sayyidina Muhammad. Bukankah beliau yang mengucapkan dalam sabdanya: “Aku lebih utama terhadap diri Isa bin Maryam di dunia dan di akhirat”
Dan aku memberi tahniah kepada kaum muslimin dan masehi (nasrani) bahkan aku memberi ucapan tahniah keseluruh ummat manusia dengan kelahiran (natal) yang mulia kepada sosok yang Allah menampakkan ke Maha Damai-an-Nya melalui beliau dan menjadikan beliau simbol kedamaian.
Dan aku khususkan tahniah ini kepada saudara-saudaraku Kristen Koptik dan seluruh kristen Ortodoks. Semoga Allah mengkaruniakan kepada alam kecintaan dan kedamaian.
Aku mengucapkan kepada Sayyidina Al-Masih (Nabi Isa, semoga salawat dan salam atasnya dan atas Nabi Muhammad): “Tuanku, wahai Ruhulloh, wahai Kalimatulloh, salam atasmu pada hari engkau dilahirkan, dan pada hari kelak engkau wafat dan pada hari kelak engkau dibangkitkan.
(Al Habib Ali Al-Jifri)
Secara pribadi saya sangat mengidolakan beliau tapi dalam hal ini saya tidak sependapat dengan beliau, dengan segala hirmat dan ta’zhim. Mungkin beliau memandang dari segi bahwa ucapan tersebut hanya bentuk ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa tidak lebih dan tidak kurang, dan dalam hal ini beliau tidak memperhitungkan nilai Agamis hari Natal dan Ucapan Selamat Natal. Sehingga beliau membolehkannya.
Namun jika kita tilik fatwa-fatwa ulama ahlussunnah wal jamaah yang lain di timur tengah yang nota bene fatwa-fatwa mereka diusung juga sebagai dasar oleh orang yang membolehkan pengucapan selamat natal, (diantaranya seperti  yang tertulis dalam: http://www.alkhoirot.net/2011/12/hukum-ucapan-selamat-natal.html), ketika kita tilik dengan teliti dan cermat ternyata pembolehan mereka tidak mutlak namun bersyarat, diantaranya (fatwa-fatwa ini saya nukil dari tulisan alkhoirot tersebut):
FATWA WAHBAH ZUHAILI SOAL NATAL 

1. http://www.fikr.com/zuhayli/fatawa_p54.htm#26 (pendapat Wahbah Zuhayli yang membolehkan).
Zuhayli mengatakan:
لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
Artinya: Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.
(jelas secara pengertian di atas ucapan selamat Natal mengandung pengakuan kebenaran ideologi / pemikiran mereka)

2. islamqa.info/ar/cat/2021 (Ibnu Taymiyyah yang mengharamkan)
3. majdah.maktoob.com/vb/majdah14478/ (Al Uthaimin yang mengharamkan)
4. alanba.com.kw/AbsoluteNMNEW/templates/local2010.aspx?articleid=159838&zoneid=14&m=0 
5. http://goo.gl/J7aRD (fatwa Syaraf Qudhat)

FATWA YUSUF QARDHAWI SOAL NATAL 

Pada link no. 4 mengutip fatwa Qardhawi yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada hari raya umat Nasrani dan hari-hari raya nonmuslim lain. Berikut pendapat Yuruf Qaradawi:
يرى جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)».
ويرى د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات جاملة تعارفها الناس. 

Artinya: Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah [ini benar jika seandainya natal dan ucapan selamat natal tidak bernilai agamis] bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam. Allah berfirman: Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik. [ingat! firman ini atau ayat ini (surat An-Nisaa’: 86) konteksnya adalah salam sesama muslim, silakan rujuk tafsir-tafsir mu’tabar]

Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (nonmuslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka atau rela dengan hal itu. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal.
[baca dengan seksama pernyataan beliau khususnya yang dicetak tebal, yakni hal itu bersyarat yakni selama tidak mengandung pengakuan atas agama / keyakinan mereka.]

Lebih detail lihat: 
Fatwa Qardawi dan Ali Jum'ah seputar Ucapan Selamat Natal. 


FATWA ALI JUMAH SOAL UCAPAN SELAMAT NATAL 

Ali Jum'ah adalah mufti Mesir saat ini (2012). Pada 2008 ia mengeluarkan fatwa terkait mengucapkan selamat pada perayaan non-Muslim. Intinya: ucapana selamat itu boleh dan baik. Berikut teks Arabnya yang dibuat dalam bentuk reporting seperti dimuat dalam Islamonline.net pada 12 Januari 2008:
مفتي مصر: تهنئة غير المسلمين بأعيادهم بر جائز

القاهرة- أكد الدكتور علي جمعة مفتي مصر أن تهنئة النصارى وغيرهم من أهل الكتاب بأعيادهم جائزة، معتبرا أنها "من البر" الذي لم ينه الله عنه، شريطة ألا يشارك مقدم التهنئة فيما تتضمنه الاحتفالات بتلك الأعياد من "أمور تتعارض مع العقيدة الإسلامية".
وردا على سؤال في هذا الشأن لـ"إسلام أون لاين.نت" قال الدكتور جمعة: "إن تهنئة غير المسلمين بالمناسبات الاجتماعية والأعياد الدينية الخاصة بهم، كعيد ميلاد السيد المسيح، ورأس السنة الميلادية جائز... باعتبار أن ذلك داخل في مفهوم البر، وتأليف القلوب".

واعتبر أن هذه التهنئة داخلة في قول الله تعالى: {لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}
Artinya: 

Mufti Mesir: Ucapan Selamat pada Hari Raya Non-Muslim itu Boleh dan Baik

Kairo (Mesir) - Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah menegaskan bahwa mengucapkan selamat pada umat Kristiani dan ahli kitab lain itu boleh. Bahkan menganggap itu hal yang baik yang tidak dilarang oleh Allah dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya terutama yang terkait dengan perkara yang bertentangan dengan akidah Islam.

Menjawab pertanyaan dari islam-online.net, Ali Jumah berkata: "Mengucapkan selamat pada non-muslim berkenaan dengan perayaan sosial dan agama mereka seperti Natal Nabi Isa dan Tahun Baru masehi itu boleh [hal ini tidak sepenuhnya betul, sebab hari Natal dan Tahun Baru jika kita tilik sejarahnya erat terkait dengan kepercayaan nasrani yang sebetulnya diadopsi dari kepercayan / pemujaan terhadap Dewa Mitra dan Dewa Janus yakni kepercaya pagan (berhala) eropa kuno (Yunani dan sekitarnya) dan ucapan kita bisa dianggap sebagai pengagungan syiar agama mereka]." Hal itu masuk dalam kategori baik dan melunakkan hati.

Ali Jumah menganggap mengucapkan selamat termasuk dalam firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 (yang artinya): "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(Beliau membolehkan kareha memandang bahwa dalam ucapan itu tidak mengandung sesuatu pengakuan akidah mereka)
Lebih detail lihat: 
Fatwa Qardawi dan Ali Jum'ah seputar Ucapan Selamat Natal. 


FATWA DR. SYARAF QUDHAT AHLI HADITS YORDANIA 

Syaraf Qudhat adalah ahli hadits Fakultas Syariah di Universitas Yordania. Dalam fatwanya pada 22 Desember 2011 yang berjudul "Ucapan Selamat pada Hari Raya Kristen". Berikut detailnya dalam bahasa Arab:
تهنئة المسيحيين بأعيادهم

"يكثر السؤال في هذه الأيام عن حكم تهنئة المسيحيين بأعيادهم، وللجواب عن ذلك أقول: إن الأصل في هذا الإباحة، ولم يرد ما ينهى عن ذلك، وكل ما سمعته أو قرأته لمن يحرمون هذه التهنئة أن في التهنئة إقرارًا لهم على دينهم الذي نعتقد أنه محرف، ولكن الصحيح أنه لا يوجد في التهنئة أي إقرار، لما يلي:

1- لأننا لا نَعُدُّ تهنئتهم لنا بأعيادنا إقرارًا منهم بأن الإسلام هو الصحيح، فالمسلم لا يقصد بالتهنئة إقرارًا على الدين، ولا هم يفهمون منا ذلك.

2- لأن الله تعالى أمرنا بمعاملتهم بالحسنى، فقال تعالى: (لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8))(الممتحنة) والبر هو الخير عمومًا، فقد أمرنا الله تعالى بمعاملتهم بالخير كله، فتكون معاملتهم بالخير ليست جائزة فقط بل هي مستحبة، فكيف يحرم بعد ذلك تهنئتهم بنحو قولك: كل عام وأنتم بخير، فإننا لا شك نحب لهم الخير، وقد أمرنا الله بذلك.

3- لأن الله تعالى شرع لنا التحالف معهم كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة المنورة.

4- لأن الله تعالى شرع لنا زيارتهم في بيوتهم واستقبالهم في بيوتنا، والأكل من طعامهم، بل والزواج منهم، مع ما في الزواج من مودة ورحمة، ولا يقال: إن في ذلك كله نوعًا من الإقرار لهم بأن دينهم هو الحق، فكيف يجوز ذلك كله ولا تجوز تهنئتهم!!!".
[tanda [....] adalah tambahan dari saya sebagai komentar]

Artinya: Banyak pertanyaan akhir-akhir ini tentang hukum mengucapkan selamat (tahniah) pada hari raya umat Kristiani, sebagai jawaban dari hal tersebut inilah jawaban saya: Hukum asal dalam hal ini adalah boleh dan Tidak ada dalil teks (Quran dan hadits Nabi) yang melarang hal itu. Seluruh pendapat yang saya dengar dan baca dari mereka yang melarang ucapan selamat Natal bahwa dalam ucapan selamat itu terkandung pengakuan pada agama mereka yang kita yakini telah diselewengkan. Padahal yang benar adalah bahwa dalam ucapan selamat tidak terkandung pengakuan apapun dengan dasar sebagai berikut:

Pertama, karena kita tidak pernah menganggap ucapan selamat Hari Raya mereka pada kita sebagai pengakuan mereka atas kebenaran Islam. [betul itu, namun hal ini tidak berlaku sebaliknya, yakni ucapan Selamat Natal, jika kita tanyakan atau kita baca di sumber-sumber kristen tentang makna ucapan tersebut maka kita akan mendapati seperti apa yang sudah saya gambarkan di atas] Ucapan selamat Natal seorang Muslim tidak bermaksud sebagai pengakuan yang terkait agama [jelas ini tidak mungkin sebab tanggal 25 Desember itu memiliki nilai agamis bagi mereka, bahkan memliki nilai yang jelas berbeda yang sejatinya terkait bukan dengan Nabi Isa tetapi dengan kepercayaan pagan (berhala)]. Juga bukan berarti mereka faham pada agama kita.

Kedua, karena Allah menyuruh kita untuk memperlakukan mereka dengan baik seperti tersebut dengan jelas dalam QS Al-Mumthanah 60:8. Makna al-birr adalah berbuat baik secara umum. Artinya, Allah memerintahkan kita untuk memperlakukan mereka dengan kebaikan. Maka, perlakukan baik kepada non-Muslim bukan hanya boleh bahkan dianjurkan. Bagaimana mungkin mengucapkan: Kullu ‘aamin wa antum bikhoir (artinya: sepanjang tahun semoga kalian dalam keadaan baik-baik saja) saja dilarang? Sudah pasti kita berharap mereka dalam keadaan baik-baik saja. Dan Allah menyuruh kita melakukan hal itu. [di sini hanya dibahas ucapan kullu ‘aamin wa antum bikhoir yang biasa diucapkan oleh orang-orang Arab secara umum – termasuk orang2 kristen Arab – ketika hari-hari penting seperti ulang tahun, dsb. Jelas saya pun setuju jika demikian. Namun lain halnya dengan ucapan Merry Christmas atau Selamat Natal yang mengandung makna agamis dan bukan hanya ucapan selamat biasa]

Ketiga, karena Allah mensyariatkan kita untuk tahaluf (berkoalisi) dengan mereka sebagaimana yang dilakukan Nabi saat beliau datang ke Madinah Al-Munawwaroh. [yakni sebatas hidup berdampingan dan melaksanakan kehidupan sosial bersama, memang itu dibenarkan]

Keempat, karena Allah memerintahkan kita untuk mengunjungi rumah mereka dan menyambut kedatangan mereka di rumah kita. Memakan makanan mereka dan menikahi perempuan mereka padahal dalam perkawinan terdapat mawaddah wa rahmah (rasa kasih dan sayang). Tidak ada yang mengatakan hal itu sebagai ikrar atau pengakuan bahwa agama mereka itu benar. Bagaimana semua hal itu dibolehkan sedangkan mengucapkan selamat saja dilarang? [memang enar dalam masalah sosial bertamu dan sebagainya selama mereka bukan orang kafir yang memerangi Islam / kafir harbi, kita dianjurkan untuk menghormati mereka dan siapapun yang bertamu dirumah kita, sedangkan dalam masalah makanan memang dalam surat Al-Maidah ayat 5 kita dibolehkan memakan makanan yang disembelih oleh ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan lelaki muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab (tidak sebaliknya) namun siapakah ahlul kitab yang dimaksud: jumhur ulama (khususnya dalam mazhab Syafi’iy menjelaskan bahwa ahlul kitab yang dimaksud adalah Yahudi asli dan Nasrani asli yang mana kakek2 mereka sudah memeluk agama tersebut sebelum datang Rasululloh atau sebelum diubah oleh pemeluknya, dan ahlul kitab ini kemungkinan masih ada di Yordania dan jazirah Arab, namun tidak demikian halnya di Indonesia)]
Kesimpulannya: bahwa Natal dan Ucapan selamatnya begitu juga dengan tahun Baru Masehi kental dengan kesan agamis baik dari Nasrani maupun kepercayaa Pagan (berhala). Oleh karena itu mengucapkan Selamat Natal atau Tahun Baru Hijriah tidak diperbolehkan karena itu menyangkut Agama dan sudah jelas konsep Islam tentang agama: لكم دينكم ولي دين (bagi kalian agama kalian dan bagiku agamku [surat Al-Kafiruun: 6])

Adapun bagi yang membolehkan atas dasar dalih diatas maka kita sudah jelaskan kedudukan dalih tersebut. Dan adapula yang membolehkan dengan dasar isi surat Rasululloh kepada Raja Hiroqla (Heraklius), yaitu ucapan Nabi dalam surat itu: والسلام على من اتبع الهدى (dan keselamatn bagi yang mengikuti petunjuk) jelas dalil ini salah sasaran sebab Rasul mengucapkan salam atas orang-orang yang mengikuti petunjuk Islam, yakni jika akhirnya Heraklius memeluk Islam maka ia termasuk orang yang layak mendapatkan salam tersebut. Bukan secara khusus beliau memberi salam kepada Heraklius sebab dalam hadits yang lain disebutkan: لا تبدءوا اليهود ولا النصارى بالسلام (artinya: janganlah kalian memulai orang Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam. [hadits sahih riwayat Muslim dari Abu Huroiroh]) dan jika yang digunakan adalah surat An-Nisaa’ ayat 86 seperti tersebut di atas maka jelas juga salah sasaran karena itu hanya membahas adab bersalam sesama muslim yakni jika kita diberi penghormatan (berupa salam) hendaknya kita menjawa dengan salam yang sama atau lebih baik. Bahkan dalam hadits lain riwayat Al-Bukhooriy dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik, disebutkan: jika Yahudi / Nasrani memberi salam kepada kita maka hendaknya kita jawab wa’alaykum (begitu juga atasmu).  
والله أعلم بالصواب

Jumat, 24 Oktober 2014

ما يقال عند رؤية الهلال


روى ابن السني عن أنس كان صلى الله عليه وسلم إذا نظر الهلال قال: اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هِلاَلَ يُمْنٍ وَرُشْدٍ، آمَنْتُ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ فَعَدَلَكَ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.
وفي مسند الدارمي وصحيح ابن حبان عن سيدنا ابن عمر رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله تعالى عليه وسلم كان يقول عند رؤية الهلال: اللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ أَهِلَّهُ بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ، وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ.
وفي أبي داود عن قتادة رحمه الله مرسلا: كان صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم يقول أي حير راى الهلال:
 (هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ آمَنْتُ بِالذي خَلَقَكَ) ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثم يقول: الحمد لله الذي أذهب بشهر كذا وجاء بشهر كذا.
ويسن أن يقرأ بعد ذلك سروة تبارك الملك لأثر فيها ولأنها المنجية والواقية. كما بين ذلك صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم في أحاديثه.
قال السبكي رحمه الله تعالى: وكأن ذلك: لأنها ثلاثون آية على عدد أيام الشهر، ولأن السكينة تنزل عند قراءتها وكان صلى الله عليه وسلم يقرؤها عند النوم. انتهى من المغني وتحفة الإخوان.

وينبغي أن يقول ذلك عند رؤية كل هلال.

بيان ما يطلب في أول العام


قال الله تعالى في سورة التوبة: إن عدة الشهور اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم فلا تظلموا فيهن أنفسكم.
اعلم أن المحرم شهر عظيم، وفضله كثير عميم، وهو أفضل الشهور للصوم بعد رمضان ثم رجب ثم ذو الحجة ثم ذو القعدة ثم شعبان
فهو شهر الله المحرم أفضل الأشهر الحرم المقدم وثالث الثلاثة الحرم السرد، ورابعها رجب الفرد.
ذكر الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: أنه روي عن حفصة رضي الله عنها عن النبي صلى الله تعالى عليه وسلم أنه قال: من صام آخر يوم من ذي الحجة وأول يوم من المحرم، جعله الله تعالى له كفارة خمسين سنة وصوم يوم من المحرم بصوم ثلاثين يوما. (هكذا نقل السيد الحمزاوي في النفحات النبوية في الفضائل العشورية عن العلامة الأجهوري ذكر أن شيخه القرافي ذكر في رسالته هذه الرواية)
وروى الغزالي رحمه الله تعالى في الإحياء: عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: من صام ثلاثة أيام من شهر حرام: الخميس والجمعة والسبت كتب الله تعالى له عبادة سبعمائة عام.
ومما يطلب في أول المحرم قراءة دعاء مشهور لآخر السنة وأول السنة وقراءته كما ذكره العلماء: أنه يقرأ أولا قبل الدعاءين آية الكرسي ثلاثمائة وستين مرة مع البسملة في كل مرة، ثم يقرأ دعاء آخر السنة (كما يأتي) ثم دعاء أول السنة ثم يدعو بهذا الدعاء:
اَللَّهُمَّ يَا مُحَوِّلَ الْأَحْوَالِ حَوِّلْ حَالِيْ إِلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ يَا عَزِيْزُ يَا مُتَعَالُ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
فَإِنَّهُ يُوَقَّي مَا يَكْرَهُهُ فِيْ جَمِيْعِ الْعَامِ. كما ذكره الشيخ عبد الحميد بن محمد علي قدس: قَالَ شَيْخُنَا وَشَيْخُ مَشَايِخِنَا الْعَارِفُ بِرِبِّهِ الْمَنَّانِ، سَيِّدُنَا وَمَوْلَانَا السَّيِّدُ أَحْمَدُ بْنُ زَيْنِيْ دَحْلَانَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى، كَمَا نَقَلْتُهُ مِنْ خَطِّهِ فِيْ سَفِيْنَتِهِ؛ وكان الشيخ عثمان الدمياطي شيخ الشيخ أحمد زيني دحلان – رحمهم الله تعالى ونفعنا بهم آمين – مواظبا على ذلك.
وكذلك ذكره الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ حَسَنٌ اَلْعِدْوِيُّ الْحَمْزَاوِيُّ فِي النَّفَحَاتِ النَّبَوِيَّةِ؛ فِي الْفَضَائِلِ الْعَاشُوْرِيَّةِ: ذَكَرَ الشَّيْخُ أَبُو الْيُسْرِ الْقَطَّانُ تِلْمِيْذُ الشَّيْخِ كَرِيْمِ الدِّيْنِ الْخَلْوَتِيِّ، عَنِ الشَّيْخِ دِمِرْدَاشَ الْكَبِيْرِ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى ونفعنا بهم آمين.

وَذكر الشيخ عبد الحميد قدس في كتابه كنز النجاح والسرور: قَالَ الْعَلَّامَةُ السَّيِّدُ الشَّرِيْفُ الْحَسَنِيُّ الْمَشْهُوْرُ بِمَاءِ الْعَيْنَيْنِ فِيْ نَعْتِ الْبِدَايَاتِ: وَهَذِهِ فَوَائِدُ لِأَهْلِ النِّهَايَاتِ ، وَتُفِيْدُ أَهْلَ الْبِدَايَاتِ ؛ اَلْأُوْلَى فِيْ أَشْيَاءَ تُفِيْدُ فِي الْعَامِ ؛ مِنْهَا دُعَاءُ أَوَّلِ الْعَامِ وَذَكَرَ مَا تَقَدَّمَ.
وَذَكَرَهُ شَيْخُنَا وَشَيْخُ مَشَايِخِنَا رَحِمَهُ اللهُ تَعَالىَ فِيْ سَفِيْنَتِهِ أَيْضًا، وَقَالَ: ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ عَنِ الْإِمَامِ حُجَّةِ الْإِسْلَامِ مُحَمَّدٍ اَلْغَزَالِيِّ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى سِرَّهُ قَالَ:
كُنْتُ بِمَكَّةَ الْمُشَرَّفَةِ فِيْ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ سَنَةٍ جَدِيْدَةٍ مِنْ سِنِي الْهِجْرَةِ طَائِفًا بِالْبَيْتِ الْحَرَامَ
خَطَرَ فِيْ نَفْسِيْ أَنْ أَرَى الخَضِرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَأَلْهَمَنِيَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اَلدُّعَاءَ فَدَعَوْتُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يَجْمَعَ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَمَا فَرَغْتُ مِنْ دُعَائِيْ حَتَّى ظَهَرَ لِيْ اَلْخَضِرُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الْمَطَافِ فَجَعَلْتُ أَطُوْفُ مَعَهُ وَأَفْعَلُ فِعْلَهُ وَأَقُوْلُ قَوْلَهُ حَتَّى
 فَرَغَ مِنْ طَوَافِهِ وَانْقَضَى فَجَلَسْتُ مُشَاهِدًا لِلْبَيْتِ الشَّرِيْفِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مَا الَّذِيْ دَعَاكَ إِلَى سُؤَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَجْمَعَ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ بِهَذَا الْحَرَمِ الشَّرِيْفِ؟ فَقُلْتُ: يَا سَيِّدِيْ، هَذِهِ سَنَةٌ جَدِيْدَةٌ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَأَسَّى بِكَ فِيْ إِقْبَالِهَا بِشَيْءٍ مِنْ تَعَبُّدَاتِكَ وَتَضَرُّعَاتِك قَالَ: أَجَلْ، ثُمَّ قَالَ: فَارْكَعْ بِرُكُوْعٍ تَامٍّفَقُمْتُ وَصَلَّيْتُ مَا أَمَرَنِيْ بِهِ فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ: فَادْعُ بِهَذَا الدُّعَاءِ الْمَأْثُوْرِ الْجَامِعِ لِلْخَيْرَاتِ وَالْبَرَكَاتِ، وَهُوَ هَذَا:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِكَ أَنْ تُصَلِّيَ وَتُسَلِّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِمْ وَصَحْبِهِمْ أَجْمَعِيْنَ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ مَا مَضَى وَتَحْفَظَنِي فِيْمَا بَقِيَ يَا أَرْحَم الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ هَذِهِ سَنَةٌ جَدِيْدَةٌ مُقْبِلَةُ لَمْ أَعْمَلْ فِي ابْتِدَائِهَا عَمَلًا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى غَيْرَ تَضَرُّعِيْ إِلَيْكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُوَفِّقَنِيْ لِمَا يُرْضِيْكَ عَنِّيْ مِنَ الْقِيَامِ بِمَا لَكَ عَلَيَّ مِنْ طَاعَتِكَ وَأَلْزِمْنِيَ الْإِخْلَاصَ فِيْهِ لِوَجْهِكَ الْكَرِيْمِ فِيْ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ إِتْمَامَ ذَلِكَ عَلَيَّ بِفَضْلِكَ وَرَحْمَتِكَ
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ السَّنَةِ الْمُقْبِلَةِ يُمْنَهَا وَيُسْرَهَا وَأَمَانَهَا وَسَلَامَتَهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهَا وَصُدُوْرِهَا وَعُسْرِهَا وَخَوْفِهَا وَهَلَكَتِهَا وَأَرْغَبُ إِلَيْكَ أَنْ تَحْفَظَ عَلَيَّ فِيْهَا دِيْنِيَ الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِيْ ، وَدُنْيَايَ الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشِيْ وَتُوَفِّقَنِيْ فِيْهَا إِلَى مَايُرْضِيْكَ عَنِّيْ فِيْ مَعَادِيْ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .دَعْوَاهُمْ فِيْهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلاَمٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

قَالَ شَيْخُنَا وَشَيْخُ مَشَايِخِنَا الْمَذْكُوْرُ أَيْضًا لِلْحِفْظِ مِنَ الشَّيْطَانِ فِيْ جَمِيْعِ الْعَامِ: تَقُوْلُ كُلَّ يَوْمٍ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَّلِ مِنْ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ قَدِيْمٌ وَهَذَا الْعَامُ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، وَسَنَةٌ جَدِيْدَةٌ قَدْ أَقْبَلَتْ، نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَنَسْتَكْفِيْكَ فَوَاتَهَا وَشُغْلَهَا، فَارْزُقْنَا الْعِصْمَةَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ سَلَّطْتَ عَلَيْنَا عَدُوًّا بَصِيْرًا بِعُيُوْبِنَا، وَمُطَّلِعًا عَلَى عَوْرَاتِنَا، مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْنَا وَمِنْ خَلْفِنَا، وَعَنْ أَيْمَانِنَا وَعَنْ شَمَائِلِنَا، يَرَانَا هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا نَرَاهُمْ، اَللَّهُمَّ آيِسْهُ مِنَّا كَمَا آيَسْتَهُ مِنْ رَحْمَتِكَ، وَقَنِّطْهُ مِنَّا كَمَا قَنَّطْتَهُ مِنْ عَفْوِكَ، وَبَاعِدْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ كَمَا حُلْتَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَغْفِرَتِكَ، إِنَّكَ قَادِرٌ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنْتَ الْفَعَّالُ لِمَا تُرِيْدُ، 
وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

فَائِدَةٌ
مِنَ الْمُجَرَّبَاتِ الصَّحِيْحَةِ كَمَا فِيْ نَعْتِ الْبِدَايَاتِ وَتَوْصِيْفِ النِّهَايَاتِ لِلسَّيِّدِ الشَّرِيْفِ مَاءِ الْعَيْنَيْنِ أَنَّ مَنْ كَتَبَ الْبَسْمَلَةَ فِيْ أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ مِائَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ مَرَّةً لَمْ يَنَلْ حَامِلَهَا مَكْرُوْهٌ فِيْهِ وَلَا فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ مُدَّةَ عُمْرِهِ .
ومن كتب "الرحمن" خمسين مرة ودخل بها على سلطان جائر أو حاكم ظالم أمن من شره. والله أعلم بأسراره.
Bottom of Form




Jumat, 03 Oktober 2014

Sejarah Rasululloh SAW berdasar riwayat-riwayat yang sahih 17

Permulaan Wahyu dan Sifatnya
[43] Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tinggal di Makkah selama 15 tahun beliau mendengar suara dan melihat cahaya selama tujuh tahun dan beliau tidak melihat sosok apapun, dan delapan tahun diberi wahyu, lalu ia tingga di Madiinah 10 tahun,” dalam riwayat lain: “delapan tahun atau tujuh tahun melihat cahaya dan mendengar suara, dan delapan tahun atau tujuh tahun diberi wahyu.”
Riwayat pertama diriwayatkan oleh Muslim, dan riwayat kedua diriwayatkan oleh Ahmad.
Al-Qoodhii ‘Iyaadh berkata ketika mengomentari perkataan “beliau mendengar suara dan melihat cahaya” yakni suara dari para malaikat, dan beliau melihat cahaya yakni: cahaya para malaikat dan cahaya ayat-ayat Allah Yang Maha Luhur sehingga akhirnya beliau melihat malaikat dengan mata kepala beliau sendiri, dan malaikat itu menyampaikan wahyu Allah Yang Maha Luhur secara langsung kepada beliau.
[43] dan masih dari riwayat Ibnu ‘Abbaas juga bahwasanya Nabi – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda kepada Khodiijah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya: @“Sesungguhnya aku melihat cahaya dan mendengar suara, dan sesungguhnya aku takut ada penyakit kegilaan pada diriku.”# Khodiijah berkata: “Allah tidak akan berbuat demikian kepadamu wahai putera Abdulloh.” Kemudian Khodiijah mendatang i Waroqoh bin Nawfal dan menyebutkan hal itu. Maka Waroqoh berkata: “Jika benar hal itu maka itu adalah Naamuus (pemegang rahasia, yakni Jibril, ia disebut demikian karena ia memegang rahasia ilahi berupa wahyu yang ia sampaikan kepada para nabi dan rasul) sseperti Naamuus yang pernah datang kepada Musa. Jika beliau telah di utus sedangkan saya masih hidup maka saya akan mendukung dan menolong beliau, serta beriman kepada beliau.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang sahih, Al-Haytsamiy mengetengahkan hadits ini dalam Al-Majma’ dan mengatakan bahwa perawinya adalah Ahmad dan juga Ath-Thobrooniy, dan ia berkata: “Rantai para perawi Ahmad adalah orang-orang yang sahih, dan juga haidts ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d”           
[44] Diriwayatkan dari ‘A-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Pertama kali permulaan wahyu kepada Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – adalah mimpi yang baik (benar) dalam tidur beliau. Beliau tidak melihat sesuatu mimpi kecuali mimpi itu terjadi (nampak) seperti cahaya fajar. Kemudian beliau dibuat senang menyendiri. Beliau sering mendatangi gua Chiroo’ dan ber-tachannuts disana – yakni beribadah beberapa malam yang tertentu jumlahnya – dan beliau membawa bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khodiijah dan membawa bekal lagi untuk kembali seperti itu hingga datanglah kebenaran kepada beliau sedang beliau tengah berada di gua Chiroo’. Lalu datanglah malaikat (yakni Jibril) dan berkata kepada beliau: @“Bacalah!” Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Aku berkata: “Saya tidak dapat membaca.” Lalu malaikat itu menarikku dan memelukku dengan sekuatnya kemudian ia melepaskanku dan berkata: “Bacalah!” Aku berkata: “Saya tak dapat membaca.” Kemudian ia menarikku dan memelukku kedua kalinya sekuat tenaganya dan kemudian melepaskanku dan berkata: “Bacalah!” Aku berkata: “Saya tak dapat membaca.” Maka ia menarikku dan memelukku untuk yang ketiga kali dengan sekuat tenaganya lalu melepaskanku, dan berkata: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan..” hingga “…apa yang dia tidak tahu.” (Q.S Al-‘Alaq: 1 – 5)#
Lalu Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – pulang dalam keadaan bergetar hatinya, sehingga beliau masuk bertemu Khodijah binti Khuwailid – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dan berkata: @“Selimutilah aku! Selimutilah aku!”# Maka ia pun menyelimutinya sehingga hilang darinya rasa takut, maka beliau berkata kepada Khodiijah dan mengabarkanya tentang yang terjadi: @“Sungguh aku takut akan dirku.”# Khodiijah berkata: “Sekali-kali jangan demikian, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau orang yang suka menyambung hubungan rahim (kerabat), berkata jujur, menanggung beban, memberi orang yang tak berpunya, menghormti tamu, dan menolong kebenaran.”
Kemudian Khodijah pun pergi bersama beliau ke Waroqoh bin Nawfal bin Asad bin Abdil ‘Uzzaa, ia adalah seorang yang memeluk agama nasrani pada zaman jahiliah, ia menulis Al-Kitab dalam bahasa ‘Ibraniy dan menulis daripada Injil dengan bahasa Ibraniy.” Lalu Khodijah berkata: “Wahai anak pamanku, dengarkanlah dari anak saudaramu.” Waroqoh berkata: “Apa yang kau lihat?” lalu Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – mengabarkan tentang apa yang beliau lihat. Kemudian Waroqoh berkata: “Itu malaikat yang turun kepada Musa. Aduh seandainya saja aku masih muda, aduh seandainya saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – berkata: @“Apakah mereka akan mengusirku?”# Waroqoh berkata: “Ya. Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti apa yang kau bawa kecuali ia akan dimusuhi. Dan jika aku hidup hingga masamu itu aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga.” Lalu tidaklah lama setelah itu Waroqoh pun meninggal dunia dan terputuslah wahyu.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy, dan Muslim.
Ahmad menambahkan (dalam riwayatnya): “Lalu wahyu pun terputus sehingga Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersedih – sebagaimana riwayat yang sampai pada kami – sehingga pada pagi hari sering beliau ingin untuk melemparkan dirinya dari puncak bebukitan. Setiap kali beliau sampai di puncak gunung nampaklah Jibril – semoga salam tetap atasnya – dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah benar-benar utusan Allah.” Maka menjadi tenanglah kegeelisahan beliau, dan senanglah jiwa beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – maka pulanglah beliau. Lalu ketika terputus lagi wahyu dalam waktu lama beliau pun kembali seperti itu, maka ketika beliau sampai di puncak gunung maka nampaklah bagi beliau Jibril – semoga salam tetap atasnya – maka ia pun mengatakan kepada beliau seperti itu.”
Hadits riwayat ‘A-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – tersebut adalah sebuah hadits yang agung, ia mengandung beberapa faedah, beberapa adab dan kaidah-kaidah keimanan serta pengetahuan tentang cara menempuh perjalanan (menuju kedekatan kepada Allah). para ulama telah berbicara tentangnya dan mereka telah berusaha untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang terkadung di dalamnya. Sehingga Al-Imam Ibnu Abi Jamroh – semoga Allah mensucikan ruhnya – berbicara tentang hadits ini dalam kitab Bahjatun Nufuus dari 41 (empat puluh satu) sisi. Ssedangkan kami akan menjelaskan faedah-faedah yang jelas lagi penting. Maka kami berkata seraya meminta pertolongan kepada Allah Yang Maha Luhur:
Pertama: dalam perkataan ‘A-isyah – semoga Allah Yang Maha Luur meridhoinya: “Pertama kali permulaan wahyu kepada Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – …..”
Wahyu secara bahasa memiliki beberapa makna, terkadang digunakan untuk makna isyarat, seperti firman Allah Yang Mahab Luhur tentang Nabi Zakariya – semoga salam tetap atasnya - : “Maka dia (Zakariya) mewahyukan (yakni memberi isyarat) kepada mereka (kaumnya) hendaklah kalian mensucikan nama Allah pagi-pagi dan sore-sore.” (Q.S Maryam: 11) Dan terkadang digunakan untuk makna ilham seperti firman-Nya Yang Maha Luhur: “Allah mewahyukan (yakni mengilhamkan) kepada lebah….” (Q.S An-Nachl: 68) Diantara makna wahyu adalah ilham yang diberikan kepada hati para orang salih, dan dapat pula digunakan untuk makna tulisan atau tentang perintah untuk melakukan sesuatu. Adapun dalam syari’at wahyu digunakan untuk menyebut mimpi yang benar dan ilham dari Allah yang diletakkan-Nya di dalam hati para nabi-Nya atau firman Allah dari belakang hijab atau yang dibawa oleh malaikat lalu ia masukkan ke dalam hati Nabi atau ia bicarakan secara langsung dengan Nabi. Tentang ini Allah Yang Maha Luhur berfirman: “Tidaklah dapat manusia untuk berbicara dengan Allah kecuali melalui wahyu atau dari balik hijab  atau Dia mengutus utusan (yakni Jibril) maka ia mewahtukan apa yang Allah kehendaki atas izin-Nya….” (Q.S Asy-Syuuroo: 51) Dapat pula dikatakan sesungguhnya wahyu adalah kalam Allah yang diturunkan atas para nabinya dengan cara-cara tersebut di atas. As-Suhailiy – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – telah menyebutkan beberapa tingkatan wahyu, dan dinukil oleh Al-Chaafizh Ibnul Qoyyim – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – dalam Zaadul Ma’aad namun ia tidak menisbatkan keterangan itu kepada As-Suhailiy.
Dan Allah Yang Maha Luhur telah menyempurnakan baginya beberapa tingkatan wahyu, yaitu:
-       Pertama, mimpi yang benar dan ini adalah permulaan wahyu kepada beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – beliau tidak melihat satu mimpi pun kecuali datang seperti terangnya pagi hari.
-   Kedua, sesuatu yang diletakkan oleh malaikat dalam hati beliau tanpa beliau melihatnya, sebagaimana beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: @“Sesungguhnya roh kudus (Jibril) meniupkan dalam hatiku bahwasanya tidak akan meninggal seorang jiwapun sehingga disempurnakan rezqinya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencari rezqi (yakni dengan cara yang halal), dan jangan sekali-kali lambatnya rezqi itu membawamu untuk mencariny dengan kemaksiatan kepada Allah, sebab apa yang di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepadanya.”# Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Maajah, Ibnu Chibbaan, Al-Chaakim dan lain-lain, dari hadits Jaabir, dan ini adalah hadits sahih, karena banyaknya pendukungnya.
-          Ketiga, sesungguhnya malaikat menyerupa dohadapan beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – menjadi seorang lelaki lalu berbicara kepada beliau sehingga beliau mencamkannya atau memahaminya, dan dalam tingkatan ini terkadang dilihat oleh para sahabat sebagaimana dalam hadits Jibriil yang terkenal.
-          Keempat, wahyu tersebut datang seperti gemerincingnya lonceng dan inilah yang paling berat atas beliau sehingga hampir tersamar (apa yang disampaikan) malaikat itu bagi beliau, sehingga dahi beliau bercucuran keringat padaa hari yang sangat dingin sekalipun, da sehingga unta beliau duduk ke tanah apabila beliau menungganginya (ketika menerima wahyu), dan sungguh suatu kali telah datang wahyu dalam keadaan demikian sedangkan paha beliau berada di atas paha Zaid bin Tsaabit maka menjadi beratlah atas Zaid sehingga hampir serasa pahanya itu patah.
-          Kelima, beliau melihat malaikat dalam wujudnya yang padanya ia diciptakan (yakni yang asli), maka malaikat tersebut memberikan wahyu kepada beliau apa yang dikehendaki oleh Allah untuk diberikan kepada beliau. Dan ini terjadi kepada beliau dua kali, sebagaimana hal itu disebutkan oleh Allah dalam surat An-Najm.
-          Keenam, apa yang Allah wahyukan ketika beliau berada di atas langit pada malam Mi’rooj berupa kefadhuan sholat, dan lain-lain.
-          Ketujuh, Firman Allah kepada beliau tanpa perantara malaikat, sebagaimana Allah berfirman kepada Nabi Musa bin Imroon – semoga salam tetap atasnya – dan tingkatan wahyu ini dikuatkan untuk Musa secara pasti dengan teks Al-Qur’an, dan bagi Nabi kita – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – yaitu pada malam Isroo’, sebagian ulama menambah tingkatan kedelapan yaitu Allah berfirman kepada beliau secara langsung tanpa Chijaab, dan ini menurut mazhaab yang mengatakan bahwa sesungguhnya beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – melihat Tuhannya Yang Maha Suci laagi Maha Tinggi, dan ini adalah sebuah masalah yang diperselisihkan antara ulama salaf (ulama masa awal-awal Islam hingga abad 2 hijrah) dan kholaf (ulama mutaakhirin).

Kedua adalah perkataan ‘Aisyah tentang mimpi yang benar, para ulama telah bersepakata bahwa mimpi para nabi adalah wahyu, Allah Yang Maha Luhur telah berfirman tentangg sayyidina Ibroohiim – semoga salam tetap atasnya – “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelihmu maka linatlah bagaimana pendapatmu. Ia (Isma’il) berkata: “Wahai ayahku lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu…..” (Q.S Ash-Shooffaat: 102)
Adapun mayoritas atau kebanyakan para ulama berpendapat bahwa beliau (Rasululloh) tetap menerima wahyu berupa mimpi yang benar selama 6 bulan, oleh karenanya beliau bersabda dalam hadits yang sahih: @“Mimpi seorang mu’min adalah satu bagia dari empat puluh enam bagian kenabian.”# Adapun hadits ini telah lalu begitu juga penjelasan maknanya.    
Ketiga, dalam hadits tersebut terdapat pensyari’atan khulwat (menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah) agar dapat berkonsentrasi dalam beribadah dan menghadang hembusan (rahmat) Allah Yang Maha Luhur dan ma’rifahnya, dan hal itu tetntu akan muncul dari ‘uzlah (mengasingkan diri), sebab keduanya itu adalah sesuatu yang saling berakibat, dan tentang hal ini terdapat banyak hadits dan sunnah yang datang yang akan datang pada tempatnya insya Allah Ta’aala.
Keempat, bahwasanya yang pertama kali turun daripada ayat-ayat Al-Qur’an yang mana Allah memuliakan Nabinya – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – adalah surat Al-‘Alaq: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [yakni dengan perantara tulis-baca]. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S Al-‘Alaq: 1 – 5) dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama karena beberapa dalil yang saling mendukung satu sama lain. Maka ayat tersebut merupakan rahmat yang pertama yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur kepada para hamba-Nya dan nikmat yang pertama kepada mereka.
Ibnu Katsiir berkata: “dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan tentang awal penciptaan manusia dari segumpal darah, dan bahwasanya termasuk kedermawanan Allah Yang Maha Luhur Dia mengajarkan manusia apa yang tidak mereka ketahui, maka Allah memuliakan manusia dengan ilmu, yaitu sesuatu yang membedakan Adam, bapak para manusia, atas para malaikat.”
Kelima, dalam hadits tersebut terdapat kemuliaan Sayyidah Khodiijah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dan kecerdasan akalnya, dan diambil dari sini bahwasanya ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan kepada apa yang beliau bawa.
Keenam, bahwasanya Nabi – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersifat dengan akhlak yang mulia dan perangai yang terpuji sebelum kenabiannya, Khodiijah telah mengetahui hal itu dan sebagaimana akhlak beliau juga terkenal dikalangan setiap orang yang mengenal beliau. Oleh karenanya ketika beliau berkata kepada Khodiijah: @“Sungguh aku takut akan diriku.”# yakni daripada setan-setan, dan sabda beliau: @“Sesungguhnya aku takut ada penyakit kegilaan pada diriku.”# maka Khodiijah menenangkan beliau dan berkata kepada beliau: “sekali-kali tidak demikian, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya….dst”
Dan Khodiijah mengetahui tentang Nabi bahwasanya beliau bukan orang yang dikuasai oleh setan-setan seperti para dukun, hal itu karena beliau bersifat dengan akhlak-akhlak yang baik dan perilaku yang terpuji.
Ketujuh, di dalam hadits tersebut teerdapat ajaran untuk kembali kepada hali ilmu ketika terjadi hal-hal yang menimpa seseorang dari kita yang mana ia tidak mengerti jalan keluarnya.
Kedelapan, pada hadits tersebut terdapat keutamaan Waroqoh bin Nawfal, dan bahwasanya ia beriman kepada Nabi – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan bercita-cita untuk menolong beliau dan mendukung beliau ketika beliau menyeru kaum beliau dan mengeluarkan beliau dari negeri beliau. Dan telah datang dalam mimpi beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – hal yang menunjukkan bahwa ia (Waroqoh) termasuk penghuni surga. Dan tidak patut hal itu untuk diragukan.
Kesembilan, Al-Qoodhii ‘Iyaadh dan Al-‘Ayniy dan selain keduanya mengatakan: “Hanyasaja beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dimulai dengan mimpi yang benar dalam proses penurunan wahyu dan bersama dengan cahaya yang beliau saksikan dan suara yang beliau dengarkan, serta salam dari bebatuan, dan pepohonan kepada beliau dan yang lain-lain berupa kabar gembira, itu sebagai irhaash (hal-hal yang diluar batas kemampuan manusia yang diberikan kepada seorang nabi sebelum ia diutus menjadi nabi) bagi beliau sehingga beliau mengetahui atau dapat merasakan apa yang akan ditujukan kepada beliau dan yang dipersiapkan berupa kedatangan malaikat.
Kesepuluh, menurut pendapat Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah meridhoi keduanya – bahwasanya beliau tinggal di Makkah selama 15 (lima belas) tahun: tujuh tahun beliau mendengar suara dan melihat cahaya dan delapan tahun beliau diberi wahyu. Hal ini bertentangan dengan hadits yang lain yang berhubungan dengan tinggalnya beliau di Makkah 15 tahun sebagaimana telah lalu dan yang akan datang. Sebagaimana juga perkataan Ibnu ‘Abbaas: beliau mendengar suara dan melihat cahaya selama delapan tahun, dan perkataannya: delapan tahun diberi wahyu, pendapat tersebut syadz dan bertentangan dengan yaang dipegang oleh sebagian besar para ulama. Sedangkan Al-Khoozin mengarahkana perkataan atau pendapat tersebut: bahwa dua tahun sebelum kenabian yang mana beliau melihat daripada cahaya dan kabar-kabar gembira, dan tiga tahun setelah kenabian sebelum tiga dakwah secara terang-terangan, dan sepuluh tahun dakwah secara terang-terangan di Makkah. Meskipun demikian, kesulitan (kemusykilan) tetap ada, sebab perkataan Ibnu ‘Abbaas “delapan tahun beliau diberi wahyu” meniadakan (menyalahi) apa yang dikatakan oleh Al-Khoozin tersebut. Maka hanya Allah lah Yang Maha Tahu ttentang bagaimana hal itu terjadi. Meskipun riwayat Ibnu ‘Abbaas itu tersebut di sahih Muslim, namun Al-Qoodhii ‘Iyaadh dan An-Nawawiy tidak berkomentar tentang masalah ini.
Kesebelas, sesungguhnya beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – khulwat di goa Chiroo’ yang jauh dari tempat tinggal (atau perkampungan) itu adalah ilham dari Allah. sebab sesungguhnya beliau ketika melihat kaumnya dan perbuatan mereka berupa amal-amal jahiliah dan menyebarnya keesyirikan kepada Allah dan penyembahan kepada berhala byang berupa bebatuan dan pepohonan ditambah lagi banyaknya perbuatan maksiat mereka dan kekejian mereka serta hal-hal lain yang menyalahi fitrah manusia. Maka ketika itu beliau menjauhi masyarakat beliau dan naik ke puncak gunung yang curam maka beliau memulai beribadah dan bertafakkur (merenungi) tentang keagungan Allah yang nampak pada alam semesta yang amat luas ini sehingga Allah Yang Maha Luhur memuliakan beliau dengan kemuliaan dari-Nya (yaitu kenabian).
Dan di sini beberapa kelompok tersesat sehingga mereka berkata: “Sesungguhnya kenabian terkadang dapa diraih dengan ibadah dan memutuskan hubungan dari semua makhluk, dan bahwa kenabian adalah dapat diupayakan. Ini semua sebuah kebodohan dan kesesatan. Sebab sesungguhnya kenabian itu adalah karunia dan keutamaan dari Allah Yang Maha Luhur, yang mana Dia meletakkannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana Dia Yang Maha Luhur berfirman: “Allah maha tahu di mana Dia harus menjadikan kerasulan-Nya.” (Q.S Al-An’aam: 124) dan sebagaimana Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: “Allah-lah Yang memilih dari para malaikat beberapa orang utusan dan juga dari bangsa manusia…” (Q.S Al-Hajj: 75). Memang yang dapat diusahakan adalah kewalian dan macam-macam tingkatannya hingga maqom (tingkatan) shiddiiqiyyah (di bawah derajat kenabian).
Keduabelas, perkataan ‘A-isyah tentang terputusnya wahyu yakni tertahannya Jibril – semoga salam tetap atasnya – untuk mendatangi beliau, dan para ulama telah berselisih pendapat tentang berapa lamakah terputusnya wahyu itu terjadi? Ada yang mengatakan: tiga tahun, ada yang mengatakan: dua setengah tahun, dan ada yang mengatakan selain itu, dan dalam masa ini beliau sangat sedih dan mendatangi puncak gunung untuk melemparkan dirinya, dan setiap kali beliau sampai di puncak gunung maka Jibril pun menampakkan diri dan menenangkan beliau serta berkata keppada beliau: “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau ini adalah utusan Allah” maka tenanglah beliau, dan begitullah sehingga beliau melihat Jibril di kursi antara langit dan bumi sebagaimana dalam hadits berikut ini.
[45] Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – bahwasanya Jaabir bin Abdulloh Al-Aanshooriy – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – berkata sedangkan ia tengah membicarakan tentang terputusnya wahyu maka beliau bersabda dalam haditsnya: @“Sementara aku berjalan, tiba-tiba saya mendengar suara dari langit maka aku mengangkat pandanganku lalu tiba-tiba malaikat yang mendatangiku di Chiroo’ duduk di atas sebuah kursi antara langit dan bumi, maka aku pun takut lalu aku pulang dan aku berkata: “Selimutilah aku!” lalu Allah Yang Maha Luhur menurunkan: “”Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan.” sampai firman-Nya: “dan perbuatan dosa maka jauhilah.” (Q.S Al-Muddatstsir: 1 – 5) lalu setelah itu turunlah wahyu secara berturut-turut.”#
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy, Muslim, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy, dan lain-lain.
Dan dari suatu riwayat dari Yahya bin Abi Katsiir, ia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Salamah: “Ayat Al-Qur’an yang mana yang turun pertama kali?” lalu Abu Salamah berkata: “Yaa Ayyuhal Muddatstsir [wahai orang yang berselimut]” Aku berkata: “Aku telah diebritahu bahwasanya ayat tersebut adalah iqro’ bismi Robbikal ladzii kholaq [bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Mencipta]” Abu Salamah berkata: “Saya pernah bertanya kepada Jaabir bin Abdillah: “Ayat Al-Qur’an mana yang turun pertama kali?” lalu Jabir berkata: “Yaa ayyuhal Muddatstsir.” Lalu aku berkata: “Aku telah diberi tahu bahwasanya ayat itu adalah iqro’ bismi Roobikal ladzii kholaq.” Maka Jaabir berkata: “Aku tidak mengabarkan kepadamu kecuali dengan apa yang disabdakan oleh Rasululloh – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – beliau bersabda: @“Aku telah berdiam di Chiroo’ (beberapa waktu) ketika aku sudah menyelesaikan waktu di sana aku pun turun lalu aku melewati tengah-tengah lembahn kemudian aku melihat ke hadapanku, ke belakangku, ke kananku, ke kiriku, tiba-tiba dia (Jibril) berada di atas sebuah singgasana antara langit dan bumi, lalu aku langsung mendatangi Khodiijah dan aku berkata: “Selimutilah aku dan tuangkanlah kepadaku air dingin.” Lalu turunlah kepadaku: “Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan dan tuhanmu maka agungkanlah.” (Q.S Al-Muddatstsir: 1 – 3)”#
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dan Muslim.
Dalam hadits tersebut dengan dua riwayatnya dapat kita ambil dua perkara:
Pertama, padanya tersebut bahwa beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – berbolak-balik ke Chiroo’ setelah terputusnya wahyu karena ia rindu kepada Jibril.

Kedua, Jaabir berkeyakinan bahwa yang pertama kali turun adalah surat Al-Muddatstsir, dan ini berbeda dengan hadits ‘A-isyah yang tersebut sebelumnya dan berbeda dengan pendapat Jumhur (sebagian besar) ulama, walaupun tidak semuanya. Dan sebagian ulama mengumpulkan antara keduanya bahwa yang pertama kali turun dari wahyu adalah iqro’ bismi Robbika sedangkan yang pertama kali turun setelah terputusnya wahyu adalah Yaa Ayyuhal Muddatstsir dan dalam surat Al-Muddatstsir itu terdapat perintah untuk menyampaikan dan memberi peringatan. Dan pengumpulan dua pendapat itu adalah sebuah pengumpulan yang baik bahkan itu adalah wajib insyaa Allah Ta’aalaa dan apa yang beliau – semoga Allah Yang Maha Luhur tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – kerjakan dari kehendaknya untuk melemparkan dirinya dari puncak gunung maka itu adlaah sebelum turunnya syari’at (yang melarang hal itu), maka tidak ada kemusykilan (kesulitan) dalam hal ini sebagaimana terkadang menghinggapi perasaan (sebagian orang).