Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 Oktober 2010

Seni menuntut ilmu 1

Pertama yang harus diketahui bagi para penuntut ilmu adalah pembagian ilmu itu sendiri. Sehingga nampak atau menjadi jelas mana ilmu yang harus diprioritaskan / diutamakan.
Kita sebagai seorang muslim dalam segala tindak-tanduk kita haruslah terikat oleh aturana / ajaran syari’at Islam. Setiap kita hendak melakukan sesuatu kita haruslah menanyakan: apa hukum sesuatu yang kita lakukan? Apakah itu wajib ataukah sunnah atau makruh atau bahkan haram ataupun mubah? Sehingga kita dapat mengambil sikap apakah kita harus melakukanya atau meninggalkannya. Begitu juga dengan ilmu.
Dalam bahasan yang lampau kita telah membahas bahwa ilmu yang wajib dituntut oleh setiap muslim pertama kali adalah ilmu yang fadhu ‘ain, yaikni tentang mengenal Allah, mengenal Rasululloh – semoga Allah tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau – ilmu tentang wajib-wajibnya wudhu’, salat, puasa, serta zakat dan hajji bagi yang mampu, dan ilmu tentang penyakit-penyakit hati yang dapat merusak / menghancurkan amal baik kita.
Dalam kesempatan lain Berkaitan dengan pembagian ilmu maka Al-Ghozali mengetengahkan bahwa ilmu dapat dibagi menjadi dua bagian besar:
1. ilmu Syar’iy yaitu ilmu yang terambil dari para Nabi – semoga salawat dan salam tetap atas mereka semua – dan tak dapat dihasilkan oleh akal ataupun percobaan / eksperimen. Sebetulnya semua ilmu syar’iy terpuji namun sebagian ilmu yang tercela ada yang menganggapnya sebagai ilmu syar’iy, maka ilmu syar’iy perlu dibedakan menjadi dua:
a. yang terpuji, ilmu syar’iy yang terpuji ini dapat dibedakan menjadi 4 bagian:
- ilmu-ilmu dasar (ushuul): meliputi: Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits), ijma’ (konsensus / kesepakatan para ulama), Atsaar sahabat (perkataan para sahabat Nabi yang memiliki sandaran langsung atau tidak langsung kepada hadits / sabda Nabi). Adapun ijma’ maka dia menjadi dasar agama karena menunjukkan kepada As-Sunnah hadits, dan dikuatkan pula oleh sabda Nabi: “Ummatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. Adapun Atsaar sahabat maka dia termasuk dasar karena juga menunjukka ats sunnah sebab para sahabat – semoga Allah meridhoi mereka semuanya – adalah saksi hidup atas turunnya wahyu kepada Rasululloh – semoga Allah tetap melimpahkan salawat dan salam atas beliau – dan mereka juga saksi hidup atas hadits-hadist Nabi sebab merekalah orang yang langsung menerima sabda Nabi dari mulut belia yang mulia, sehingga mereka adalah orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan Hadits. Dari sinilah ulama berpendapat adalah suatu keharusan untukmengikuti mereka dan memegangi perkataan mereka, tentunya dengan syarat-syarat yang khusus, yang tidak sesuai jika disebutkan disini.
- ilmu-ilmu cabang (furuu’): yaitu apa-apa yang dipahami dari keempat dasar itu, yakni bukan sekedar yang tersurat namun juga makna yang tersirat di dalamnya, seperti firman Allah: “Janganlah kamu berkata: “hus / cis!” kepada kedua orang tua.” Maka dari sini dapat kita pahami bahwa berkata-kata kasar saja tidak boleh apalagi sampai memukul, dsb. Ilmu-ilmu cabang ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 
(1) yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia, seperti: ilmu fiqih (hukum Islam), yang digeluti oleh para fuqoha’ / ahli fiqh. 
(2) yang berkaitan dengan kemaslahatan akhirat, inipun terbagi menjadi 2 macam: 
a) ilmu mu’amalah (yakni mu’amalah / hubungan dengan Allah) yakni ilmu tentang keadaan hati, akhlaq / sifat hati yang tercela dan yang terpuji, termasuk dalam bagian ini adalah ilmu-ilmu tentang rahasia / hikmah salat, rahasia puasa, zakat, hajji, dan lain-lain, yang masih berkaitan dengan hati; 
b) ilmu mukasyafah yaitu ilmu yang diperoleh dengan tersingkapnya mata batin, sehingga dia melihat segala sesuatu dengan hakikatnya, dan ini merupakan ilmu para wali Allah, merupakan anugerah dari Allah setelah dia menundukkan nafsunya, membersihkan hatinya dengan mengamalkan ilmu mu’amalah tersebut. Oleh karena dia merupakan karunia / pemberian dari Allah maka untuk itu kita tidak dituntut untuk memperolehnya.
- ilmu-ilmu pendahulu / pengantar (muqoddimaat): yaitu ilmu tentang bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Qur’an dan bahasa Syari’at, atau yang biasa disebut sebagai ilmu alat, seperti: ilmu bahasa dan tata-bahasa Arab meliputi: ilmu Nachwu & Shorof, ilmu balaghoh (stilistika / gaya bahasa) dan yang semacamnya.
- ilmu-ilmu pelengkap (mutammimaat), meliputi : ilmu pelengkap Al-Qur’an, yaitu: ada yang berkaitan dengan lafazh Al-Qur’an itu sendiri, seperti ilmu qiroo’at (cara membaca Al-Qur’an dengan benar) dan tentang makhoriijul churuf, pengucapan huruf yang benar; ada yang berkaitan dengan arti / makna Al-Qur’an, seperti: ilmu tafsir Al-Qur’an; ada yang berkaitan dengan hukum Al-Qur’an, seperti: tentang naasikh, mansuukh, dan sebagainya, yaitu yang biasa dikenal dengan ilmu ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), begitu juga halnya dengan Hadits. Adapun yang berkaitan dengan Atsaar sahabat, maka ilmu pelengkapnya seperti: ilmu tentang nama-nama para sahabat serta generasi setelahnya (tabi’in, tabi’it tabi’in, dst), termasuk sejarah singkat mereka, seperti tahun lahir dan wafatnya, dan sifat mereka sebagai agen pembawa ilmu dan pembawa hadits Nabi, dan sebagainya.
b. yang tercela, seperti ilmu kalam (filsafat Ketuhanan) yang terlalu mendalam yang berisi perdebatan dan istilah-istilah yang baru yang mana kesemuanya itu tidak dikenal pada masa sahabat; bukan ilmu tauhid yakni ilmu tentang mengenal sifat2 Allah dan yang wajib diketahui oleh setiap muslim, adapun tauhid maka ia termasuk ilmu yang terpuji. (untuk pembahasan ilmu yang tercela ini insya Allah akan dibahas dalam pembahasan tersendiri)
2. ilmu yang tidak syar’iy, yaitu yang selain ilmu syar’iy. Ilmu ini terbagi menjadi dua bagian:
a. yang terpuji, yakni yang berkaitan dengan kemaslahatan kehidupan dunia, dan ini dibedakan menjadi dua: 
1) yang fardhu kifayah (harus ada sebagian dari kaum muslimin yang menguasainya) seperti: ilmu kedokteran sebab dibutuhkan untuk kesehatan manusia, ilmu hitung / matematika sebab dubutuhka untuk perdagangan, membagi warisan dan wasiat, ilmu teknik, pertanian, dsb. 
2) yang terpuji namun tidak sampai kepada derajat fardhu kifayah, seperti: pendalaman ilmu matematika, dsb.
b. yang tercela, ilmu sihir, ilmu sihir (insya Allah akan ada pembahasan khusus tentang kenapa sebagian ilmu itu tercela)
c. mubah (boleh, tidak terpuji dan tidak tercela), yaitu ilmu tentang sya’ir jahiliyah yang tidak mengandung celaan terhadap orang lain, ilmu sejarah, dsb.
Dari keterangan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu itu ada yang:
- wajib dituntut, ada yang fardhu ‘ain seperti: ilmu mengenal Allah, mengenal Rasululloh, ilmu tentang rukun-rukun salat, puasa, zaakat dan hajji, dsb, yang kesemuanya wajib – tidak ada tawar-menawar – setiap muslim harus mengetahuinya, juga ilmu tentang sifat-sifat hati yang terpuji dan tercela; fardhu kifayah, seperti: pendalaman fiqih hingga mampu memberi fatwa, dan ilmu-ilmu syar’iy yang lain seperti: ilmu tafsir, ilmu qiroo’at, dll yang tersebut dalam bagian ilmu syar’iy yang terpuji diatas. Termasuk yang fadhu kiayah adalah ilmu2 yang memenuhi hajat hidup orang banyak seperti kedokteran, teknik, pertanian dan sebagianya
- Sunnah untuk dituntut: mendalami ilmu fiqih melebihi derajat fatwa, mendalami ilmu hitung melebihi yang sekedar dibutuhkan, dan pendalaman ilmu2 terpuji (yang telah tertera diatas, baik yang syar’iy atau yang bukan) melebihi kadar yang wajib.
- Haram untuk dituntut: ilmu sihir, ilmu nujum / ramalan bintang atau yang berhubungan dengan nasib, dsb
- Mubah / boleh dituntut: ilmu sya’ir, ilmu sejarah, dan semacamnya.
[Disarikan dari kitab Ichyaa' Uluumiddiin karya Al-Imam Al-Ghozzaaliy r.a]