Total Tayangan Halaman

Sabtu, 15 Februari 2014

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: Beberapa contoh kewajiban dan larangan secara singkat serta pembahasan khouf (rasa takut) dan rojaa' (pengharapan) juga peranannya dalam amal baik seseorang

Termasuk dari yang diharamkan yang paling besar adalah takabbur / sombong, berbangga diri, sewenang-wenang, iri, dengki, perbuatan yang melampaui batas, menipu, menyuruh kepada kerusakan / kemaksiatan. Juga termasuk dosa yang terbesar diantara dosa besar adalah zina, homoseksual / sodomi, mencuri, memakan harta anak yatim, selain itu termasuk dosa besar adalah membunuh seorang muslim tanpada ada hak, atau memukulnya atau mencelanya, atau mengambil hartanya tanpa ada hak. 
Selain itu, menyimpan keburukan, kemunafikan, sumpah palsu. Dan termasuk yang terburuk adalah putus asa dari rahmat Allah SWT, merasa aman dari rekadaya Allah, terus-menerus bermaksiat kepada Allah, bersaksi palsu, tuduhan palsu kepada orang yang baik, dan juga sihir. 
Selain itu, termasuk dosa yang terberat adalah minum khomr / minuman keras, dan segala yang memabukkan walaupun bukan khomr. Selain itu juga, memakan riba, meribakan uang / harta, dan bahkan ridho dengan riba, bersaksi atas transaksi riba, lari dari medan perang, durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silatur rahim, mencela orang muslim, merusak nama baik / kehormatannya. Meninggalkan amar ma’ruf dan nahyi munkar, mencari-cari kesalahan / aib orang lain, ghibah / membicarakan aib orang lain, mendengarkannya, bahkan ridho terhadapnya, serta tidak melarangnya, berdusta, berkawan eat dengan orang ahli maksiat, menghormati orang yang zalim, tidak mengajarkan keluarga / isteri dan anak akan masalah-masalah yang mereka butuhkan dari masalah agama / ibadah mereka, dan lain-lain yang mana hampir tidak terbatas. Insya Allah akan datang keterangan terperinci tentang sebagian besar dari hal-hal yang telah tersebut di atas, ketika penggubah nazhom ini menyebutnya nanti ditengah-tengah wasiatnya. 
Adapun amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah maka banyak sekali. Al-Imam Al-Ghozzaliy – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ketahuilah bahwa orang yang memandang dengan cahaya mata batin, mereka mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali dalam perjumpaan dengan Allah, dan tak ada jalan untuk berjumpa dengan Allah kecuali hamba tersebut mati dalam keadaan ia mencintai Allah dan mengenal Allah. Sedangkan bahwasanya kecintaan dan kesenangan kepada Allah tidaklah di dapat kecuali dengan terus menerus melanggengkan fikr (memikirkan kebesaran Allah) dan dzikr (mengingat-Nya). Sedangkan dzikir dan fikr tidak dapat terlaksana kecuali dengan meninggalkan (cinta) dunia dan kesenangannya dan merasa cukup dengan yang sedikit dari harta, yaitu sekedar bekal ia menyambung hidup di dunia ini. Hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan menghabiskan waktu siang dan malam dalam berbagai macam amal ketaatan seperti: dzikir, fikir, ibadah dan segala yang mendekatkan diri kepada Allah.” Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin masuk surga tanpa hisab maka hendaklah ia habiskan / manfaatkan waktunya dalam ketaatan. Barangsiapa yang ingin agar neraca kebaikannya lebih berat / mengalahkan timbangan amal keburukannya maka hendaklah ia ambil sebagian besar waktunya itu untuk segala macam ketaatan. Barangsiapa yang ingin menghabiskan malam dan siangnya dalam ketaatan kepada Allah SWT, dan amal-amal yang dapat mendekatkan kepada-Nya maka hendaklah ia mengamalkan apa yang tertera dalam bab Tartiibul Awrood (menertibkan wirid) dalam kitab beliau yang berjudul Ichyaa’ Uluumidd Diin begitu juga kitab Bidaayatul Hidaayah karya beliau. maka mengamalkan yang ada di situ adalah jalan yang menuju Allah SWT. Sebagaimana yang dikatakan oleh penulisnya – semoga Allah merahmatinya dan membalas jasanya kepada orang-orang mukmin denggan balasan yang baik. 
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Yang paling tepat bagi seluruh manusia adalah membagi-bagi ketaatan yang berbeda-beda sesuai dengan waktu-waktunya dan berpindah dari satu jenis ketaatan kepada ketaatan lain. Yakni hal itu lebih baik daripada menghabiskan seluruh waktu untuk mengarjakan satu macam ketaatan saja. Sebab kejenuhan / rasa bosan adalah banyak menjangkiti manusia. Sedangkan tujuan dari wirid-wirid adalah pensucian hati dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah SWT. Maka apa saja dari ketaatan yang dipandang oleh seorang lebih mengena / memberi kesan pada pensucian hatinya, maka hendaklah ia lazimi terus amalan tersebut. Lalu ketika ia merasa bosan hendaklah ia berpindah ke amalan yang lainnya. 
Jika ia termasuk ahli ibadah maka hendaklah ia menghabiskan seluruh waktunya dalam salat atau membaca Al-Qur’an atau tasbih (memuji Allah) dan zikir-zikir lainnya. Sebab sungguh dalam kalangan para sahabat Nabi – semoga Allah meridhoi mereka – ada yang wiridnya 12.000 kali tasbih (ucapan subchaanalloh / Maha Suci Allah), di antara mereka ada yang wiridnya 30.000 kali, dan ada yang 300 rokaat, dan yang paling sedikit dari wirid mereka adalah 100 rakaat per hari. Di antara mereka ada pula yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari dua kali dan di antara mereka ada yang 3 kali khatam sehari dan ada pula yang 4 kali dan bahkan lebih. Dan ada pula yang menghabiskan malam dan siang harinya untuk bertafakkur tentang satu ayat dari Al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa Kurz bin Wabroh R.A setiap hari ia tawaf di baitulloh 70.000 kali tawaf (sekali tawaf tujuh putaran) dan mengkhatamkan Al-Qur’an sekali, begitu juga pada malam harinya, dan setiap ia selesaikan 7 putaran ia salat 2 rakaat. 
Adapun orang yang ahli ilmu, jika ia memungkinkan untuk menghabiskan waktu dalam ilmu maka itu adalah ketaatan yang paling utama baginya setelah salat fardhu dan salat Rowatib (salat-salat sunnah pengiring salat fardhu yakni qobliyah dan ba’diyah). Sebab dalam sibuknya ia dengan ilmu, ia memikirkan dan merenungkan tentang Firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasululloh SAW, dan di situ ia dapat memberi manfaat kepada makhluk dan menunjuki mereka kepada jalan akhirat. Yang dimaksud dengan ilmu di situ tentunya adalah ilmu yang dapat menambah orang bersemangat untuk urusan akhirat dan menambah keikhlasan mereka. Begitu pula, hadirnya seorang di majlis ilmu lebih afdhol / utama dari pada menyibukkan diri dengan wirid di seluruh waktu, dalam hadits Abu Dzarr RA tersebut: Artinya: “Hadirnya seorang dalam majlis ilmu lebih baik daripada salat 1000 rakaat, menghadiri 1000 jenazah, dan menjenguk 1000 orang sakit.” Umar bin Alkhottob berkata: “Sungguh seorang laki-laki keluar dari rumahnya sedang ia membawa dosa sebesar gunung Tihamah, maka ketika ia mendengarkan majlis ilmu ia takut dan bertaubat dari dosa-dosanya , maka ia pulang ke rumahnya dengan tanpa membawa dosa.” Maka janganlah engkau memisahkan diri dari majlis para ulama. 
Jika seorang murid butuh untuk bekerja mencari nafkah untuk anak-isterinya, memang, ia tidak boleh menyia-nyiakan mereka namun ia harus mengambil waktu untuk ibadah dan ilmu. Dan janganlah engkau melupakan dzikir / mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik ketika ia bekerja, di pasar, dsb dan ketika seorang bekerja dengan niat mencari nafkah untuk keluarga maka itu dapat bernilai ibadah, dengan syarat ia bertaqwa dalam keseluruhannya dan tidak berkhianat, tidak menipu. Hendaklah ia mengetahui bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang paling rutin / istiqomah walaupun sedikit, sebagaimana tersebut dalam hadits. Kemudian hendaklah ia menetapi amalan-amalan fardhu dan meninggalkan yang haram dan menghabiskan waktu malam dan siang dalam hal-hal yang mendekatkan dia kepada Allah SWT. Itu semua tak akan terwujud dan tak akan sempurna kecuali dengan menanamkan rasa takut kepada Allah SWT dan kuatnya pengaharapan akan segala karunia yang ada di sisi-Nya yang telah Allah janjikan bagi siapa saja yang paantas menerimanya, dan juga dengan berbaik sangka kepada Allah SWT. Oleh karena itu penggubah nazhom ini – semoga Allah meridhoi mereka – berkata:
 وَأَشْعِرِ الْقَلْبَ خَوْفًا لاَ يُفَارِقُهُ * مِنْ رَبِّهِ مَعَهُ مِثْلٌ مِنَ الرَّغَبِ
Dan tanamkanlah rasa takut dalam hati yang tak pernah terpisah / hilang * (yakni) takut akan Tuhannya dan juga hendaklah ada pula rasa harap (pada rahmat / kasih sayang-Nya). 
Hal itu juga masuk dalam batasan taqwa yang sempurna, sebab hal itu tidak lain adalah melaksanakan (ketaatan) dan menjauhi (kemaksiatan) dengan mengikuti syari’at dengan merasalan keagungan Allah SWT, kehebatan-Nya dan merasakan rasa takut dan gentar. Sedangkan hakikat dari sifat rojaa’ (pengharapan) senangnya hati karena menunggu sesuatu yang disenangi atau dengan kata lain senangnya hati karena bagus / indahnya janji. Ketahuilah bahwa rojaa’ (pengharapan) dan roghbah (rasa senang) keduanya bukanlah lawan kata dari khouf (rasa takut), kan tetapi keduanya sesuai dengan sifat takut. Sifat pengharapan adalah lawan kata dari pitus asa dari rahmat Allah SWT, sedangkan sifat takut adalah lawan dari sifat aman dari rekadaya / makar Allah. adapun putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari rekadaya Allah termasuk dosa yang paling besar diantara sekian banyak dosa besar yang dilakukan oleh hati, setelah syirik kepada Allah – kita mohon perlindungan kepada Allah SWT dari hal itu. Merasa aman dari rekadaya Allah adalah murninya pengaharapan kepada-Nya tanpa disertai rasa takut akan Allah SWt sama sekali, sehaingga tidak ada kekhawatiran bahwa Allah SWT akan menyiksa dirinya. Sebaliknya, putus asa dari rahmat Allah adalah murninya rasa takut kepada Allah tanpa disertai rasa harap kepada-Nya sama sekali, sehingga ia merasa bahwa Allah SWT tidak akan merahmatinya dan mengampuninya. Ini semua dikatakan oleh Al-Habib Abdulloh Al-Haddad dalam kitab Nashoo-ich-nya. Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Rasa takut adalah pendorong dan pengendali dalam diri manusia dengan cara menimbulkan rasa gentar, sedangkan rasa harap adalah pendorong dan yang memimpin diri manusia dengan cara menimbulkan rasa senang / ketertarikan. Keduanya salaing melengkapi Allah berfirman:
...يَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا... (الأنبياء: 90) 
Artinya: “…dan mreka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas…” (Q.S Al-Anbiyaa’: 90)
Allah juga berfirman: 
 ...يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًا...(السجدة: 16)
Artinya: “…sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap…” (Q.S As-Sajdah: 16) 
Termasuk sebagian dari pengaruh sifat harap dan senang kepada rahmat Allah adalah merasa lezat dengan selama ia menghadapkan dirinya kepada Allah SWT dan merasa nikmat dalam bermunajat kepada-Nya, serta dalam mendekatkan diri kepada-Nya dan melakukan mujahadah (usaha keras) yang panjang untuk menggapai ridho Allah SWT dan segala yang membuatnya dekat dengan Allah SWT. Barangsiapa yang tidak muncul tanda-tanda tersebut dalam dirinya maka ia adalah orang yang suka berangan-angan dan tertipu, ia bukan orang yang memiliki sifat rojaa’ (harap). Sebab sifat harap itu termasuk salah satu maqom (stasiun) yang harus dilampaui oleh orang-orang yang meniti jalan menuju Allah, dan keadaan jiwa orang-orang yang benar-benar mencari keridhoan Allah bukan sifat dari orang-orang yang tertipu dan hanya berangan-angan. Dan sungguh Allah SWT telah mensifati orang yang hanay berangan-angan dan tertipu itu, dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَّرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُوْنَ عَرَضَ هذَا اْلأَدْنَى وَيَقُوْلُوْنَ سَيُغْفَرُ لَنَا...(الأعراف: 169)
Artinya: “Maka datanglah sesudah mereka generasi (jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan mereka berkata: “Kami akan diberi ampun”….” (Q.S Al-A’roof: 169) Dan Rasululloh SAW bersabda:
اَلْأَحْمَقُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهَ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ اْلأَمَانِيَ 
Artinya: “Orang yang dungu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya lalu ia berangan-angan kepada Allah dengan banyak angan-angan.”
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa rasa harap hanyalah tepat disandarkan kepada seorang yang menunggu sesuatu yang ia senangi dengan mempersiapkan sebab-sebab (untuk menggapai yang ia senangi itu) yang mana persiapan itu masuk dalam ikhtiar hamba. Setelah itu tidak tersisa kecuali menunggu karunia Allah yang nantinya akan menyingkirkan hal-hal yang dapat merusak dan memutuskan usahanya itu. Yahya bin Mu’aadz berkata: “Termasuk sifat tertipu yang paling besar menurutku adalah terus-menerus bergelimang dalam dosa beserta itu ia mengharap ampunan, tanpa ada penyesalan dalam dirinya, dan mengharap kedekatan dengan Allah SWT tanpa ketaatan, dan menunggu hasil tanaman surga dengan menebar beih api neraka (kemaksiatan).” Para ulama berkata: “Barangsiapa yang takut akan sesuatu ia akan lari darinya, namun siapa yang takut kepada Allah maka ia akan lari kepada-Nya." 
Paling sedikitnya derajat rasa takut adalah yang pengaruhnya nampak pada amal-amalnya, yakni tercegahnya dia dari hal-hal yang diharamkan dan ini disebut Waro’ (kehati-hatian terhadap yang syubhat dan yang haram). Jika rasa takut itu membawanya kepada meninggalkan sesuatu yang tidak berdosa karena takut (bahwa sesuatu itu akan membawanya) kepada sesuatu yang berdosa, maka itu adalah kesungguh-sungguhan dalam taqwa. Jika ditambah lagi selain itu dengan memurnikan diri untuk menngabdi kepada Allah, sehingga ia tidak membangun sesuatu yang tidak akan ia tinggali dan ia tidak mengumpulkan sesuatu yang ia tidak memakannya. Ia tidak menoleh sedikit pun kepada dunia yang mana ia tahu betul bahwa ia akan meninggalkannya, dan ia tidak menggunakan nafasnya kecuali untuk Allah SWT, maka ia adalah Shiddiiq (orang yang paling bersungguh-sungguh dalam kataqwaan). 
Adapun rasa takut yang berlebihan yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada rasa putus asa dari rahmat Allah atau hilangnya akal, maka itu bukanlah suatu yang terpuji. Sebab manfaat dari rasa takut adalah kehati-hatian , ketaqwaan, dan iabdah kepada-Nya serta taat kepada-Nya. Oleh karena itu jika rasa takut itu tidak berpengarih dalam amal perbuatan maka keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Sungguh Yahya bin Mu’adz telah berkata: “Barangsiapa yang menyembah Allah hanya dengan rasa takut maka dia akan tenggelam dalam lautan fikiran, dan barangsiapa yang menyembah Allah hanya dengan rasa hara saja, maka ia akan tersesat dalam padang ketertipuan, dan barangsiapa yang menyembah Allah dengan rasa takut dan harap maka ia akan lurus dalam jalan dzikir / ingat kepada Allah.” 
Adapun rasa takut yang paling tinggi derajatnya adalah takut kepada Allah karena sifat-sifat-Nya dan keagungan-Nya, yang mana itu semua menyebabkan kegentaran di hadapan Allah. oleh karena itu rasa taakut seperti ini akan tetap ada walaupun orang yang memilikinya berada dalam ketaatan para shiddiq. Sebab, ini adalah hasil / buah dari ma’rifatulloh (mengenal Allah). 
Di antara orang-orang yang takut itu ada yang dikuasai oleh ketakutan kepada datangnya kematian sebelum dia sempat bertaubat. 
Di antaranya ada pula yang takut, jikalau dia membatalkan taubatnya. 
Di antaranya pula, ada yang takut tidak dapat memenuhi hak-hak Allah SWT. 
Di antara mereka ada yang takut hilangnya kelembutan hati mereka dan berubahnya hati mereka menjadi keras. 
Diantara mereka ada yang takut meninggalkan keistiqomahan. 
Di antara mereka ada yang takut dikuasai oleh adat / kebiasaan dan syahwat. 
Di antara mereka ada yang takut, jika Allah menyerahkan mereka kepada kebaikannya [yakni mereka puas dengan kebaikan yang mereka telah lakukan seehingga mereka lupa diri]. 
Di antara mereka ada yang takut akan sifat lupa diri karena banyaknya nikmat-nikmat Allah atas dirinya. 
Di antara mereka ada yang takut disibukkan oleh yang selain Allah SWT. 
Di antara mereka ada yang takut dengan istidrooj (ditarik kea rah kebinasaan tanpa terasa) dengan banyaknya nikmat-nikmat yang mereka terima. 
Di antara mereka ada yang takut akan hal-hal yang dapat merusak amalan mereka. 
Di antara mereka ada yang takut menanggung dosa akibat kesalahannya kepada orang lain, baik karena ghibah (membicarakan aib orang lain), atau menyakiti orang lain atau menipu atau menyimpan niat buruk kepada orang lain. 
Di antara mereka ada yang takut karena ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya di sisa umurnya. Di antara mereka ada yang takutt disegerakan azabnya di dunia. 
Di antara mereka ada yang takut tertipu dengan gemerlapnya dunia. 
Di antara mereka ada yang takut bahwa Allah memandang kepada hatinya disaat ia lalai dari (mengingat)-Nya. 
Di antara mereka ada yang takut akan su-ul khotimah (buruk penghabisan umurnya), dan rasa takut yang seperti inilah yang umu di dapati dalam diri seorang yang bertaqwa. 
Di antara mereka ada yang takut akan ketentuan Allah atas dirinya pada zaman azali (sebelum penciptaan alam), inilah bagian yang tertinggi di antara kesemuanya, dan yang paling menunjukkan pengenalan seorang hamba kepada Allah. 
Namun bagaimana pun juga semua jenis rasa takut itu harus di sertai dengan rasa harap kepada (kasih sayang) Allah. sebab rasa harap itu harus ada beriringan dengan rasa takut. Keduanya (rasa takut dan harap) adalah tuntutan keimanan sezeorang terhadap Allah SWT. Namun hendaknya rasa takut lebih besar dibandingkan dengan rasa harap, untuk orang mukmin yang mencampur adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, yang mana dikhawatirkan jika dirinya bakal meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan. Ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Habib Abdulloh Al-Haddad, dalam kitab Nashoo-ich-nya. Beliau berkata: Adapun mukmin yang taat kepada Allah SWT, maka lebih utama baginya berada dalam kondisi antara takut/ cemas dan harap, sehingga keduanya menjadi seperti dua sayap dan dua sisi neraca. Rasululloh SAW bersabda:
لَوْ وُزِنَ خَوْفُ الْمُؤْمِنِ وَرَجَاؤُهُ لاَعْتَدَلاَ
Artinya: “Jika ditimbang rasa takut seorang mukmin dengan rasa harapnya maka pastilah akan seimbang.” 
Beliau juga berkata: “Adapun jika telah dekat kematian pada diri seseorang maka yang lebih utama baginya adalah memebesarkan rasa harapnya, dan sangka baiknya kepada Allah SWT, bagaimana pun keadaannya. Sebab Rasululloh SAW bersabda:
 لاَ يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى
Artinya: “Janganlah meninggal dunia salah seorang dari kalian kecuali dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT." 
Sebab rasa takut adalah ibarat cambuk yang mendorong seseorang untuk beramal, sedang ketika dekat kematian telah hampir usailah masa ia beramal. Sebab orang yang menghadapi sekaratul maut tak dapat beramal. Sedangkan rasa harap akan menguatkan hatinya dan membuat ia cinta kepada Tuhannya, dan hendaknya seseorang yang beriman tidak meninggalkan dunia kecuali dia dalam keadaan mencintai Tuhannya, supaya dia senang untuk bertemu dengan Allah SWT. Sebab siapa saja yang cinta / senang bertemu dengan Allah maka Allah pun suka bertemu dengan dia. Sedangka pengharapan / rasa harap selalu beriringan dengan rasa cinta.” Diriwayatkan ketika Sulaiman At-Taymiy menjelang ajal / kematiannya, ia berkata kepada anaknya: “Wahai anakku kabarkanlah kepadaku tentang keringanan-keringanan yang Allah berikan dan ingatkanlah aku tentang rasa harap sehingga aku bertemu dengan Allah dalam keadaan berbaik sangka kepada-Nya.” Begitu pula ketika maut menghampiri Ats-Tsawriy dan bertambah parah keluh kesahnyamaka ia mengumpulkan para ulama di sekitanya dan mereka membesarkan rasa harap dari Ats-Tsawriy. Begitu pula Ahmad bin Hanbal ketika mendekati kematiannya, ia berkata kepada anaknya: “Ingatkanlah aku akan kabar-kabar yang menyebutkan pengharapan dan baik sangka.” Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Ketahuilah bahwa amal dengan kondisi hati penuh harap lebih tinggi daripada amal yang dilakukan dengan kondisi hati penuh rasa takut bagi orang yang tidak khawatir tertipu dan merasa aman dari rekadaya Allah, sebab rasa cinta dapat mengalahkan rasa harap, sebagaimana telah dijelaskan, dan sedekat-dekat hamba dengan Allah adalah yang paling Dia cintai. Rasululloh SAW bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ مَا شَاءَ  
Artinya: “Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: “Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia menyangkakan kepada-Ku apa yang dia kehendaki.” 
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Allah berfirman kepada Nabi Dawud AS: “Cintailah Aku, dan cintailah orang yang mencintai-Ku dan buatlah makhluk-Ku mencintai-Ku.” Dawud bertanya: “Ya Allah bagaimanakah caranya aku membuat makhluk-Mu mencintai-Mu?” Allah berfirman: “Sebut-sebutlah aku dengan kebaikan dan keindahan.” Dalam riwayat lain diceritakan bahwa seorang laki-laki dari Bani Israil suka membuat orang putus asa dari rahmat Allah dan mempersulit mereka. Lalu Allah berfirman kepadanya pada hari kiamat: “Sekarang aku akan membuatmu putus asa dari rahmat-Ku sebagaimana engkau dahulu membuat hamba-hamba-Ku berputus asa darinya.” Telah jelas bagi engkau dalam penjelasan sebelum ini bahwa putus asa dari rahmat Allah merupakan suatu dosa besar. Oleh karenanya barangsiapa yang membawa manusia kepada keputus asaan maka berarti ia telah membawanya kepada salah satu dosa besar. Namun barangsiapa yang menakuti manusia (akan azab Allah) tanpa membuat mereka berputus asa maka tidaklah seperti itu. Sebab rasa atkut merupakan salah satu dari maqom orang-orang yang mengenal Allah SWT. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ رَجُلاً يَدْخُلُ النَّارَ فَيَمْكُثُ فِيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ وَيُنَادِيْ: يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى لِجِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ اذْهَبْ فَائْتِنِيْ بِعَبْدِيْ قَالَ فَيَجِيْءُ بِهِ فَيُوْقِفُهُ عَلَى رَبِّهِ فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ: كَيْفَ وَجَدْتَ مَكَانَكَ، فَيَقُوْلُ شَرُّ مَكَانٍ فَيَقُوْلُ: رُدُّوْهُ إِلَى مَكَانِهِ قَالَ فَيَمْشِيْ وَيَلْتَفِتُ إِلَى وَرَاءِهِ فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَى أَيِّ شَيْءٍ تَلْتَفِتُ فَيَقُوْلُ: لَقَدْ رَجَوْتُ أَنْ لاَ تُعِيْدَنِي إِلَيْهَا بَعْدَ أَنْ أَخْرَجْتَنِيْ مِنْهَا فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: اذْهَبُوْا بِهِ إِلَى الْجَنَّةِ. 
Artinya: “Sesungguhnya seseorang masuk ke dalam api neraka lalu ia tinggal di dalamnya 1000 tahun, lalu orang itu memanggil-manggil: Yaa Channaan Yaa Mannaan (Wahai Yang Maha Iba dan Yang Maha Memberi). Lalu Allah SWT berfirman kepada Jibril – semoga salam tetap atasnya: “Pergilah engkau dan datngkanlah orang itu.” Maka Jibril itu datang membawa hamba itu lalu berdirilah hamba itu di hadapan Allah. lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman kepadanya: “Bagaimana engkau dapati tempatmu.” Hamba itu berkata: “Sejelek-jeleknya tempat.” Maka Allah berfirman: “Kembalikan dia ke tempatnya.” Lalu orang itu berjalan dan menoleh ke belakang, lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: “Kepada siapa engkau menoleh?” Lalu orang itu berkata: “Sungguh aku berharap agar Engkau tidak mengembalikanku ke neraka setelah Engkau mengeluarkanku darinya.” Allah SWT berfirman: “Bawalah dia ke surga.” Mu’adz bin jabal berkata RA: “Sesungguhnya orang mukmin todak tenang dari rasa takutnya hingga dia selamat menyeberangi siroth.” Al-Hasan Al-Bashriy – semoga Allah SWT merahmatinya – berkata: “Seorang laki-laki dikeluarkan dari neraka setelah 1000 tahun. Aduh andaikan aku adalah orang itu.” Bahkab diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashriy tidak tertawa selama 40 tahun. Diriwayatkan bahwa Thowus – semoga Alah merahmatinya – menghamaparkan alas tidurnya kemudian ia berbaring lalu ia pun berbolak-balik (tidak tenang) di atas tempat tidurnya itu seperti biji-bijian yang dibolak-balikkan diatas penggorengan kemudian ia pun bangkit dan melipat tempat tidurnya itu lalu ia menghadap qiblat (dan salat) hingga subuh. Dia berkata: “Ingat akan jahannam menghilangkan tidurnya orang-orang ahli ibadah.” Maymun bin Mahron berkata: “Ketika turun ayat ini:
 وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ أَجْمَعِيْنَ (الحجر: 43)
Artinya: “Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya.” berteriaklah Salmaan Al-Farisiy RA lalu ia meletakkan tangannya di kepalanya kemudian lari 3 hari dia tak mampu berbuat apapun (karena rasa takut yang sangat). Diceritakan bahwa ‘Atho’ As-Sulamiy tidak meminta kepada Allah surga, hanya saja ia meminta kemaafan. Dan dikatakan bahwa dia tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun. Suatu hari ia mengangkat kepalanya ke langit dan terkejutlah lalu ia pun terjatuh da terlukalah perutnya. Pada beberapa malam ia terkadang memegang wajahnya karena khawatir jikalau wajahnya telah diubah oleh Allah (sebab ia merasaa sangat berdosa). Jika ada angin kencang yang datang di desa / tempat tinggalnya atau kilat atau mahalnya harga-harga barang maka ia berkata: “Ini semua menimpa orang-orag itu karena aku. Seandainya ‘Atho’ (yakni yang dimaksud dirinya sendiri) meninggal maka orang-orang akan beristirahat.” As-Sirri berkata: “Sesungguhnya aku melihat wajahku setiap hari, khawatir kalau-kalau wajahku tekah berubah menjadi hitam.” Suatu kali Abdulloh bin Al-Mubaarok keluar menemui murid-muridnya, dan ia berkata: “Tadi malam aku sudah berani kurang ajar kepada Allah, aku telah meminta syurga.” Diriwayatkan dari Abu Maysaroh bahwa jika ia berbaring ditempat tidurnya, ia berkata: “Andaikan ibuku tidak pernah melahirkan aku.” Maka ibunya pun berkata: “Wahai Maysaroh sesungguhnya Allah SWT telah berbuat baik kepadamu. Dia telah menunjukimu kepada agama Islam.” Abu Myasaroh berkata: “Ya, akan tetapi Allah telah menjelaskan bahwa kita semua pastilah melewati neraka (yakni diatas jembatan Shirothol Mustaqim) dan Dia tidak menjelaskan apakah kita akan keluar darinya / melewatinya dengan selamat.” Diriwayatkan bahwa Abubakar Ash-Shiddiq RA berkata kepada seekor burung: “Duhai seandainya aku sepertimu wahai burung, dan seandainya aku tidak diciptakan sebagai seorang manusia.” Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khoththob RA pada suatu hari mengambil sejumput dedak (kulit beras) dari tanah dan berkata: “Seandainya aku adalah dedak ini, seandainya aku tidak menjado sesuatu yang dapat disebut / diingat. Seandainya aku sesuattu yang dilupakan oleh orang. Seandainya ibuku tidak pernah melahirkan aku.” Dan di wajahnya tergaris dua guratan hitam karena banyaknya menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar