Semua tulisan di blog ini diwakafkan karena Allah Yang Maha Luhur boleh disebar-luaskan cuma-cuma dengan syarat mencantumkan sumber dan bukan untuk tujuan mengambil keuntungan, bisnis, komersil atau tujuan duniawi yang lainnya.
Total Tayangan Halaman
Sabtu, 15 Februari 2014
penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: lima rukun Islam: yang kelima berhajji bagi yang mampu
Adapun rukun Islam yang kelima adalah hajji ke Baitulloh yang mulia. Maka itu adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk setiap muslim (yang mampu), seumur hidup sekali begitu juga umroh. Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
... •• ... (آل عمران: 97)
Artinya: “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melaksanakan perjalanan ke baitulloh…” (Alu Imron: 97)
Allah juga berfirman kepada Khalil-Nya Nabi Ibrohim – semoga salam tetap atasnya –yaitu:
•• ... (الحج: 27)
Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan hajji, niscaya mereka akan datang kepadamu…” (Q.S Al-Chajj: 27)
Rasululloh SAW bersabda:
مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً ثُمَّ لَمْ يَحُجَّ فَعَلَيْهِ أَنْ يَمُوْتَ إِنْ شَاءَ يَهُوْدِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا
Artinya: “Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan kemudian ia tidak berhajji maka hendaklah ia mati – jika ia mau – dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.”
Ini merupakan puncak ketegasan atas orang yang meninggalkan hajji sedangkan ia mampu. Maka tidak seharusnya bagi seorang mukmin untuk menunda-nunda dan mbermalas-malasan, dan selalu mencari-cari alasan dengan alasan yang basi yang mana tidak dapat dibenarkan di hadapan Allah sebagai hujjah. Ia tunda hajjinya dari tahun ke tahun sedangkan ia mampu dan ia tak akan tahu kemungkinan maut akan menjemputnya atau kemampuannya hilang darinya sedangkan hajji telah menjadi tanggungannya lkarena ia telah mampu (namun ia tidak segera berhajji hingga hilang kemampuannya itu). Sehingga ia akan bertemu Allah adalah keadaan bermaksiat dan dosa.
Yang dimaksud mampu adalah seseorang memiliki segala apa yang ia butuhkan di perjalanannya ke hajji pergi-pulang baik itu berupa bekal ataupun kendaraan dan yang semacamnya. Selain itu ia harus meninggalkan harta yang cukup untuk nafkah isteri dan anak-anaknya hingga waktu pulangnya. Dan kemampuan ini tentunya berbeda antara satu orang dengan lainnya, dan berbeda sesuai jaraknya (jauh-dekatnya) tempat tinggal dari Makkah. Da barangsiapa yang memaksakan untuk berhajji karena rindu ke baitulloh yang mulia dan sangat ingin untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima inisedang ia buka termasuk orang yang mampu maka imannya lebih sempurna dan pahalanya lebih banyak. Namun dengan syarat, ia tidak menyyinyiakan karenanya sesuatu dari hak-hak Allah SWT pada safar / perjalanannya dan tidak pula ia sia-siakan tanggung jawab (lari dari tanggung jawab) di negerinya. Jika tidak demikian maka ia berdosa. Seperti misalnya seseorang pergi lalu ia meingglakan kewajiban untuk menafkahi orang-orang yang Allah wajibkan kepadanya untuk menafkahi mereka, ia tinggalkan mereka dalam keadaa tersia-sia tidak memiliki sesuatu. Atau contoh alin ia pergi dan ia mengandalkan meminta-minta kepada orang lain di perjalanannya sehingga hatinya selama perjalanan hanya disibukkan dengan itu. Atau ia meninggalakn salat dalam perjalanannya atau jatuh dalam hal-hal yang diharamkan.
Maka permisalan bagi orang yang pergi hajji seperti diatas padahal Allah telah memberi keluasan untuk tidak pergi hajji jika ia belum mampu adalah ibarat seorang yang membangun sebuah istana namun ia merobohkan satu kota. Kami perlu memperingatkan hal ini sebab banyak orang yang pergi hajji seperti cara diatas. Dengan itu, mereka mengira bahwa mereka melakukan sesuatu yang mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan berhajji ke bait-Nya. Sedangkan pada hakikatnya ia jauh dari kedekatan itu. Sebab ia tidak memasuki suatu perkara dari pintunya. Jika demikian halnya dalam ibadah hajji yang fardhu (yakni hajji yang pertama kali), apatah lagi dalam hajji yang tidak fardhu (sunnah, yakni hajji yang kedu kali, ketiga, dst).
Pembicaraan kita di sini tentang orang yang lemah / tidak memiliki kemampuan adapun orang yang kuat lagi mampu maka telah kami sebutkan bahwa ia harus menyegerakan berhajji kemudian bolehlah baginya setelah itu berhajji lagi (hajji sunnah). Para salaf mengatakan bahwa paling sedikitnya hendaklah tidak berlalu 5 tahun kecuali ia berhajji. Al-Habib Abdulloh Al-Haddad berkata: telah sampai pada kami bahwa Allah SWT berfirman:
إِنَّ عَبْدًا صَحَّحْتُ لَهُ جِسْمَهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ فِي الْمَعِيْشَةِ تَمْضِيْ عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لاَ يَفِدُ عَلَيَّ لَمَحْرُوْمٌ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mana Aku beri dia kesehatan pada badannya daan Aku luaskan baginya penghidupannya, lalu berlalu atasnya 5 tahun sedang dia tidak pergi (hajji) kepada-Ku maka iorang itu diharamkan (menerima rahmat-Ku).”
Rasululloh SAW bersabda:
إِنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا قَبْلَهُ
Artinya: “Sesungguhnya hajji itu menggugurkan apa yang sebelumnya.”
Yakni dari pada dosa-dosa. Dan Rasululloh SAW juga bersabda:
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya: “Barangsiapa yang berhajji lalu ia tidak berkata-kata kotor, dan tidak berbuat fasiq / kemaksiatan maka ia akan lepas dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.”
Adapun yang dimaksud dengan rofats dan fusuq adalah perkataan dan atau perbuatan yang buruk. Rasululloh SAW juga bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
Artinya: “Umroh yang satu kepada umroh yang lain adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya. Sedangkana hajji mabrur, tak ada balasan yang pantas baginya melainkan surga.”
Rasululloh SAW bersabda:
بِرُّ الْحَجِّ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَلِيْنُ الْكَلاَمِ
Artinya: “Diterima / mabrur-nya hajji ditunjukkan dengan memberi maknan (kepada orang yang membutuhkan) dan halusnya tutur kata.” (yakni adanya perubahan kea rah yang lebih baik dalam diri orang yang telah berhajji itu)
Rasululloh SAW bersabda:
َالْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ إِنْ سَأَلُوْا أُعْطُوْا وَإِنْ دَعَوْا أُجِيْبُوْا وَإِنْ أَنْفَقُوْا أُخْلِفَ لَهُ
Artinya: “Para jama’ah hajji dan umroh adalah para tamu Allah. jika mereka meminta maka mereka akn diberi, dan jika mereka berdoa pastilah akan dikabulkan. Dan jika mereka menginfakkan hartanya pastilah diganti.”
Termasuk hal yang paling utama harus diperhatikan bagi orang yang hendak berhajji adalah hendaknya bekal yang ia bawa berasal dari yang halal. Maka hendaklah ia usahakan itu dengan sungguh-sungguh. Sebab orang yang berhajji dengan harta yang haram maka Allah tidak menerima hajjinya dan ketika ia ber-talbiyah (mengucapkan labbaik, yakni aku memenuhi panggilan-Mu), maka Allah berkata kepadaa orang itu: “Tidak aku terima talbiahmu, dan tidak ada kebahagian bagimu, sebab bekalmu haram, kendaraanmu diperoleh dari yang haram, dan hajjimu tidak mabrur.” Allah berfirman: kepada orang yang berhajji dengan harta yang halal, ketika ia mengucapkan talbiyah: “Aku menerima talbiyah-mu dan kebahagiaanlah bagimu, karena bekalmu hala dan kendaraanmu diperoleh dengan jalan halal dan hajjimu mabrur.”
Diantara yang harus diperhatikan juga bagi orang yang hendak berhajji adalah hendaklah ia memurnikan niatnya hanya untuk berhajji tanpa diiringi niat-niat duniawi yang dapat menyibukkannya dari melaksanakan manasik, dan mengagungkan lambing-lambang / tempat-tempat yang dimuliakan oleh Allah.
Diantara niat yang tercela aadalah seorang berhajji dengan niat agar gugur darinya kewajiban hajji sehingga ia bisa mencari upah dengan cara menghajikan orang-orang yang sakit dan semacamnya sehingga ia mendapat bayaran dari itu sehingga ia berhajji karena rakus akan harta benda duniawi . dan kemungkinan Allah tidakakan menerima hajji dari orang yang menyimpan niat yang hina sedemikian itu dalam hatinya.
Adapun jika seseorang yang diupah untuk menghajjikan orang lain maka tidaklah mengapa dan hendaklah ia berniat dalam hatinya untuk ziarah ke Baitulloh dan mengagungkan tempat-tempat yang dimuliakan Allah, dan berniat menggugurkan kewajiba haji dari saudara muslimnya karena belas kasih kepadanya. Jika ia bernita seperti itu maka ia akan memperoleh pahal yang besar.
Al-Imam Al-Ghozali – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Hendaklah bagi orang yang diupah untuk menghajjikan seseorang, hendaknya niatnya yang dasar adalah ziarah ke baitulloh adapun niat upahnya mengikuti. Bukan sebaliknya.” Beliau juga berkata: “Allah menjadikan perjalanan hajji sebagai sebuah permisalan perjalanan akhirat. Maka hendaklah dalam hatinya di setiap perbuatan ketika perjalanan hajji ia hadirkan pula perkara akhirat yang menyamainya. Misalnya ketika ia berpamitan pada keluarganya hendaklah ia mengingat ketika itu, sata-saat dimana kelak ia akan berpamitan kepada mereka ketika menghadapi sakratul maut. Dengan perjalanan jauh yang ia tempuh, dan kekhawatiran yang selalu menghantui selama bepergian hendaklah ia mengingat ketika itu jauhnya perjalanan yang akan ia tempuh di akhirat, pertanyaan munkar dan nakir yang akan ia hadapi dan azab kubur. Ketika ia mengenakan kain ihrom di badannnya hendaklah ia ingat bahwa ia akan memakai kafan nanti. Ketika ia berlari-lari antara bukit Shofa dan Marwa maka hendaklah ia ingat akan larinya dia bolak-balik antara dua sisi mizaan (neraca / timbangan amal) yang manakah yang lebih berat: pahala ataukah dosanya. Lalu ketika di tempat wukuf / arofah maka hendaklah ia mengingat berdirinya ia di hadapan Allah pada hari kiamat.”
Selain itu hendaklah ia berkeinginan kuat untuk berziarah ke makam Rasululloh SAW khususnya setelah hajji yang pertama kali, dengan tetap menjaga kewajiban-kewajiban dan menjauhi diri dari dosa-dosa. Sebab sesungguhnya manusia meskipun ia datang berjalan dengan kepalanya atau dengan matanya menuju ke makam Rasululloh SAW dari tempat yang terjauh di bumi ini untuk berziarah kepada makam beliau yang mulia, itu semua belum menunaikan hak Nabi atas dirinya. Semoga Allah membalas Nabi atas jasa beliau kepada kita daan kepada kaum mulsimin dengan balasan yang paling utama yang diberikan oleh-Nya kepada seorang nabi. Sungguh beliau telah menunaikan tugas kerasulannya, telah menjelaskan petunjuk-petunjuk, menasehati ummat, serta menyingkap kesusahan dan beliau telah meninggalkan kita pada jalan yang terang lagi bersih, malamnya seperti siangnya. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan salawat dan salam. Maka hendaklah setiap mukmin sangat menginginkan keridhoan Tuhannya, dan measuk ke dalam kelompoknya yang khusus, dan mengamalkan rukun-rukun Islam sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. dengan mendahulukan yang paling afdhol / utama yakni yang paling wajib diketahui dan di amalkan. Hendaknya ia sangat berkemauan keras dalam menjaga dan berpegang teguh atas yang wajib itu dan dia dahulukan yang harus di dahulukan. Hendaklah semua itu dilaksanakan dengan baik, hati-hati, dan dengan menjaga syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, serta sunnah-sunnahnya.
Maka ia mulai dengan ilmu tauhid, ilmu mengenal Allah SWT sebab sahnya ibadah bergantung padanya. Kemudian kewajiban salat, hendaklah ia jadikan penyejuk hatinya, dan tiang agamanya. Kemudian zakat, jika ia memiliki harta yang cukup. Kemudian puasa Romadhon. Kemudian hajji. Dan hanyaa Allah-lah Yang Tahu hakikat kebenaran.
Inilah sedikit yang dapat kami nukil. Sebab pada hakikatnya rukun-rukun Islam mencakup kefardhuan yang banyak dan seluruh dari kefardhuan itu tidak terhitung banyaknya dalam kitab-kitab yang banyak. Dan aakan datang dalam nazhom wasiat ini beberapa kewajiban-kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, dan hal-hal yang dapat mendekatkan kita kepada-Nya berupa berbagai macam ketaatan insyaa Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar