Pada suatu jaman, terdapat seorang yang beragama Nasrani dari Mesir yang ditugaskan melakukan perjalanan ke Hadramaut untuk operasi inteligen dengan menyamar sebagai seorang muslim. Di dalam perjalanannya, ia memakai atribut sebagaimana layaknya seorang penuntut ilmu. Si Nasrani itu mempunyai kemampuan di dalam ilmu pengobatan dan ia memberikan pelayanan pengobatan secara gratis.
Dalam perjalanannya, ia keluar dari kota Dau’an menuju ke kota Khoreibeh dan menetap disana selama 4 bulan. Di kota tersebut, ia senantiasa rutin dalam menghadiri majlis-majlis Asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad Basaudan, seorang tokoh ulama besar di Hadramaut waktu itu. Si Nasrani tersebut menampakkan dirinya sebagai seorang ahli ibadah dan mencintai para sholihin. Ia juga seringkali membantu orang-orang yang butuh bantuan, sehingga diantara sebagian orang-orang tersebut mengira dirinya sebagai seorang wali. Si Nasrani itu terus senantiasa mengamati dengan seksama semua majlis-majlis yang terkenal saat itu dan senantiasa hadir di dalamnya.
Ketika datang waktu ziarah yang terkenal ke kota Geidun yang diadakan pada bulan Rajab setiap tahunnya, si Nasrani itu memohon kepada Asy-Syaikh Abdullah Basaudan untuk memberinya seorang teman yang dapat menemaninya berziarah ke kota tersebut, disamping untuk tujuan agar memperkenalkan dirinya kepada orang-orang lain. Tak tanggung-tanggung, Asy-Syaikh Abdullah Basaudan menyuruh langsung putranya Asy-Syaikh Muhammad untuk menemaninya.
Berangkatlah mereka berdua menuju ke kota Geidun. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Al-Habib Abdullah bin Hadun bin Hud Alatas yang pada waktu itu kebetulan habis mengunjungi kota Khoreibeh. Mereka semua lalu meneruskan perjalanannya bersama-sama.
Kemudian sampailah mereka di kota Shoif. Di kota itu, mereka berniat singgah di kediaman seorang imam besar, yaitu Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas. Sampailah mereka di rumah beliau dan masuk ke dalamnya. Disitu juga banyak masyarakat yang telah ada di dalamnya. Begitu rombongan tersebut masuk, tiba-tiba berubahlah wajah Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas. Beliau lalu menggerak-gerakkan hidungnya, seakan-akan hendak mencium sesuatu. Beliau kemudian berkata, “Ada bau kekafiran disini.” Beliau lalu mengulangi perkataannya itu sampai 2-3 kali.
Akhirnya cari-dicari, sampailah pada identitas diri si Nasrani itu. Orang-orang pun menyebutnya sebagai seorang penuntut ilmu dan dokter. Mereka juga mengatakan bahwa tujuan orang itu adalah semata-mata hendak berziarah. Setelah itu, berkatalah Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas kepada orang-orang disitu bahwa sesungguhnya orang tersebut adalah orang kafir gotek (murni), tanpa syak dan tanpa ragu-ragu.
Setelah itu terdengarlah teriakan-teriakan histeris yang demikian keras dari orang-orang yang ada di rumah itu. Mereka pun berbeda-beda dalam mengambil sikap untuk menghakimi si Nasrani itu. Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas pun sangat kuatir dengan sikap yang hendak diambil oleh mereka untuk segera melakukan hukuman dan penyiksaan kepada si Nasrani itu.
Beliau kemudian menyuruh Asy-Syaikh Muhammad Basaudan untuk segera mengambil keputusan hukum yang seharusnya dijatuhkan kepada si Nasrani itu yang sesuai dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Asy-Syaikh Muhammad lalu mengambil keputusan hukum, “Orang ini secara lahir adalah seorang muslim, yang dilarang dibunuh dan dilarang dirampas hartanya.” Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas pun menerima keputusan hukum tersebut dengan menambahkan, “Kecuali buku hasil inteligen-nya boleh dirampas.” Beliau pun lalu memerintahkan orang-orang disitu untuk menggeledah apa-apa yang ada pada si Nasrani tersebut. Akhirnya mereka berhasil mendapatkan berjilid-jilid kertas putih tebal yang didalamnya terdapat nama-nama kota dan jalur-jalur perjalanan yang dikunjungi oleh si Nasrani. Di kertas itu juga terlihat dengan jelas nama-nama siapa saja yang menjadi mata-mata, khususnya dari kalangan militer/penguasa, dan juga terlihat foto wajah sebagian orang yang bersamanya. Setelah itu, Al-Habib Sholeh bin Abdullah Alatas lalu melarang si Nasrani itu untuk melanjutkan perjalanannya.
Si Nasrani itu akhirnya dipulangkan ke negeri asalnya dengan dititipkan kepada rombongan kafilah yang dapat dipercaya untuk dibawa ke pelabuhan di kota Mukalla dan dikembalikan ke tempat asalnya. Beliau juga menyuruh memberinya perbekalan berupa makanan-makanan dan uang. Setelah itu, beliau lalu berkata kepada orang-orang yang ada di rumahnya itu, “Aku melakukan demikian agar ia tahu bahwa kami berharap atas agama (yang ia peluk secara lahir), dan bukan pada hartanya.” Penguasa Shoif pada waktu itu adalah Asy-Syaikh Badar bin Sa’id Al-’Amudi dan saudara-saudaranya. Merekalah yang melaksanakan sebaik-baiknya apa-apa yang diperintahkan oleh Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas atas si Nasrani tersebut.
Sesampainya si Nasrani itu di tempat asalnya Mesir, ia pun kembali ke tugasnya semula, tetap menjalani kenasraniannya. Suatu kali si Nasrani ini bertemu dengan Asy-Syaikh Ahmad bin Abdullah Baaraas, yang berasal dari Khoreibeh dan saat itu menetap di Mesir untuk berdagang. Si Nasrani itu lalu menceritakan tentang keadaan kota Khoreibeh dan penduduknya dengan cermat seakan-akan ia dilahirkan disana dan ia pun menceritakan sebagian dari pengalaman-pengalaman perjalanannya.
Kemudian Asy-Syaikh Ahmad bin Abdullah Baaraas langsung menulis surat kepada penduduk Khoreibeh yang mengabarkan tentang siapakah sebenarnya si orang tersebut yang tidak lain adalah seorang Nasrani. Setelah kejadian tersebut, semakin yakinlah masyarakat disana tentang bagaimana ketinggian maqam Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas yang telah menyingkap identitas sebenarnya dari si Nasrani itu.
“Adapun orang-orang yang telah beriman, maka bertambah keimanan mereka, dan hanya kepada Tuhannyalah mereka bertawakal.”
Sebelum terjadinya peristiwa ini, Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas telah mendapatkan isyarat tentangnya. Beliau berkata :
“Ketika aku berada di kotaku Amed, aku bermimpi pada suatu malam. Ketika itu terdapat serombongan Nasrani berangkat dari tempatnya menuju ke Hadramaut. Pada saat itu seakan-akan aku berada di hadapan makam Sayyidina Habib Abubakar bin Abdullah Al-Adani Alaydrus yang terletak di kota Aden. Dan seakan-akan juga si Nasrani itu juga berada di dekatku. Saat itu Al-Habib Abubakar tiba-tiba mengeluarkan tangannya yang mulia dari makamnya dan di tangan itu ada sebuah tasbih. Si Nasrani itu spontan hendak mengambilnya, akan tetapi aku langsung menggerakkan tanganku mengambilnya dan aku berhasil mendapatkannya dari tangan beliau.”
[Disarikan dari kitab Taaj Al-A'roos, karangan Al-Habib Ali bin Husin Alatas, juz 2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar