Merupakan salah satu kebiasaan Al-Habib Alwi bin Abdurrahman Almasyhur adalah melakukan kunjungan dakwah ke berbagai daerah baik di Hadramaut maupun di luar Hadramaut. Pada suatu saat sampailah beliau di suatu daerah yang bernama Diis (daerah di sekitar kota Mukalla, Ha...dramaut). Beliau disambut luar biasa oleh penduduk daerah tersebut. Setiap hari beliau tak pernah kosong dari undangan jamuan dari tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat pun berbondong-bondong memenuhi majlis-majlis taklim dan dzikir yang diadakan oleh beliau di daerah itu. Ketika beliau melihat betapa antusiasnya mereka dalam menjamu beliau dan mereka hanya berhasrat untuk hal itu, beliau akhirnya berkata di hadapan mereka, “Saya ini datang kepada kalian bukan bermaksud hanya untuk makan jamuan kalian dan bukan juga untuk semata-mata bertamu ke rumah kalian. Saya datang kemari hanya bertujuan untuk membawa kalian kepada hidayah Allah dan mengentaskan kalian dari kebodohan. Apakah ada diantara kalian wahai para hadirin yang hendak bertanya kepadaku tentang suatu ilmu?” Tak ada seorang pun yang berani menjawab! Tak lama kemudian beliau shalat Maghrib berjamaah di suatu masjid dan setelah itu beliau memberikan mau’idhoh hasanah kepada mereka sampai datanglah waktu shalat Isya’. Sehabis shalat Isya’, beliau pun meluangkan waktunya untuk duduk menunggu-nunggu adanya pertanyaan dari para hadirin di saat itu. Sampai akhirnya beliau mendapatkan tak ada seorang pun yang ingin bertanya, spontan beliau berkata, “Wahai para jamaah., saya ini datang kepada kalian dengan tujuan dakwah dan ingin memberikan ilmu kepada kalian. Akan tetapi sayang!, saya kira semua yang hadir disini adalah para ulama yang tidak seorang pun butuh tambahan ilmu dari saya. Baiklah kalau begitu, saya akan segera pergi dari sini!” Mereka spontan berseru, “Ya Sayyid, bagaimana tuan akan pergi meninggalkan kami sedangkan kami disini bahagia dengan kedatangan tuan!” Beliau pun menjawab, “Habis bagaimana lagi? Kalian ini semuanya ulama yang enggan untuk bertanya kepadaku.” Beliau lalu memancing pertanyaan, “Baiklah, apakah ada di antara kalian yang bisa membaca surat Al-Fatihah dengan baik?.” Mereka menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Hah! Bacaan Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat itu kalian tidak bisa membacanya dengan baik?” Sebagian dari mereka menjawab, “Ya, kami bisa membacanya dengan baik.” Beliaupun melanjutkan, “Nah, sekarang lebih baik saya akan belajar kepada kalian bagaimana caranya bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Sekarang saya akan membacanya dan tolong kalian dengarkan. Jika nanti kalian dapati bacaan saya baik, maka katakanlah baik. Jika kalian dapati bacaan saya jelek, maka katakanlah salah dan tolong benarkan.” Mereka menyahut dengan malunya, “Jangan begitu, ya Habib. Kami saja yang membaca Al-Fatihah itu kepadamu.” Beliau menjawab, “Baiklah, tapi saya dulu yang akan membacanya dan kalian dengarkan!” Kemudian beliau pun membaca surat Al-Fatihah tersebut dengan suara keras dan mereka mendengarkannya. Begitu beliau selesai membaca, beliau bertanya, “Apakah ada kesalahan pada bacaan saya?” Mereka menjawab, “Tidak ada.” Lalu mulailah mereka satu per satu bangun dari duduknya untuk membaca surat Al-Fatihah di hadapan beliau. Beliau pun akhirnya membetulkan bacaan mereka satu per satu hingga memakan waktu yang sangat lama. Setelah semuanya selesai, beliau berkata kepada mereka, “Insya Allah besok pagi kita akan belajar tata cara berwudhu, belajar tentang macam-macam air untuk bersuci dan saya akan mengajarkan bagaimana caranya shalat.” Besok paginya beliau menunaikan kewajibannya mengajarkan ilmu kepada mereka, bahkan sampai bacaan-bacaan shalat pun termasuk bacaan tasyahud beliau keraskan dengan tujuan agar mereka lebih cepat memahaminya. Masyarakat daerah itu mengambil banyak manfaat dengan keberadaan beliau disana, hingga akhirnya beliau meneruskan perjalanan dakwah beliau ke daerah-daerah lain. [Disarikan dari Lawaami'un Nur, karangan Al-Habib Abubakar Al-Adany bin Ali bin Abubakar Almasyhur, hal. 74-75]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar