Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 Desember 2014

jawaban bagi pengingkar perayaan maulid (bagian 1)

Sanggahan untuk “Jawaban untuk ‘4 Alasan Pembolehan Peringatan Mawlid Nabi’”

Abu Misykah menulis:
Jawaban untuk ''4 Alasan Pembolehan Peringatan Maulid Nabi''
Oleh: Abu Misykah Tamam

Saya (MuhAliBaraqbah) menulis:

Berikut ini – dengan izin Allah – saya akan menanggapi tulisan Abu Misykah tersebut dan saya sertakan pula tulisannya secara utuh dan saya tandai dengan cetak miring.

Saya al-faqiir Muhammad Ali bin Taufiq Baraqbah berkata: “Melihat dari judul yang diberikan oleh penulis (Abu Misykah Tamam) diatas saya mengatakan: “Kalau hanya empat alasan maka itu sangat kurang sekali saya bahkan – insya Allah – akan memberikan 20 alasan atau bahkan lebih jika perlu sebagai dasar pembolehan peringatan mawlid Nabi.”

Abu Misykah menulis:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah.Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Yakni pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H. Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.

Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Saya berkata: “Perkataan anda: Ditilik dari sisi histori…..dan seterusnya perkataan ini sebetulnya tidak perlu untuk ditanggapi sebab pernyataan itu tidak memiliki kekuatan sebagai sebuah pernyataan historis / yang bernilai sejarah, karena anda tidak mencantumkan sumber yang jelas dari fakta historis itu.Anda hanya menyebut atau mencatut nama Al-Maqriziy namun tidak mencantumkan dari karya Al-Maqriziy yang mana anda mengambil keterangan itu. Saya memiliki banyak kitab karya Al-Maqriziy – atau kalau boleh dikatakan hampir semua dari kitab-kitabnya – diantara semua kitab Al-Maqriziy itu hanya ada tiga kitab yang berbicara tentang sejarah Mesir, yaitu:
a.       ‘Iqdul Jawaahiril Asfaath fii Akhbaar Madiinati Fusthooth yang mengabarkan tentang keadaan Mesir sewaktu Mesir masih menjadi bagian dari Kekhalifahan ‘Abbaasiyyah meskipun pada saat itu mulai ada perlawanan atau usaha untuk berdiri sendiri yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Thuluniyyah dan Ikhsyiidiyyah. Kitab ini hilang dan sebelumnya kitab ini sangatlah terkenal hingga masa perang dunia kedua yang mana naskah satu-satunya di simpan di Perpustakaan Negeri di Berlin, Jerman, diantara beberapa kumpulan makhtuuthoh (manuskrip) bernomor 9845, namun setelah itu tidak diketahui bagaimana nasib kitab ini khususnya setelah berkecamuknya Perang Dunia Kedua yang juga menghancurkan Jerman.
b.      Itti’aazhul Chunafaa fii Akhbaaril Khulafaa, atau Itti’aazhul Chunafaa bi Akhbaaril A-immah Al-Faathimiyyiin Al-Khulafaa, yang mana dalam kitab ini Al-Maqriiziy mengetengahkan periode sejarah Mesir berikutnya yaitu pada saat di bawah pemerintahan Dawlah Syi’ah Faathimiyyah, dan juga persaingan antara Dawlah Umayyah di Andalus (Spanyol) dengan Dawlah ‘Abbaasiyyah dalam usaha menguasai Mesir.
c.       As-Suluuk fii Ma’rifati Duwalil Muluuk, dalam kitab ini Al-Maqriiziy mengabarkan tentang Mesir pada masa setelah tumbangnya Dinasti Fathimiyyah dan munculnya dinasti Ayyuubiyyah pada masa Solachuddiin Al-Ayyuubiy. Kitab ini dan kitab Itti’aazhul Chunafaa di atas adalah yang sampai kepada kita pada saat ini, namun naskahnya jarang didapati.
Keterangan tentang tiga kitab Al-Maqriziy di atas saya nukil dari mukaddimah tahqiq kitab Itti’aazhul Chunafaa bi Akhbaaril A-immah Al-Faathimiyyiin Al-Khulafaa halaman 19 – 20 yang mana ditulis oleh Doktor Jamaaluddiin Asy-Syayyaal Dosen Sejarah Islam dan Dekan Fakultas Adab Universitas Al-Iskandaariyyah Jilid 1 Cetakan Kedua tahun 1416 H / 1996 M, Kairo.
Saya telah merujuk kepada kitab Itti’aazhul Chunafaa tersebut untuk mencari pernyataan yang disebutkan oleh Abu Misykah tersebut dan tidak ada satu pun dari penyataan itu yang terdapat didalam kitab tersebut yakni pernyataan anda seperti tersebut di atas yang berbunyi:Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah. Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Tidak ada satu buku sejarah pun yang menyatakan bahwa fathimiyyuun adalah pelopor pertama peringatan mawlid Nabi, bahkan dalam kitab-kitab Al-Maqriziy sekalipun. Memang Al-Maqriziy menyebutkan tentang perayaan mawlid yang dilakukan oleh para penguasa Dinati Fathimiyyah Mesir dalam kitab Itti’aazhul Chunafaa. Yakni sebagaimana diberitakan oleh Al-Maqriziy dalam kitabnya Itti’aazhul Chunafaa’ juz 3 halaman 40 (naskah elektronik dari Maktabah Al-Misykaah) ketika ia (Al-Maqriziy) memberitakan beberapa kejadian penting pada masa kekuasaan Sultan Al-Aamir bi Achkaamillaah salah satu sultan Dinasti Fathimiyyah Mesir pada tahun 517 H ia mengatakan:
وجرى الرسم في عمل المولد الكريم النبوي في ربيع الأول على العادة‏.
Artinya: “Dan berlaku tradisi pengamalan / peringatan Mawlid Yang Mulia dalam bulan Robi’il Awwal menurut kebiasaan.”
Juga pada halaman 42 tersebut:
وعمل في شهر ربيع الأول المولد الكريم وفرق المال على الرسم‏.
Artinya: “Dia (Sultan Al-Aamir) melaksanakan dalam bulan Robii’ul Awwal Mawlid Yang Mulia dan membagi-bagikan harta menurut kebiasaan.”
[sengaja setiap nukilan di sini saya sebutkan dengan lengkap sumbernya untuk menghindari tuduhan manipulasi sumber, yang mana manipulasi sumber ini sering dilakukan oleh orang-orang wahabi atas kroni-kroninya, dalam hal ini saya memiliki bukti bukan asal omong kosong, namun bukan disini tempatnya untuk membicarakan masalah manipulasi sumber yang dilakukan wahabi]

Dari kedua nukilan di atas jelas bahwa itu kejadian pada tahun 517 H meskipun di situ disebutkan ‘menurut kebiasaan’ namun di kitab tersebut tidak dijelaskan tentang peringatan mawlid sebelum tahun 517 H tersebut sehingga tidak diketahui kapan pastinya kebiasaan itu mulai berlangsung di Mesir dalam masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah. Maka dari mana anda mengklaim bahwa mereka adalah pelopor pertana peringatan Mawlid dan disitu tidak disebutkan tentang pembacaan Kisah mawlid Nabi (seperti kebiasaan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang mana acara mawlid yang biasanya diisi dengan pembacaan kisah mawlid tersebut dituduh sebagai bid’ah dan dicela oleh Abu Misykah dan kawannya [baca: Wahabi CS]) di situ hanya disebutkan bahwa Sultan membagi-bagikan harta. Sehingga sekali lagi dakwaan kosong yang dituduhkan oleh Abu Misykah itu bahwa Dinasti Fathimiyyah sebagai pelopor mawlid dan bahwa seolah-olah kita meniru adat orang syi’ah adalah sebuah dusta yang tak berdasar dan tak terbukti.
Begitu juga perkataan anda (wahai Abu Misykah): Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan yang tidak berdasar, sebab hal itu juga tidak tersebut dalam kitab Al-Maqriziy sama sekali, atau dengan kata lain itu hanya pendapat sepihak saja. Apakah anda hidup pada zaman itu sehingga anda tahu tujuan mereka dari mengadakan peringatan mawlid tersebut? Begitujuga keterpurukan yang anda sebutkan itu sama sekali tidak terbukti dengan bukti-bukti sejarah. Bahkan Al-Maqrizi pun tidak membahas atau menyebutkan barang sedikit tentang keterpurukan masyarakat tersebut ketika ia menyebutkan bahwa Sultan Al-Aamir membagi-bagikan harta sebagaimana saya nukil di atas, selain itu Al-Maqriziy tidak menyebut sama sekali bahwa tujuan Dawlah Fathimiyyah dalam mengadakan mawlid tersebut adalah untuk menarik perhatian masyarakat.
[Perhatian: Segala tentang pemerintahan Syi’ah Fathimiyyah yang saya nukil di sini lepas dari maksud untuk membela aliran / paham syi’ah sebab saya sendiri termasuk seorang sunniy yang tidak sepaham dengan pemahaman aliran syi’ah. Saya sebutkan hal-hal tersebut semata-mata untuk meluruskan sejarah dari pembelokan fakta atau distorsi sumber yang sering dilakukan oleh kaum wahabi dan konco-konconya seperti Abu Misykah ini]

Lalu anda (wahai Abu Misykah) menulis: Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Tidak ada perkataan Al-Maqriziy seperti yang anda katakan: bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Memang Al-Maqriziy menyebutkan kejadian-kejadian penting yang terjadi selama kurun pemerintahan Dinasti Fathimiyyah di Mesir termasuk beberapa perayaan yang pernah dirayakan pada masa itu. Seperti tentang perayaan Al-Ghithoos (Abu Misykah menulisnya dengan hari Al Ghottos, yang benar adalah Al-Ghithoos), yang dimaksud Al-Ghithoos (Hari Epiphani) ini dalam keyakinan Nasrani adalah hari raya kemunculan Al-Masih (atau menurut mereka Tuhan Yesus) yakni setelah natal yang mana tiga raja / orang Majusi menghampiri Al-Masih dari tempat mereka yang jauh dengan membawa hadiah dan dalam perjalanan mereka dipandu oleh bintang yang sangat terang dilangit tanda kelahiran Nabi Isa. Al-Maqriziy menyebutkan kata-kata Al-Ghithoos beberapa kali di kitabnya Itti’aazhul Chunafa, yaitu:
Dalam Itti’aazhul Chunafaa jilid 1 hal 90:
ومنع العزيز في هذه السنة وهي سنة سبع وستين النصارى من إظهار ما كانوا يفعلونه في الغطاس‏:‏ من الاجتماع ونزول الماء وإظهار الملاهي وحذر من ذلك‏.‏
Artinya: Sultan Al-Aziiz (salah satu dari sultan-sultan Dawlah Fathimiyyah) dalam tahun ini yakni tahun (tiga ratus) enam puluh tujuh (hijriyyah) melarang orang-orang nasrani untuk menampakkan apa yang dahulu mereka lakukan pada hari Al-Ghithoos daripada berkumpul, turun / menyelam ke dalamair dan bersenang-senang.
Juga pada jilid 2 halaman 8:
في المحرم (388 هـ) كان غطاس النصارى فضربت الخيام والمضارب والأشرعة في عدة مواضع من شاطىء النيل ونصبت أسرة للرئيس فهد بن إبراهيم وأوقدت له الشموع والمشاعل وحضر المغنون والملهون وجلس مع أهله يشرب إلى أن جاء وقت الغطاس فغطس وانصرف‏.‏ (ج 2 ص 8(
Artinya: dan dalam Muharram (tahun 388 H, pada masa pemerintahan Sultan Al-Chaakim) datang waktu peringatan Al-Ghithoos lalu didirikanlah kemah-kemah dibeberapa tempat di tepi sungai Nil lalu didirikan pula singgasana untuk Kepala / Panglima Fahd bin Ibrohim lalu dinyalakanlah lilin-lilin dan obor-obor lalu datanglah para penyayi dan penghibur lalu duduklah Fahd bersama keluarganya, ia minum hingga datang waktu Al-Ghithoos lalu ia menyelam sebentar kemudian ia pergi.
Pada jilid 2 halaman 39:
ومنع النصارى من الغطاس (401 هـ) فلم يتظاهروا على شاطىء البحر بما جرت عادتهم به‏. (ج 2 ص 39)
Artinya: (Al-Chaakim) melarang orang-orang Nasrani dari (merayakan) Al-Ghithoos (pada tahun 401 H) sehingga mereka tidak menampakkan sekali perayaan itu di tepi laut sebagaimana adat kebiasaan mereka.

Nampak perbedaan yang mencolok jika kita bandingkan fakta dari kitab Al-Maqriziy yang saya nukilkan di atas dengan kutipan perkataan Abu Misykah yang seolah-olah menggambarkan bahwa pemerintahan Dawlah Fathimiyyah secara resmi merayakan hari raya Nasrani atau bahkan Majusi, yang mana dengan kata-katanya itu Abu Misykah ingin memojokkan Dawlah Fathimiyyah (yang memang bermazhab syi’ah) yang kemudian intinya adalah memojokkan peringatan Mawlid yang menurutnya jiplakan atau dipelopori oleh sebuah Dawlah (Negara) yang sedemikian parah akidahnya dan perlakunya. Ini sebuah cara yang tidak jujur yang biasa dilakukan oleh wahabi dan konco-konconya seperti Abu Misykah ini.

Di sisi lain saya ingin mengmukakan fakta bahwa peringatan mawlid bukan mnopoli Dawlah Fathimiyyah semata. Yang mana tersebut dalam kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsiir (perlu diketahui pula bahwa Ibnu Katsiir ini adalah salah satu murid dan oengagum Ibn Taymiyyah, kiblatnya wahabi) pada jilid 12 halaman 326 – 327 cetakan Daar Ichyaa’ At-Turoots Al-Arobiy, cetakan pertama 1408 H / 1988 M tertulis ketika memberitakan kejadian-kejadian pada tahun 565 H, diantaranya sebagai berikut:
وفيها سار الملك نور الدين إلى الرقة فأخذها، وكذا نصيبين والخابور وسنجار، وسلمها إلى زوج ابنته ابن أخيه مودود بن عماد الدين، ثم سار إلى الموصل فأقام بها أربعة وعشرين يوما، وأقرها على ابن أخيه سيف الدين غازي بن قطب الدين مودود، مع الجزيرة، وزوجه ابنته الاخرى، وأمر بعمارة جامعها وتوسعته، ووقف على تأسيسه بنفسه، وجعل له خطيبا ودرسا للفقه، وولي التدريس للفقيه أبي بكر البرقاني، تلميذ محمد بن يحيى تلميذ الغزالي، وكتب له منشورا بذلك، ووقف على الجامع قرية من قرى الموصل، وذلك كله بإشارة الشيخ الصالح العابد عمر الملا، وقد كانت له زاوية يقصد فيها، وله في كل سنة دعوة في شهر المولد، يحضر فيها عنده الملوك والامراء والعلماء والوزراء ويحتفل بذلك، وقد كان الملك نور الدين صاحبه، وكان يستشيره في أموره، وممن يعتمده في مهماته وهو الذي أشار عليه في مدة مقامه في الموصل بجميع ما فعله من الخيرات، فلهذا حصل بقدومه لاهل الموصل كل مسرة، واندفعت عنهم كل مضرة،
Artinya: Pada tahun itu (565 H) Raja Nuruddin (yakni Nuruddin Zanki bin Imaaduddin Zanki, ia adalah penguasa Halab / Aleppo dan sekitarnya dan berhasil menyatukan Mesir dan Syam serta menumbangkan Dawlah Fathimiyyah dan menyebarkan faham ahlussunnah wal jama’ah) berjalan ke Ar-Riqqoh lalu ia pun menguasainya begitu juga Nashibin, Al-Khobuur, dan Sinjaar lalu ia menyerahkan wilayah itu kepada isteri keponakanya, anak dari saudaranya Mawduud bin ‘Imaaduddiin, kemudian Nuruddin berjalan ke Mawshil lalu ia tinggal di sana 24 hari, dan ia menetapkan wilayah itu untuk anak dari saudaranya, yaitu Sayfuddin Ghoozii bin Quthbuddiin Mawduud bin ‘Imaaduddiin begitu juga Al-Jaziiroh, lalu ia (Nuruddin) menikahkannya dengan puterinya yang lian, dan memerintahkannya untuk memakmurkan masjid Jami’nya (masjid yang digunakan untuk sholat jum’at) dan memperluasnya dan menangani langsung pembentukannya, lalu ia menjadikan / mengambil untuk masjid itu Khothib dan pengajar fiqih (Hukum Islam), dan yang melakukan pengajaran fiqih adalah Al-Faqiih (seorang ahli fiqih) Abubakar Al-Barqooniy murid dari Muhammad bin Yahya murid dari (Al-Imam) Al-Ghozzaliy, dan ia menulis sebuah surat untuk menguatkan hal itu, lalu ia (Nuruddin) mewakafkan masjid jami’ di satu desa dari desa-desa di Mawshil. Semua itu ia lakukan berdasar isyarat / petunjuk dari seorang yang salih dan ahli ibadah yaitu Asy-Syekh Umar Al-Mulla, ia memiliki sebuah zawiyah (tempat para sufi) yang dituju oleh orang banyak dan setiap tahun ia mengundang orang-orang di bulan mawlid (Robii’ul Awwal) banyak para raja, pemimpin, ulama, para menteri yang menghadirinya dan merayakannya. Dan raja Nuruddin itu adalah kawan dari Asy-Syekh Umar Al-Mulla tersebut dan ia selalu meminta petunjuk kepada beliau dan beliaulah yang memberi arahan kepada Raja Nuruddin untuk melakukan berbagai kebaikan terebut selama ia tinggal di Mawshil. Olehkarenanya terjadilah segala kesenangan dengan kedatangan raja ke Mawshil dan tertolaklah segala mudarat / bahaya.

Peringatan Mawlid yang besar berikutnya yang terekam dalam sejarah adalah yang dilakukan oleh Raja Muzhoffar (wafat 630 H) yang terekam dalam kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah pada jilid 13 halaman 169 – 170 ketika ia menyebutkan beberapa orang penting yang meninggal pada tahun 630 H yang di antaranya adalah Raja Muzhoffar berikut redaksinya:
قلت أما صاحب إربل فهو:
الملك المظفر أبو سعيد كوكبري ابن زين الدين علي بن تبكتكين أحد الاجواد والسادات الكبراء والملوك الامجاد، له آثار حسنة وقد عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون، وكان قد هم بسياقة الماء إليه من ماء بذيرة فمنعه المعظم من ذلك، واعتل بأنه قد يمر على مقابر المسلمين بالسفوح، وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الاول ويحتفل به احتفالا هائلا، وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه الله وأكرم مثواه.
وقد صنف الشيخ أبو الخطاب ابن دحية له مجلدا في المولد النبوي سماه: " التنوير في مولد البشير النذير "، فأجازه على ذلك بألف دينار، وقد طالت مدته في الملك في زمان الدولة الصلاحية، وقد كان محاصر عكا وإلى هذه السنة محمود السيرة والسريرة، قال السبط: حكى بعض من حضر سماط المظفر في بعض الموالد كان يمد في ذلك السماط خمسة آلاف رأس مشوي، وعشرة آلاف دجاجة، ومائة ألف زبدية، وثلاثين ألف صحن حلوى، قال: وكان يحضر عنده في المولد أعيان العلماء والصوفية فيخلع عليهم ويطلق لهم ويعمل للصوفية سماعا من الظهر إلى الفجر، ويرقص بنفسه معهم، وكانت له دار ضيافة للوافدين من أي جهة على أي صفة، وكانت صدقاته في جميع القرب والطاعات على الحرمين وغيرهما، ويتفك من الفرنج في كل سنة خلقا من الاسارى، حتى قيل إن جملة من استفكه من أيديهم ستون ألف أسير، قالت زوجته ربيعة خاتون بنت أيوب - وكان قد زوجه إياها أخوها صلاح الدين، لما كان معه على عكا - قالت: كان قميصه لا يساوي خمسة دراهم فعاتبته بذلك فقال: لبسي ثوبا بخمسة وأتصدق بالباقي خير من أن ألبس ثوبا مثمنا وأدع الفقير المسكين، وكان يصرف على المولد في كل سنة ثلاثمائة ألف دينار، وعلى دار الضيافة في كل سنة مائة ألف دينار.

Artinya: Saya (Ibnu Katsir) berkata: “Adapun penguasa Irbil, ia adalah Raja Muzhoffar Abu Sa’id Kawkabariy (dalam bahasa turki artinya serigala biru) bin Zaynuddin Ali bin Tabaktakin salah seorang dermawan, pemimpin besar, dan raja yang mulia, ia memiliki banyak amal baik di antaranya ia telah memakmurkan masjid Jami’ Al-Muzhoffariy di bukit Qosiyun. Dan ia memiliki keinginan untuk mengalirkan air ke Masjid tersebut dari mata air Badziiroh namun dilarang oleh Al-Mu’azhzhom sebab itu akan melewati pekuburan muslimin di perbukitan tersebut. Ia merayakan mawlid yang mulia di bulan Robii’ul Awwal dengan perayaan yang dahsyat. Bersama dengan itu ia adalah seorang yang gagah, berani, perkasa, perwira, cerdas, alim (ahli ilmu), dan adil, semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.
Dan sungguh Asy-Syekh Abul Khoththob bin Dichyah telah menyusun untuk Raja Muzhoffar sebuah kita mawlid (yang mengisahkan tentang kelahiran Nabi) yang dinamakan dengan judul ‘At-Tanwiir fil Mawlidil Basyiirin Nadziir’ (Penerangan tentang Mawlid / Kelahiran Sang Pembawa Berita Gembira dan Peringatan) lalu raja memberinya hadiah berupa uang 1000 Dinar (uang emas, 1 dinar kurang lebihsetara dengan 4 gram emas). Telah panjang masa kekuasaannya yang bersamaan dengan masa kekuasaan Dinasti sholachiyyah (yakni Salahuddin Al-Ayyubi), dan ia ikut mengepung kota Akka (ketika masih dikuasai oleh orang-orang Nasrani), dan ia hingga tahun ini senantiasa menjadi seorang yang terpuji sikap lahir dan batinnya. As-Sibth berkata: “Sebagian orang yang menghadiri perayaan Mawlidnya menceritakan bahwa di dalam hidangan mawlid itu ia menyediakan 5000 (lima ribu) ekor daging bakar, 10.000 (sepuluh ribu) ekor ayam, 100.000 (seratus ribu piring) mentega, dan 30.000 piring manisan.” Ia berkata: “dan adalah yang hadir padanya di kala peringatan mawlid itu banyak dari para pemuka ulama dan orang-orang sufi maka ia memebri mereka semua pakaian yanga baik dan menyambut kedatangan mereka, dan ia membuat majlis lantunan syair-syair pujian bagi mereka mulai dari zhuhur hingga fajar dan ia (Raja Muzhoffar) sendiri menari bersama mereka (tarian sufi bukan tarian orang-orang fasiq yang berlenggak-lenggok yang diharamkan oleh syari’at) dan ia memiliki rumah khusus untuk menampung para tetamu dari mana saja ia berasal dan bagaimana pun sifat mereka, dan ia senantiasa bersedekah untuk segala bentuk ketaatan terutama untuk dua tanah suci (Makkah dan Madinah). Ia membebaskan setiap tahunnya banyak dari orang eropa (nasrani) yang ia tawan, sehingga dikatakan jumlah tawanan yang ia bebaskan mencapai 60.000 (enam puluh ribu) tawanan. Isterinya, Robii’ah Khotuun binti Ayyub – saudari Sholahuddin Al-Ayyubiy yang mana ia menikahkannya dengan Muzhoffar ketika bersama-sama mengepung kota ‘Akkaa – berkata: “Adalah baju gamis Sultan Muzhoffar tidak sampai seharga 5 dirham (sekitar Rp 75.000).” maka isterinya itu menegurnya dan Muzhoffar menajwab: “Saya memakai baju yangs eharga 5 dirham dan saya bisa bersedekah dengan sisa uang saya lebih saya sukai daripada saya memakai baju yang mahal namun saya menterlenatarkan orang-orang faqir dan miskin. Ia membelanjakan setiap tahunnya untuk mawlid Nabi sebesar 300.000 (tiga ratus ribu) dinar, dan untuk rumah tamu setiap tahunnya 100.000 (seratus ribu) dinar.”

Dari fakta di atas dapat kita simpulkan bahwa peringatan mawlid pada masa itu buka monopoli Dawlah Fathimiyyah dan tidak fakta yang betul-betul akurat tentang apakah Raja Muzhoffar dan Asy-Syekh Umar di atas mengambil tradisi itu dari Fathimiyyah ataukah sebaliknya Fathimiyyah mengambil dari tradisi ahli sunnah, atau masing-masing menjalankan tradisi yang sudah lama ada dan bisa jadi telah ada jauh sebelum masa itu (abad ke 6 hijriyyah). Namun yang jelas perayaan mawlid yang diisi dengan pembacaan kisah mawlid baru nampak nyata – sebagaimana terekam dalam data sejarah – pada masa Sultan Muzhoffar yakni dengan adanya karya kisah Malid At-Tanwiir yang disusun oleh Ibnu Dichyah sebagaimana teserbut di atas (meskipun kisah Mawlid itu tidak sampai pada kita), dan begitu juga kaum muslimin sekarang merayakannya dengan membaca kisah mawlid Syaroful Anam, Al-Barzanji, Ad-Diba’iy, Al-‘Azab, Simthud Duror dan lain-lain, dan mereka bukan megambil dari tradisi Fathimiyyah.

Selain itu sebagaimana kita ketahui para sahabat selalu menceritakan dan memberitakan kejadian-kejadian penting tentang Rasul dan masa kehidupan beliau kepada generasi berikutnya dalam perkumpulan-perkumpulan / majlis mereka. [Lantas, apa bedanya mereka menceritakan kisah-kisah itu dan kita pun membacakan kisah-kisah mawlid dan perangai nabi yang kebanyakan adalah nukilan dari riwayat-riwayat mereka (generasi awal Islam) tersebut yang mana para ulama yang datang kemudian sudah merangkumnya – agar kita tidak sulit mendapatkannya dari kitab-kitab yang besar yang tidak semua orang berlesempatana untuk menelaahnya – lalu mereka menggubahnya dalam kitab-kitab mawlid yang terkenal itu] Mereka para sahabat dan tabi’in menceritakan baik tentang peperangan beliau sampai masalah detail sandal beliau, dsb sebagaimana kita banyak dapati keterangan dari generasi awal Islam (para sahabat dan tabi’in) tersebut di kitab-kitab Maghozi (peperangan beliau), Siroh (sejarah hidup beliau), ataupun Syama-il (keseluruhan sifat dan perangai beliau). Ini menunjukkan ikatan batin yang kuat dari para sahabat dan tabi’in serta generasi Islam dari awal Islam hingga masa berikutnya, dari masa ke masa. Maka sangatlah tidak mungkiin jika kita mengatakan bahwa mereka tidak mengingat peristiwa-peristiwa penting tersebut termasuk peristiwa mawlid / kelahiran Rasul – semoga salawat dan salam tetap terlimpah atas beliau dan keluarga beliau – yang mana seandainya saja tidak ada mawlid / kelahiran beliau maka tidak ada wahyu Al-Qur’an, jikalau tidak karena mawlid beliau tidak ada Isroo’ dan Mi’rooj sehingga tidak ada sholat lima waktu, jikalau tidak ada mawlid tidak ada hijrah ke Madinah, tidak ada perintah puasa Romadhon, tidak ada perintah zakat, tidak ada Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) dan sebagainya. Walaupun bisa jadi mereka memperingatinya secara pribadi-pribadi atau dengan cara-cara lain seperti bersedekah atau melakukan kebakan-kebaikan lainnya.
Yang paling penting untuk diperhatikan juga dalam masalah ini adalah: bahwa yang Pertama kali mengadakan peringatan Maulid adalah Shohibul maulid itu sendiri yaitu Rasulullah saw , beliau berpuasa di hari kelahiran beliau ..seperti dalam riwayat berikut :

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ غَيْلَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَقَالَ فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun dari Ghailan dari Abdullah bin Ma'bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: "Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku." (shahih muslim )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar