Penulis Von Edison Alouisci
مَا
أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِق
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli
bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ
إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ
اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ
زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ
لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117،
وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ
الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ.
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ
مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا
أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti
dan mencontoh sesuatu sebelumnya.
Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.
Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.
Kata Ibda’
dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata
al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang
baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.
Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.
Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam
pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ
الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara
tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1,
h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu
Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela
hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian
keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi
sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada
kesesatan”.
Macam-Macam
Bid’ah
Bid’ah
terbagi menjadi dua bagian:
Pertama:Bid’ah
Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau
Sunnah Sayyi-ah.
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua:
Bid’ah Huda disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau
Sunnah Hasanah.
Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ
مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ
كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ
الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ
لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ
البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar
(sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang
mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua:
Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun
Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib
asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam
riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ
مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian
bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya
dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para
ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara
mereka adalah para ulama terkemuka, seperti: al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari
kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir,
al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain.
Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi,
az-Zabidi dan lainnya.
Dengan
demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua:
1.Bid’ah
Mahmudah (bid’ah terpuji)
2.Bid’ah
Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian
bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia
berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ
ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini
yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat
dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”,
bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi
syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi
syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah
dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam
pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu
bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam
pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah
yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Menurut
al-Imam Abu Muhammad Izzudin bin Abdissalam: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah
di kenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW”.
(Qawa’id al-
Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 11, hal 172)
Sebagian
besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:
1) Bid’ah
Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan
oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan
lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami
al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara sempurna.
2) Bid’ah
Muharramah, Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab
Jabariyyaah dan Murji’ah.
3) Bid’ah
Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa
Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah
dan pesantren.
4) Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5) Bid’ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173)
4) Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5) Bid’ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173)
Maka tidak
heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian
besar.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:
“Sesuatu
yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu
menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ulama. Ini
disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika) sesuatu yang baru tersebut
termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an,
al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang
tidak dicela”. (Fath al-Bari, juz XVII, hal 10)
Syaikh Nabil
Husaini menjelaskan sebagai berikut:
“Para ahli
ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni
bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah
perbuatan yang sesuai kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.
Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik
(Sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari
perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang mengamalkannya setelah itu,
tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis
sunnah jelek (sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu
dan dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun
mengurangi dosa-dosa mereka”.
Dan juga
berdasarkan Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA,”Setiap
sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik
menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam,
maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Hadist ini dishahihkan oleh
al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min
al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Dari uraian
diatas maka secara umum bid’ah terbagi menjadi dua.
Pertama,
bid’ah hasanah, yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung
unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam
kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah
perkataan sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang
beliau laksanakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan
berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231])
Contoh,
bid’ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
membuka suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi
nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian ahad atau titian senja,
menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat
Allah, dan shollalloohu ‘alaihi wasallam (yang diringkas SAW) setiap ada kata
Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah
SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agama Islam.
Kedua,
bid’ah sayyi-ah(dhalalah), yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat
merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat
digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi
Muhammad SAW:
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243])
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243])
Dengan
adanya pembagian ini, dapat disimpulakan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang
dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikawatirkan
akan menghancurkan sendi – sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan
menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat
ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan
dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu
relevan di setiap waktu dan tempat (Shalih li kuli zaman wa makan).
Dalil-Dalil
Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits
al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam
kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara
dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut
(Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 2
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka,
tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini
adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat
Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin
berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah
yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan
penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek
Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka
meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah
Dalam ayat
di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak
mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang
membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada
Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru
yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama
sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan
mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan
berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri
dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah
kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh
dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah
bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang
siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka
baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim). Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan:
“Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus
dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah
(at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan
orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan
sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan
tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang
merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru,
bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena
seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan
mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka
pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas:“Barangsiapa
merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya
yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama,
yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan
dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang
sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’,
perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan
diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab
Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat
berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah.
Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal
Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan
berjama’ah.
Kemudian
dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa
sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan
talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah
beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn
al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud
yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar
mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:“Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap
bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya.
Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ
أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal
itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR.
Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih) Dalam
riwayat lain, tentang shalat Dhuha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن
أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah
sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah) Riwayat-riwayat
ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang
shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat
Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata:
“Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau
mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”.
Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا
كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah
selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan
kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai
Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا
يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba
untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. Al-Hafizh
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak
ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j.
2, h. 287).
8. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa
Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ
النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ
يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ"
وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ
الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ:
مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah
lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan
kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka
juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita,
Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i
mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu
Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa
bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa
Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini
beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali
melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat
Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf) Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang. Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا
فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah
dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah
orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr
dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan.
(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur.
Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang
alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari
kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan
titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah
mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka
semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian
pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan
mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf
tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian
huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya
bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik
dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai
bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian
halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan
menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar
ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya
al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam
Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama
tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan
lainnya. Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat
al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap
permulaan juz, juga penulisan hizb (hizib ini semacam juz, satu juz terdiri dari dua
hizib), Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz
dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah
yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama
kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd
al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti
oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid.
Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh
masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh
al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn
Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh
as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W
676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh
Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh
Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah
sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah
al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki
dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama
Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang
beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak
pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah
hanya menuliskan:“Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad
Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti
tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang
kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini
adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada
yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas
menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini
beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya
seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah.
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah.
Yaitu
keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak
menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan
manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu
sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan.
Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang
menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa
besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada
posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga
mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan
dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah
Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam
Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah.
Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij.
Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia
menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah
al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah
adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka
tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah
merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata
Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan
Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah
Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah
telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154). Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat
ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan
kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa
angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti
hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan
kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna
Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim
adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah
meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ
بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus dinasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat
Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah
bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang
dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui
lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan
bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan
mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan
kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini,
beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah
memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum
keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ
بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits
“Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi
al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang
di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ
بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ
الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ
صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ
وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara
mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah
bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam
syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam
syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:“Bid’ah yang
diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam
urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam
urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat
bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat
yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang
yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR.
at-Tirmidzi (hasan) dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara
baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak
pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai
sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan
suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang
haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
HADITS
TENTANG SEMUA BID’AH ADALAH SESAT
Kalau memang
Bid’ah terbagi menjadi dua, lalun bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat?
Untuk
memahami al-qu’ran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau
hanya melihat arti lahiriah sebuah tek’s. Ada banyak hal yang harus
diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits.
Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula
meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwu,
sharaf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya.
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum:
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum:
Haram,
seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.
Makruh,
seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.
Wajib, seperti
belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).
Sunnah,
seperti membangun pesantren atau madrasah.
Mubah,
seperti jabat tangan setelah shalat.
Alhasil,
menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada
zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu
kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh,
belajar ilmu nahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka
hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah
hal. 6-8.
Penjelasan
tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :
1. Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami
atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim.
Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :
Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :
Pertama,
jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang
parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada
dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua,
memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.).
Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari
ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga,
dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah
yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan
perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila
memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib.
Dan begitu seterusnya. Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7.
2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud:
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru. dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض), sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat”.
Hal ini
didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti
seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).
Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Al-Qu’an
surat Al-Anbiya’; 30:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ
حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ
نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang
menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari
al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad
Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.
kata Kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, Contoh lain adalah firman Allah SWT:
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap – tiap perahu”. (QS.al-Kahfi, 79)
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Kidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khiddir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khiddir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni perahu – perahu yang bagus saja yang dirampas.
Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya, usaha untuk membukukan al-Qur'an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjamaah dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Nah, kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah SWT dan Rasul – ny Na. Bahkan di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.
Kembali ke Hadist yang berbunyi Rasulullah saw bersabda, 'Sebaik-baiknya perkataan / berita adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad. Sementara itu, sejelek-jelek urusan adalah membuat-buat hal yang baru (muhdastatuha) dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." [Lihat misalnya Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN] 1.435; Sunan al-Nasa'i, HN 1560; Sunan Ibn Majah
Syarh Sunan al-Nasa'i li al-Suyuti memberikan keterangan apa yang dimakud dengan "muhdastatuha" dalam hadis yang di atas. Disebut muhdastatuha kalau kita membuat-buat urusan dalam masalah Syari'at atau dasar-dasar agama (ushul). Dalam Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan lebih lanjut bahwa para ulama mengatakan bid'ah itu ada lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah."
"Yang wajib adalah mengatur argumentasi berhadapan dengan para pelaku bid'ah. Yang mandub (sunnah) adalah menulis buku-buku agama mengenai hal ini dan membangun sekolah-sekolah. Ini tidak ada dasarnya dalam agama namun diwajibkan atau disunnahkan melakukannya. Yang dianggap mubah adalah beraneka ragam makanan sedangkan makruh dan haram sudah nyata dan jelas contohnya.
Jadi kata bid'ah dalam hadis di atas dipahami oleh Suyuti dan Nawawi sebagai kata umum yang maksudnya khusus. Kekhususannya terletak pada persoalan pokok-pokok syari'at (ushul) bukan masalah cabang (furu').
"Jika kita menganggap hadis itu tidak berlaku khusus maka semua yang baru (termasuk tekhnis pelaksanaan ibadah) juga akan jatuh pada bid'ah. Kedua kitab Syarh tersebut juga mengutip ucapan Umar bin Khattab soal shalat tarawih di masanya sebagai 'bid'ah yang baik' (ttg ucapan Umar ini lihat Shahih Bukhari, HN 1871).
Dengan
demikian Umar tidak menganggap perbuatan dia melanggar hadis tersebut, karena
sesungguhnya yang di-"modifikasi" oleh Umar bukan ketentuan atau
pokok utama shalatnya, melainkan tekhnisnya. Mohon dicatat, penjelasan mengenai
hadis ini bukan dari saya tetapi dari dua kitab syarh hadis dan keduanya saling
menguatkan satu sama lain"
"Kita juga harus berhati-hati dalam menerima sejumlah hadis masalah bid'ah ini. Sebagai contoh, hadis mengenai bid'ah yang tercantum dalam Sunan al-Tirmizi, HN 2701 salah satu rawinya bernama Kasirin bin Abdullah. Imam Syafi'i menganggap dia sebagai pendusta, Imam Ahmad menganggap ia munkar, dan Yahya menganggapnya lemah. Hadis masalah bid'ah dalam Sunan Ibn Majah, HN 48 diriwayatkan oleh Muhammad bin Mihshanin. Tentang dia, Yahya bin Ma'yan mengatakan dia pendusta, Bukhari mengatakan dia munkar, dan Abu Hatim al-Razi mengatakan dia majhul. Ibn Majah meriwayatkan hadis dalam masalah ini [HN 49], diriwayatkan oleh dua perawi bermasalah. Abu Zar'ah al-Razi mengatakan bahwa Bisyru bin Mansur tidak dikenal, Zahabi mengatakan Abi Zaid itu majhul. Kedua hadis Ibn Majah ini tidak dapat tertolong karena hanya diriwayatkan oleh Ibn Majah sendiri, yaitu "Allah menolak amalan pelaku bid'ah, baik shalatnya, puasanya...dst.
Namun Saya tidak bilang semua hadis ttg bid'ah itu lemah
Ketahuialah "Yang disebut asal/pokok/dasar Agama adalah ibadah mahdhah yang didasarkan oleh nash al-Qur'an dan Hadis yang qat'i. Dia berkategori Syari'ah, bukan fiqh.
Kalau sebuah amalan didasarkan pada dalil yang ternyata dilalahnya (petunjuknya) bersifat zanni maka boleh jadi amalan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya. Ini disebabkan zanni al-dalalah memang membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Sementara kalau dilalah atau dalalahnya bersifat qat'i maka dia masuk kategori Syari'ah dan setiap hal yang menyimpang dari ketentuan ini dianggap bid'ah. Jadi, sebelum menuduh bid'ah terhadap amalan saudara kita, mari kita periksa dulu apakah ada larangan dari Nabi yang bersifat qat'i (tidak mengandung penafsiran atau takwil lain) terhadap amalan tersebut?"
"Jikalau tidak ada larangan, namun dia melanggar ma'lum minad din bid dharurah (ketentuan agama yang telah menjadi aksioma), maka dia jatuh pada bid'ah. Kalau tidak ada larangan, dan tidak ada ketentuan syari'at yang dilanggar, amalan tersebut statusnya mubah, bukannya bid'ah!"
contoh praktisnya: Apakah ada larangan memakai alat untuk berzikir (kita kenal dg tasbih atau rosario utk agama lain) ? Meskipun Nabi tidak pernah mencontohkannya, bukan berarti tidak boleh! Adalah benar dalam masalah ibadah berlaku kaidah, 'asal sesuatu dalam ibadah itu haram kecuali ada dalil yg membolehkan atau mewajibkan'. Nah, apakah memakai tasbih itu termasuk ibadah mahdhah atau tidak? Indikasinya adalah apakah zikir kita tetap sah kalau tidak pakai tasbih? tentu saja tetap sah, karena yang disebut ibadah adalah zikirnya, bukan cara menghitung 33 atau 99nya. Tasbih memang dipakai dalam zikir tetapi dia hanya masalah tekhnis. Seseorang bisa jatuh pada bid'ah kalau menganggap wajib hukumnya memakai tasbih untuk berzikir. Tetapi kalau memandang tasbih hanya sebagai alat tekhnis saja, tentu tidakmasalah.
"Ini yang saya maksud dengan membedakan mana
ibadah inti dan mana tekhnis ibadah; mana ibadah mahdah dan mana ibadah ghaira
mahdhah."
JUDUL
ASLI
"Mengulas
kembali tentang bid`ah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar