Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Oktober 2014

Puasa ‘Arafah ketika terjadi perbedaan Hari Raya ‘Idul Adha

 Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara puasa sunah yang dianjurkan adalah puasa hari ‘Arofah, sebagaimana Sabda Nabi – semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dalam sahih Muslim:
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
Puasa hari ‘Arofah saya mengharapkan kepada Allah pahalanya menghapus dosa setahun yang sebelumnya dan setahun yang sesudahnya.
Adapun hari ‘Arofah adalah hari tanggal 9 Dzul Chijjah, demikian yang termaktub dalam kamus-kamus bahasa Arab yang mu’tabar seperti Al-Mishbaachul Muniir, dan semacamnya, dan juga dalam kitab-kitab fiqih yang mu’tabar seperti syarah Al-Machalli atas Minhaj. Disebut demikian karena pada tanggal tersebut para jama’ah hajji berwukuf di padang ‘Arofah. Sebagaimana tanggal 10 disebut idul adchaa sebab dihari itu dilakukan udh-chiyyah (penyembelihan hewan kurban). Sedangkan kita telah tahun bahwa penanggalan hijriyyah itu berpatokan pada hilal (munculnya bulan sabit) sebagai tanda masuknya bulan baru. Dan kita tahu bahwa antara wilayah-wilayah yang jauh terdapat perbedaan mathla’ (waktu terbit bulan dan bintang serta matahari) dan ada pula penyebab-penyebab lain yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya perbedaan nampaknya atau tidaknya hilal.
Jadi, Sunnah puasa hari arofah adalah pada tanggal 9 Dzul Chijjah, bukan pada hari di mana jama’ah hajji melaksanakan wukuf di padang ‘arofah. Hal ini diperkuat pula oleh hadits sahih dari Nabi – semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dari ‘Aa-isyah – semoga Allah meridhoinya – beliau bersabda:
الفطر يوم فَطَرَ الناس، والأضحى يوم يضحي الناس (رواه الترمذي وصححه)
Artinya: idul fitri itu adalah hari dimana orang berbuka (tidak berpuasa lagi / selesai puasa), sedangkan adha itu adalah hari dimana orang-orang menyembelih (hewan kurbannya) [H.R At-turmudziy dan disahihkan olehnya]. Sedangkan dalam riwayat Al-Imam Asy-Syafi’iy ada tambahan:
وعرفة يةم يُعَرِّفون  
Artinya: dan ‘arofah adalah hari dimana orang-orang meyakininya sebagai hari arofah (9 Dzul hijjah).
Maka jika terjadi perbedaan penanggalan bulan dzulhijjah antara Saudi dengan negeri tempat kita tinggal, maka tetaplah kita melakukan puasa di hari 9 Dzul Hijjah menurut kalender atau nampaknya hilal di negeri kita. Sedangkan dalam penentuan tersebut kita mengikuti pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah pemerintah. Sesuai dengan firman Allah:
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم.....(النساء)
Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr (orang-orang yang menguasai perkara) di antara kalian....(Q.S An-Nisaa`:) dan berdasar amal para sahabat, dan ijma’ para ulama.
Demikian pula keterangan yang kami dapati dalam kitab Chaasyiyah At-Tarmasiy karya Asy-Syekh Muhammad Machfuuzh bin Abdulloh At-Tarmasiy.
Dan yang menyelesihi pendapat ini adalah orang-orang yang berpegang pada hisab / perhitungan falak tanpa menggunaka ru`yah (melihat) hilal, dan pendapat ini terbantahkan dengan surat Al-Baqoroh ayat 185, yakni: “....barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu maka hendaknya ia berpuasa...”. dan juga terbantahkan dengan perintah Nabi untuk berpuasa dengan melihat hilal dan juga dengan hadits riwayat Al-Bukhooriy dan Muslim: “Kami adalah kaum yang ummiy (tak pandai baca-tulis) kami tidak pandai tulis dan ilmu hisab (perhitungan) ”
selain itu yang menyelesihi pendapat ini juga adalah orang yang berpegang pada pendapat bahwa satu dunia ini satu mathla’, yakni jika hilal terlihat umpamanya di Saudi maka itu juga berlaku bagi Indonesia. Ini pun terbantahkan dengan hadits yang termasyhur riwayat Kuroib dari Ibnu ‘Abbas yang termaktub dalam sahih Muslim yang menyatakan bahwa para sahabat yang ada di Madinah waktu itu tetap berpuasa sedangkan Mu’awiyah dan para sahabat serta kaum muslimin yang ada di Syam pada hari yang sama telah berhari raya. Yang mana dikahir hadits itu Abdulloh bin Abbas menyatakan: “Beginilah kami diperintahkan oleh Rasululloh” Sedangkan jarak antara Syam dan Madinah kurang lebih perjalanan satu bulan jalan kaki (yakni berbeda mathla’).
Dan jika ada seorang bersaksi bahwa ia melihat hilal Dzulhijjah lalu persaksian itu ditolak oleh pemerintah maka tanggal 9 Dzulhijjah versi pemerintah adalah tanggal 10 Dzul hijjah versi orang tersebut. Maka apakah seorang boleh berpuasa pada ‘Arofah pada hari itu? Dalam hal ini ada dua pendapat dari para ulama syafi’iyyah: sebagian mereka tetap mensunnahkan untuk berpuasa ‘Arofah sebagaimana tersebut dalam kitab Khoodimur Rowdhoh, dan sebagian yang lain bahkan mengharamkan berpuasa bagi siapa saja yang menerima kabar dari orang tersebut meskipun yang lain (yakni yang tidak menerima kabar boleh) berpuasa, sebagaimana tersebut dalam kitab Ii’aab. Sedangkan pendapat dua kelompok yang menyelisihi pendapat mayoritas di atas tidak dianggap.
Bukti lain bahwa puasa hari arofah tidak terkait dengan pelaksanaan wukuf di ‘Arofah oleh jama’ah hajji adalah bahwa para ulama memakruhkan para jama’ah hajji untuk melakukan puasa ‘arofah sebab hal itu dapat melemahkan tenaga, yang justeru sangat dibutuhkan untuk melakukan dan menyempurnakan ibadah hajji. Yakni seandainya pelaksanaan puasa Arofah itu adalah karena wukuf maka tentu yang paling dianjurkan untuk berpuasa adalah orang-orang yang wukuf di padang Arofah.
Bahkan Nabi sendiri tidak berpuasa pada hari ‘Arofah tersebut ketika hajji wada’ sebagaimana tersebut dalam riwayat Al-Bukhooriy dan Muslim dari Ummul Fadhl yang intinya ketika itu hari Arofah pada saat hajji wada’ para sahabat ragu-ragu apakah Nabi SAW puasa atau tidak kemudian mereka ingin mengetahuinya dengan memberikan minuman kepada Nabi dan beliau pun meminumnya sedang semua orang pada saat itu melihat beliau.

Walloohu a’lam bish showaab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar