صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله
والسنة التي بعده
Puasa hari ‘Arofah saya mengharapkan kepada Allah pahalanya
menghapus dosa setahun yang sebelumnya dan setahun yang sesudahnya.
Adapun hari ‘Arofah adalah hari
tanggal 9 Dzul Chijjah, demikian yang termaktub dalam kamus-kamus bahasa Arab
yang mu’tabar seperti Al-Mishbaachul Muniir, dan semacamnya, dan juga dalam kitab-kitab fiqih yang mu’tabar
seperti syarah Al-Machalli atas Minhaj. Disebut demikian karena pada
tanggal tersebut para jama’ah hajji berwukuf di padang ‘Arofah. Sebagaimana
tanggal 10 disebut idul adchaa sebab dihari itu dilakukan udh-chiyyah
(penyembelihan hewan kurban). Sedangkan kita telah tahun bahwa penanggalan
hijriyyah itu berpatokan pada hilal (munculnya bulan sabit) sebagai tanda
masuknya bulan baru. Dan kita tahu bahwa antara wilayah-wilayah yang jauh
terdapat perbedaan mathla’ (waktu terbit bulan dan bintang serta matahari) dan
ada pula penyebab-penyebab lain yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya
perbedaan nampaknya atau tidaknya hilal.
Jadi, Sunnah puasa hari arofah
adalah pada tanggal 9 Dzul Chijjah, bukan pada hari di mana jama’ah hajji
melaksanakan wukuf di padang ‘arofah. Hal ini diperkuat pula oleh hadits sahih
dari Nabi – semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam atas beliau dan
keluarga beliau – dari ‘Aa-isyah – semoga Allah meridhoinya – beliau bersabda:
الفطر يوم فَطَرَ الناس، والأضحى يوم يضحي الناس (رواه
الترمذي وصححه)
Artinya: idul fitri itu adalah hari dimana orang berbuka (tidak berpuasa
lagi / selesai puasa), sedangkan adha itu adalah hari dimana orang-orang
menyembelih (hewan kurbannya) [H.R At-turmudziy dan disahihkan olehnya].
Sedangkan dalam riwayat Al-Imam Asy-Syafi’iy ada tambahan:
وعرفة يةم يُعَرِّفون
Artinya: dan ‘arofah adalah hari dimana orang-orang meyakininya sebagai
hari arofah (9 Dzul hijjah).
Maka jika terjadi perbedaan penanggalan bulan dzulhijjah antara Saudi
dengan negeri tempat kita tinggal, maka tetaplah kita melakukan puasa di hari 9
Dzul Hijjah menurut kalender atau nampaknya hilal di negeri kita. Sedangkan
dalam penentuan tersebut kita mengikuti pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah pemerintah.
Sesuai dengan firman Allah:
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول
وأولي الأمر منكم.....(النساء)
Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr (orang-orang yang menguasai
perkara) di antara kalian....(Q.S An-Nisaa`:) dan berdasar amal para sahabat,
dan ijma’ para ulama.
Demikian pula keterangan yang kami dapati dalam kitab Chaasyiyah
At-Tarmasiy karya Asy-Syekh Muhammad Machfuuzh bin Abdulloh At-Tarmasiy.
Dan yang menyelesihi pendapat ini adalah orang-orang yang berpegang pada
hisab / perhitungan falak tanpa menggunaka ru`yah (melihat) hilal, dan pendapat
ini terbantahkan dengan surat Al-Baqoroh ayat 185, yakni: “....barang siapa di
antara kalian yang menyaksikan bulan itu maka hendaknya ia berpuasa...”. dan
juga terbantahkan dengan perintah Nabi untuk berpuasa dengan melihat hilal dan
juga dengan hadits riwayat Al-Bukhooriy dan Muslim: “Kami adalah kaum yang
ummiy (tak pandai baca-tulis) kami tidak pandai tulis dan ilmu hisab
(perhitungan) ”
selain itu yang menyelesihi pendapat ini juga adalah orang yang berpegang
pada pendapat bahwa satu dunia ini satu mathla’, yakni jika hilal terlihat
umpamanya di Saudi maka itu juga berlaku bagi Indonesia. Ini pun terbantahkan
dengan hadits yang termasyhur riwayat Kuroib dari Ibnu ‘Abbas yang termaktub
dalam sahih Muslim yang menyatakan bahwa para sahabat yang ada di Madinah waktu
itu tetap berpuasa sedangkan Mu’awiyah dan para sahabat serta kaum muslimin
yang ada di Syam pada hari yang sama telah berhari raya. Yang mana dikahir
hadits itu Abdulloh bin Abbas menyatakan: “Beginilah kami diperintahkan oleh
Rasululloh” Sedangkan jarak antara Syam dan Madinah kurang lebih perjalanan satu
bulan jalan kaki (yakni berbeda mathla’).
Dan jika ada seorang bersaksi bahwa ia melihat hilal Dzulhijjah lalu
persaksian itu ditolak oleh pemerintah maka tanggal 9 Dzulhijjah versi
pemerintah adalah tanggal 10 Dzul hijjah versi orang tersebut. Maka apakah
seorang boleh berpuasa pada ‘Arofah pada hari itu? Dalam hal ini ada dua
pendapat dari para ulama syafi’iyyah: sebagian mereka tetap mensunnahkan untuk
berpuasa ‘Arofah sebagaimana tersebut dalam kitab Khoodimur Rowdhoh, dan
sebagian yang lain bahkan mengharamkan berpuasa bagi siapa saja yang menerima
kabar dari orang tersebut meskipun yang lain (yakni yang tidak menerima kabar
boleh) berpuasa, sebagaimana tersebut dalam kitab Ii’aab. Sedangkan pendapat
dua kelompok yang menyelisihi pendapat mayoritas di atas tidak dianggap.
Bukti lain bahwa puasa hari
arofah tidak terkait dengan pelaksanaan wukuf di ‘Arofah oleh jama’ah hajji
adalah bahwa para ulama memakruhkan para jama’ah hajji untuk melakukan puasa ‘arofah
sebab hal itu dapat melemahkan tenaga, yang justeru sangat dibutuhkan untuk
melakukan dan menyempurnakan ibadah hajji. Yakni seandainya pelaksanaan puasa
Arofah itu adalah karena wukuf maka tentu yang paling dianjurkan untuk berpuasa
adalah orang-orang yang wukuf di padang Arofah.
Bahkan Nabi sendiri tidak
berpuasa pada hari ‘Arofah tersebut ketika hajji wada’ sebagaimana tersebut
dalam riwayat Al-Bukhooriy dan Muslim dari Ummul Fadhl yang intinya ketika itu
hari Arofah pada saat hajji wada’ para sahabat ragu-ragu apakah Nabi SAW puasa
atau tidak kemudian mereka ingin mengetahuinya dengan memberikan minuman kepada
Nabi dan beliau pun meminumnya sedang semua orang pada saat itu melihat beliau.
Walloohu a’lam bish showaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar