Haul terambil dari bahasa arab حَوْلٌ yang berarti waktu setahun. Namun istilah haul yang dimaksud di sini adalah tradisi peringatan wafat-nya seseorang biasanya adalah orang besar yakni seorang yang alim & salih atau seorang wali, yang di isi dengan pembacaan surah Yaasiin dan tahliil[1], serta pembacaan manaaqib (riwayat hidup) orang yang diperingati tersebut. Tentu acara tersebut baik sebab isinya adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan dzikir-dzikir, serta pembacaan manaaqib orang-orang salih. Tujuannya jelas diantaranya adalah mengingat kematian dan menauladani / napak tilas jejak para orang-orang salih terdahulu.
Namun sangat disayangkan, ada sekelompok orang yang menjelek-jelekkan acara tersebut dan menuduhnya sebagai bid’ah (sesuatu yang baru / diada-adakan), bahkan mencap bahwa orang-orang yang menghadirinya sebagai orang-orang yang sesat. Ini karena ketidak-tahuan mereka atau sok tahu meskipun pengetahuan mereka dangkal dalam masalah agama. Dan sulitlah untuk mencari titik temu dari mereka sebab pokok pangkal permasalahannya adalah perbedaan pendefinisian bid’ah antara kita dengan mereka.
Mereka mendefinisikan bid’ah sebagai segala sesuatu perbuatan yang tidak ada pada zaman Nabi. Sehingga dengan ini mereka memukul rata semua perbuatan / amal yang dilakukan yang tidak ada contohnya pada zaman Rasul sebagai bid’ah entah itu perbuatan baik atau buruk. Sehingga dengan ini banyak atau seringkali mereka menganggap sesat banyak orang. Namun lucunya, ketika mereka menghadapi alat-alat modern yang seharusnya mereka cap juga sebagai bid’ah. Mereka malah mengelak dan mengatakan itu bid’ah duniawiah. Kemudian mereka – tanpa dalil yang kuat atau tanpa pemahaman dalil yang benar – membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah amaliah dan duniawiah. Dalil yang mereka andalkan adalah: sabda Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – yang diriwayatkan oleh siti ‘Aisyah – semoga Allah meridhoinya – Nabi bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam persoalan kami (yakni syari’at Islam) yang tidak termasuk daripadanya maka ia tertolak.” (H.R Al-Bukhooriy dan Muslim). Sedangkan menurut riwayat Al-Imam Muslim redaksi haditsnya sebagai berikut:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Artinya: Barangsiapa beramal / melakukan sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan persoalan kami (yakni syari’at Islam) maka ia tertolak. (H.R Muslim)
Dan juga hadits yang sering didengang-dengungkan oleh mereka adalah:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Artinya: Hati-hatilahlah kalian daripada perkara yang diada-adakan sebab setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan. (H.R Abu Dawud)
Dalam riwayat lain ada tambahan:
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Artinya: “…dan setiap kesesatan itu di neraka.”
Adapun definisi bid’ah sebenarnya secara bahasa dalam kamus-kamus bahasa arab adalah: segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik dalam masalah agama ataupun selainnya (kamus Arab-Arab: Al-Mu’jamul Wasiith jilid 1 hal. 43). Sehingga segala sesuatu yang ada sekarang yang dahulu belum ada contohnya adalah bid’ah secara bahasa, seperti: kacamata, pengeras suara, perayaan maulid, isro’-mi’roj, dan semacamnya adalah bid’ah secara bahasa. Namun secara syari’at bid’ah adalah segala perbuatan yang diada-adakan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah atau bertentangan dengan syari’at Islam. Bid’ah dalam pengertian syari’at inilah yang dimaksud dengan sesat / dholaalah dan pelakunya diancam dengan neraka dalam hadits tersebut, bukan bid’ah dlam makna bahasa.
Dari mana kita mengambil definisi bid’ah secara syari’at tersebut? Jawabannya: dari hadits yang mereka pakai, yang telah kami sebutkan di atas itu, dan dari hadits Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – beliau bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
Artinya: “Barangsiapa mentradisikan membuat suat kebiasaan yang baik dalam Islam maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya taanpa dikurangi pahala mereka.”
Dalam riwayat lain kelajutan hadits ini adalah: “dan barangsiapa membiasakan suatu kebiasaan buruk maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya / mengamalkannya.”
Jika kita perhatikan dengan seksama hadits-hadits tersebut di atas, maka kesimpulan yang dapat di ambil adalah: bahwa yang tercela dalam redaksi hadits tersebut adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak sesuai dengan “persoalan kami” yang dimaksud persoalan kami di sini sudah jelas – dan ulama pun sudah sepakat – yakni agama Islam (Ad-Diinul Islaam), dan sumber Agama Islam pun sudah jelas dan disepakati yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka sesuatu yang diada-adakan dan ternyata tidak ada dalil pendukung atau bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka inilah yang dimaksud bid’ah dholaalah / sesat dalam hadits ke-tiga tersebut. Sedangkan sesuatu yang baik (standar sesuatu itu bisa dikatakan baik adalah) sesuai atau tidak bertentangan dengan Ad-Diinul Islam yakni ada dalil pendukungnya dan tidak ada larangannya dalam Al-Qur’an atau Al-Hadits terhadap sesuatu tersebut, maka sesuatu itu bukanlah bid’ah secara syari’at, yakni bukanlah bid’ah dholaalah / sesat, justeru hal itu adalah bid’ah hasanah / tradisi yang baik, yang mana orang yang mempeloporinya akan mendapatkan pahala sesuai dengan redaksi hadits ke 4 diatas.
Hadist-hadits tersebut diatas adalah sahih maka haruslah disatukan pemahamannya dengan mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’iy: “Hal-hal yang diada-adakan itu ada dua macam: yang pertama adalah sesuatu yang diada-adakan dan dan menyalahi Al-Qur’an dan As-Sunah (Al-Hadits) atau Atsar (fatwa atau perkataan sahabat yang dirujuk kepada sabda Nabi) atau Ijma’ (consensus / kesepakatan ulama), maka ini adalah bid’ah dholaalah / sesat; yang kedua apa-apa yang diada-adakan yang berupa kebaikan yang tidak menyalahi salah satu dari yang tersebut, maka ini adalah sesuatu yang tidak tercela.” [perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bayhaqiy dalam kita beliau Manaaqibusy Syaafi’iy jilid 1 halaman 469]
Sehingga kesimpulannya: bid’ah (sesuatu yang baru / diada-adakan itu) dapat dibedakan menjadi dua macam:
- bid’ah chasanah: yakni meliputi bid’ah wajib seperti pembukuan Al-Qur’an dalam satu muschaf, dan bid’ah yang sunnah seperti penulisan kitab-kitab dalam berbaga disiplin lmu agama seperti kita fiqih, tauhid, dsb;
- dan ada bid’ah dholaalah / sesat yakni meliputi bid’ah yang harom: seperti berbagai minuman yang memabukkan yang belum ada pada zaman Nabi, dan segala bentuk kemunkaran yang baru; dan juga bid’ah yang makruh, seperti menghias Al-Qur’an secara berlebihan, menghias masjid, dsb.
Dan bahkan ada bid’ah yang mubah / boleh-boleh saja seperti peralatan-peralatan canggih yang ditemukan pada abad-abad terakhir, seperti: pesawat terbang, kacamata, pengeras suara, dsb.
Kembali kepada persoalan peringatan haul, ia termasuk bid’ah hasanah, disebut bid’ah karena memang peringatan haul seperti yang kita kenal sekarang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat. Peringatan ini bau dikenal dengan bentuknya yang sekarang adalah sekitar awal abad 14 Hijriyyah atau abad 20 Masehi. Namun akar peringatan haul ini sudah ada sejak zaman Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – dan masa para sahabat beliau. Ini dibuktikan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thoyaalisiy, Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim yang mana Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiiq mengumpulkan orang-orang pada “ulang tahun” wafatnya Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – yang mana mereka di situ membaca surat Al-Baqoroh, Alu ‘Imroon, Al-Kahfi, Qoof, dan sebagian surat-surat lain dari Al-Qur’an Suci lalu menghadiahkan pahalanya kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau. Begitu juga Al-Imam Ali bin Abi Tholib – semoga Allah meridhoinya dan memuliakan wajahnya – mengumpulkan orang-orang untuk memperingati wafatnya Rasululloh dan di perkumpulan itu mereka membaca surat Thoohaa, Al-Kahfi, Al-Faatichah. Dan diriwayatkan pula bahwa Rasul – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – berziarah ke (makam para syuhada’ yang wafat di) Uhud setiap tahunnya.
Selain itu dipelaksanaan haul disebutkan tetang sifat-sifat ketauladanan yang baik dari shoochibul chaul (orang yang diperingati haulnya), sedangkan Rasul – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada beliau – bersabda :
اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ كُفُّوْا عِنْ مَسَاوِيْهِمْ (رواه أبو داود والترمذي والحاكم والبيهقي)
Artinya: Sebutlah kebaikan orang-orang yang telah wafat diantara kalian dan cegahlah dari menyebut kejelekakejelekan mereka. (H.R Abu Dawud, At-Tirmidziy, Al-Chaakim, Al-Bayhaaqiy).
Selain itu perngatan haul tidak diisi dengan ratapan / meratapi orrang-orang yang sudah meninggal yang dikenal dengan istilah نِيَاحَةٌ (niyaachah), yang mana hal itu dilarang dalam syari’at Islam. Namun acaraa haul tersebut di isi dengan acara-acara yang baik diantaranya adalah: kirim doa kepada arwah para pendahulu yang telah wafat khususnya arwah ulama yang diperingati haulnya, yakni dalam bentuk pembacaan surat Yaa-Siin, dan tahliil yang merupakan rangkaian dzikir dan salawat, selain itu juga diisi dengan pembacaan manaqib / biografi dari seorang ulama yang diperingati haulnya, dan juga diisi dengan wejangan-wejangan dari para ulama. Memang sebagian kelompok mengingkari hal tersebut, karena dianggapnya bahwa amal orang hidup tak akan sampai kepada orang yang sudah mati, dengan mengangkat hadits: “Jika mati seorang anak Adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara: sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang salih yang mendoakannya.” Padahal hadits itu sama sekali tidak bermakna bahwa amal orang yang hidup tak sampai kepada orang yang mati, hadits itu hanya berisi bahwa orang yang sudah mati terputus amalnya atau tak dapat beramal lagi, dan ini sudah jelas. Cukuplah perintah Syari’at untuk men-salati jenazah sebagai dalil sampainya doa orang yang salat tersebut kepada jenazah yang disalati, jika kita katakan tidak sampai maka berarti Syari’at menyuruh kita melakukan hal yang tak bermanfaat atau sia-sia, dan jelas hal itu tidak mungkin. Bukanlah di sini tempat berpanjang-pajang untuk membahas hal tersebut, dan cukuplah dalil tersebut diatas bagi orang yang sehat akal dan jernih hatinya.
[1] Tahliil pada asalnya secara bahasa adalah mengucapkan لا إله إلا الله namun dalam tradisi muslimiin di Indonesia khusunya tahliil adalah rangkaian dzikir-dzikir yang dimulai dengan pembacaan لا إله إلا الله dan diikuti dengan dzikir-dzikir lain yang mana urutan dan rangkaiannya berbeda untuk setiap daerah, namun biasanya terdiri dari tasbih (subchaanalloh), salawat kepada Nabi, selain kalimat tahliil (laa-ilaaha illallooh) itu sendiri, kemudian ditutup dengan doa yang intinya memohon agar dengan berkat bacaan-bacaan itu Allah menyelamatkan orang-orang yang telah wafat itu dari siksa kubur dan siksa neraka. Biasanya tahliil dibacakan dalam rangka kirim doa kepada seorang yang telah meninggal dunia, baik pada malam pertama kematiannya hingga malam ketiga atau hingga malam ketujuh, juga pada malam ke 40 atau ke 100 atau satu tahun / haul-nya, dsb. (penulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar