Total Tayangan Halaman

Jumat, 28 Maret 2014

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang menghindarkan diri dari akhlak orang-orang jahil

Setelah Al-Habib Abdulloh Al-Haddad menyuruh untuk bersifat tawadhu’ dan menjelaskan bahwa itu adalah akhlak orang-orang yang baik, dan menyuruh untuk meneladani mereka, beliau lalu memperingatkan kita agar kita tidak mengikuti akhlak orang-orang yang jahil, sombong, tertipu, dungu, dan berbangga diri, beliau berkata:
وَاحْذَرْ وَإِيَّاكَ مِنْ قَوْلِ الْجَهُوْلِ أَنَا * وَأَنْتَ دُوْنِيْ فِي فَضْلٍ وَفِيْ حَسَبِ 
Dan hati-hatilah terhadap perkataan orang-orang dungu / bodoh: “Saya adalah yang paling hebat dan engkau di bawah saya dalam hal keutamaan dan derajat.”
فَقَدْ تَأَخَّرَ أَقْوَامٌ وَمَا قَصَدُوْا * نَيْلَ الْمَكَارِمِ وَاسْتَغْنَوْا بِكَانَ أَبِيْ
Sebab terkadang suatu kaum mundur sedangkan mereka tidak bermaksud untuk memperoleh kemuliaan-kemuliaan dan mereka merasa cukup dengan (mengatakan): “Dahulu ayah saya begini dan begitu.”

Yakni jagalah dirimu daripada mengikuti orang-orang yang jahil, yakni dengan berkata: “Saya adalah seorang yang pandai Al-Qur’an, saya adalah orang alim, saya orang yang waro’ (hati-hati dalam masalah agama), saya ahli ibadah” dan semacamnya atau berkata: Siapakah yang lebih alim dariku? Siapa yang lebih pandai membaca Al-Qur’an dariku? Siapa yang lebih waro’? Siapa yang lebih rajin ibadahnyaa dariku? Saya Adalah fulan puteranya si Fulan sedangkan engkau hai Fulan dibawahku dalam hal ilmu atau kemuliaan atau kedermawanan atau dalam hal harta atau nasab / keturunan atau agama. Sebab banyak pula yang tertipu dengan hal ini yakni sebagian daripada orang-orang yang dungu. Dengan sebab itu merek terlambat atau tertinggal dari memperoleh kebaikan dan derajat yang tinggi, serta akhlak yang luhur. Mereka merasa cukup dengan kata-kata mereka: “Ayahku adalah Fulan bin Fulan.” Namun mereka tidak mengikuti orang-orang yang bak lagi salih dari para ayah dan kakeknya itu. Orang-orang itu tidak mengikuti pendahulunya dalam hal amal, akhlak, dan perilaku yang baik. Itu semua termasuk kebodohan yang sangat buruk, dan kedunguan yang keterlaluan, serta kesalahan yang amat jelas, kesombongan yang kuat serta sifat bangga diri dan tertipu oleh nafsunya. Oleh karenanya, menganggap diri suci adalah sebuah perbuatan tercela walaupun benar. Seandainya pun seseorang adalah orang yang paling bertaqwa, paling banyak beramal, paling banyak ibadahnya, kemudian dia sombong kepada manusia dan berbangga diri maka Allah akan menghapuskan ketaqwaannya dan membatalkan (pahala) ibadahnya. Lalu bagaimanakah dengan nasib orang jahil yang mencampur-adukkan antara kemaksiatan dengan ketaatan lalu dia menyombongkan diri dengan taqwa orang lain (yang bukan ketaqwaannya), yakni taqwa para ayah dan kakeknya. Dalam hadits Rasululloh SAW tersebut:
يَظْهَرُ قَوْمٌ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ يَقُوْلُوْنَ: مَنْ أَقْرَأُ مِنَّا مَنْ أَعْلَمُ مِنَّا مَنْ أَفْقَهُ مِنَّا ثُمَّ قَالَ ِلأَصْحَابِهِ هَلْ فِيْ أُولَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أُولَئِكَ مِنْكُمْ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ أُولَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ  
Artinya: “Akan muncul sekelompok kaum yang membaca Al-Qur’an yang mana mereka berkata: “Siapakah yang lebih pandai membaca Al-Qur’an dari saya” “Siapakah yang lebih alim dari saya?” “Siapakan yang lebih pandai dari saya?” Kemudian Rasululloh bersabda kepada para sahabatnya: “Apakah ada kebaikan pada diri mereka itu?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata: “Mereka itu dari golongan kalian, yakni dari ummat ini, mereka itulah bahan bakar api neraka.” 
Rasululloh SAW bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُوْنَ بِآبَآئِهِمُ الَّذِيْنَ مَاتُوْا. هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُوْنُنَّ أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنَ الْجُعَلِ الَّذِيْ يُدَهْدِهُ الْخَرْءَ بِأَنْفِهِ. إِنَّ اللهَ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّـيَّةَ الْجَاهِلِيَّةَ وَفَخْرَهَا بِاْلآبَاءِ. إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ. اَلنَّاسُ بَنُوْ آدَمَ. وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ
 Artinya: “Sungguh hendaknya berhenti sekelompok kaum yang berbangga dengan ayah-kakek mereka yang telah mati. Mereka (yakni kelompok kaum itu) adalah bahan bakar neraka jahannam atau sungguh dia lebih hina di sisi Allah daripada kepik (sejenis serangga) yang menjilat kotoran dengan hidungnya. Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaannya terhadap ayah-kakek mereka. Hanya saja seorang itu adalah seorang mu’min yang bertaqwa atau seorang ahli maksiat yang celaka. Manusia adalah anak-cucu Adam. Sedangkan Adam tercipta dari tanah.”

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang sifat tawadhu'

Sang Penggubah nazhom ini (Al-Habib Abdulloh Al-Haddad) berkata:
وَارْضَ التَّوَاضُعَ خُلْقٌ إِنَّهُ خُلُقُ الْـ * ـأَخْيَارِ فَاقْتَدْ بِهِمْ تَنْجُوْ مِنَ الْوَصَبِ 
Dan ridholah engkau bahwa sifat rendah hati (tawadhu’) mejadi akhlakmu. Sesungguhnya ia adalah akhlak para orang yang baik maka teladanilah mereka, pasti engkau akan selamat dari segala penyakit. 

Maksudnya: berakhlaklah engkau dengan sifat tawadhu’ dan menerima (keputusan Allah) dan bergembiralah dengan hal tersebut sebagai akhlakmu. Sebab itu merupakan akhlak orang-orang yang baik maka bertingkah-lakulah seperti mereka, dan berjalanlah diatas jalan mereka yang mulia lagi terpuji. Sebab dengan begitu engkau akan lolos dari penyakit hati. Tawadhu’ / rendah hati adalah menurunkan derajat diri kita dari derajat sebenarnya dan menghinakannya dengan ketundukan kepada kebenaran. Dikatkan pula: bahwa tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan akhlak yang bagus. Atau tawadhu’ adalah meninggalkan pembangkangan dan melepaskan diri dari kekuatan dan daya upaya sendiri. Atau tawadhu’ adalah merendahkan diri kepada Allah dan meninggalkan penghinaan terhadap hak Allah. atau tawadhu’ adalah menjaga perintah Allah dan meninggalkan dosa. Atau tawadhu’ adalah melihta kekurangan diri ditengah-tengah pujian (dari orang lain kepadanya). 
Rasululloh SAW bersabda:
مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ 
Artinya: “Tidaklah seorangpun merendahkan hatinya maka Allah akan mengangkat (derajat)-nya.” 
Beliau SAW juga bersabda:
طُوْبَى لِلْمُتَوَاضِعِيْنَ
Artinya: “Keberuntunganlah bagi orang-orang yang tawadhu’ / rendah hati.” 
Rasululloh SAW bersabda kepada para sahabat beliau:
مَالِيْ لاَ أَرَى عَلَيْكُمْ حَلاَوَةَ الْعِبَادَةِ؟ قَالُوْا: وَمَا حَلاَوَةُ الْعِبَادَةِ؟ قَالَ: التَّوَاضُعُ
Artinya: “Mengapakah aku tidak melihat pada diri kalian manisnya ibadah?” Mereka bertanya: “Apa manisnya ibadah itu?” Beliau menjawab: “Sifat tawadhu’ (rendah hati).” 
Diriwayatkan bahwa Umar RA keluar ke pasar dan di tangannya ada cambuk, dengan memakai kain sarung yang bertmabal 14 tambalan. Bahkan diriwayatkan bahwa dia membawa daging dengan tangannya yang kiri dan cambuk dengan tangannya yang kanan lalu dia berkeliling di pasar hingga dia masuk ke rumahnya. Dan diriwayatkan oleh Al-Junaid RA: “Seandainya tidak karena sabda Rasuululloh SAW: “Pada akhir zaman nati adalah pemimpin kaum orang yang terhina diantara mereka.”, maka aku tak akan berbicara / memberi nasihat kepada kalian.” Al-Hasan Al-Bashriy berkata: “Tidakkah kalian tahu apa tawadhu’ itu?” Tawadhu’ adalah engkau keluar dari rumahmu dan tidaklah engkau bertemu dengan seorang muslimpun kecuali engkau meyakini bahwa dia lebih mulia darimu.” Abu Yazid berkata: “Selama seorang hamba menduga bahwa diantara makhluk ini ada yang lebih jelek darinya maka dia adalah seorang yang sombong.” Lalu ditanyakanlah kepadanya: “Kapan seorang menjadi tawadhu’?” Dia berkata: “Jika dia tidak melihat pada dirinya bahwa dia menduduki sebuah kedudukan atau posisi.” Kesimpulannya adalah bahwa kepala, panutan, dan peminpin segala orang yang baik adalah Muhammad Rasululloh SAW. Sungguh beliau telah mmeberi makan hewan peliharaannya sendiri, beliau mengikat untanya sendiri, beliau menyapu rumahnya, memerah susu kambingnya sendiri, menambal sandalnya sendiri, menambal bajunya sendiri, makan bersama pelayannya, menumbuk tepung untik menolong pelayannya jika dia lelah, beliau membeli sesuatu dari pasar sendiri, dia tidak malu untuk membawa keperluannya dengan tangan kanannya atau dibawanya dengan ujung bajunya, beliau berjabat tangan dengan orang fakir, orang kaya, anak kecil, orang dewasa, dan tidak enggan untuk datang jika diundang, dan tidak pernah menghina orang yang mengundangnya, walaupun dia tidak mendapati hidangan apapun kecuali….amat mulia tabiat beliau, bagus pergaulannya, murah senyum wajahnya, rendah hati tanpa merendahkan dirinya, kemiskinan lebih dia sukai daripada kemudahan hidup. Inilah sekelumit daripada akhlak sebaik-baik makhluk. Maka teladanilah akhlak tersebut. Sebab beliau adalah makhluk yang paling mulia di dunia dan di akhirat, maka dengan itu mudah-mudahan Allah mengangkatmu, menyelamatkanmu, dan mensucikanmu (penyakit-penyakit hati).

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang menghindari sifat hasud / iri hati, 'ujub (bangga diri) dan sombong

Kemudian sang penggubah nazhom ini berkata:
وَنَزِّهِ الصَّدْرَ مِنْ غِشٍّ وَمِنْ حَسَدٍ * وَجَانِبِ الْكِبْرِ يَا مِسْكِيْنُ وَالْعُجُبِ
Dan bersihkanlah dadamu (yakni hatimu) dari dengki, dan dari iri hati, dan jauhilah sifat sombong wahai miskin (orang yang patut dikasihani) dan juga jahilah sifat ‘ujub (berbangga dengan amal baik). 

Yakni jagalah hatimu dari tidak adanya sikap murni kepada sesama muslim, dan dari berangan-angan agar nikmat hilang dari saudaramu sesama mu’min, jagalah dirimu dari itu semua dan daripada menampakkan sikap yang berlainan dari isi hatimu, dan menjauhlah dari sikap sewenang-wenang dan bangga terhadap diri sendiri dan tehadap amal perbuatan, sebab engkau adalah hamba yang lemah, hina lagi miskin, tidaklah pantas semua hal itu untukmu. Sebab kesombongan dan keagungan adalah termasuk sifat-sifat ketuhanan. Sedangkan engkau adalah salah satu dari para hamba Allah, tidaklah layak engkau bersifat dengan sifat tersebut. Adapun tipu menipu, dan iri adalah sifat-sifat setan, maka bersihkanlah dirimu dari hal-hal semacam itu. 
Al-Habib Abdulloh Al-Haddad dalam bait ini telah mengumpulkan perintah untuk menjauhkan diri dan memberishkannya dari penipuan, iri, sombong, dan bangga diri. Keempat akhlak ini termasuk dosa besar dan perbuatan keji yang dapat membinasakan. 
Diriwayatkan bahwa Rasululloh SAW ditanya tentang sebaik-baik manusia, maka beliau menjawab: yaitu orang yang bertaqwa hatinya, lagi bersih, yang tak ada pengkhianatan, maksud-maksud buruk, dengki, dan tidak pula iri.” 
Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW, beliau bersabda:
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ 
Artinya: “Tidaklah sempurna iman seseorang dari kalian hingga dia senang bagi saudaranya apa yang dia senangi untuk dirinya sendiri.” 
Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW, beliau bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ  إِنَّ الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ  إِنَّ الدِّيْنَ النَّصِيْحَةُ 
Artinya: “Sesungguhnya agama adalah kemurnian sikap, sesungguhnya agama adalah kemurnian sikap, sesungguhnya agama adalah kemurnian sikap.” 
Diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخَدِيْعَةُ وَالْخِيَانَةُ فِي النَّارِ  
Artinya: “Barangsiapa yang menipu kami (kaum mu’minin) maka dia bukanlah golongan kami, sedangkan maker, rekadaya, dan khianat adalah di dalam neraka tempatnya.” 
Adapun sifat hasud / iri maka itu merupakana musibah besar bagi agama seseorang. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang hasud membenci / tidak suka terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT dan telah ditentukan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya. Sedang Allah Maha Mengetahui. 
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Iri adalah salah satu pintu menuju hati yang mana setan masuk melaluinyakepada hati orang yang iri. Orang yang iri pada hakikatnya adalah menentang Allah SWT dalam keputusan-Nya dan ketentuan-Nya. Sebab dia menginginkan hilangnya nikmat yang telah Allah berikan kepada hambanya dan membenci pemebrian nikmat itu. Maka musibah apa yang lebih berasa daripada ketidak-senangan atas ketenangan orang muslim lain, padahal itu tidak membawa mudarat apapun pada dirinya. Itulah yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT:
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا... (آل عمران: 120)
Artinya: “Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kalian mendapat benccana, mereka bergembira karenanya…” (Q.S Aalu ‘Imroon: 120) 
Dan Allah pun berfirman dalam sebuah pernyataan pengingkaran terhadap orang yang hasud itu:
أَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ... (النساء: 54)
Artinya: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (yakni Nabi Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (Q.S An-Nisaa’: 54) Allah SWT juga memuji kepada suatu kaum karena mereka tidak memiliki sifat iri / hasud, firman-Nya:
...وَلاَ يَجِدوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوْا... (الحشر: 9) 
Artinya: “…Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin)...” (Q.S Al-Chasyr: 9) yakni tidak menjadi sempit dadanya dan tidak mengeluh karena itu. 
Rasululloh SAW bersabda:
اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
Artinya: “Sifat hasud / iri dapat memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan / membakar kayu bakar.” 
Rasululloh SAW juga bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا 
Artinya: “Janganlah kalian saling iri, janganlah kalian saling memutuskan hubungan, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling benci, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” 
Rasululloh SAW bersabda:
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الأُمَمِ مِنْ قَبْلِكُمْ اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ وَالْبَغْضَةُ هِيَ الْحَالِقَةُ لاَ أَقُوْلُ حَالِقَةُ الشَّعْرِ وَلَكِنْ حَالِقَةُ الدِّيْنِ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَتَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلَنْ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا أَفَلاَ أُنَبِّئُكَمْ بِمَا يُثْبِتُ ذَلِكَ لَكُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Artinya: “Telah merayap pada diri kalian penyakit ummat-ummat sebelum kalian yaitu: iri dan saling membenci. Adapun kebencian adalah seuatu yang dapat mencukur, aku tidak berkata: “Dia mencukur rambut,” akan tetapi mencukur / mengikis agama. Demi Dzat (Allah) Yang mana jiwaku berada dalam ‘tangan’-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akab beriman hingga kalian saling mencintai, Tidakkah kalian mau aku beritahu sesuatu yang dapat menetapkan hal itu (saling cinta) antara kalian. Tebarkanlah salam antara kalian.” 
Rasululloh SAW bersabda:
لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ ِلأَخِيْكَ فَيُعَافِيْهِ اللهُ وَيَبْتَلِيْكَ 
Artinya: “Janganlah engkau menampakkan kesenangan akan penderitaan saudaramu, sehingga Allah menyelamatkannya dan lalu Dia mengujimu.” 
Sebagian ulama berkata: “Orang yang iri tidak mendapat tempat di majlis-majlis kecuali cela dan kehinaan, dan tidak mendapat apa-apa dari malaikat kecuali laknat dan kebencian, dan tidak mendapat apa-apa dari makhluk kecuali keluh kesah dan kesumpekan, dan tidak mendapat apa-apa ketika sekarat kecuali kepedihan, dan dia tak mendapat apapun ketika berdiri di mahsyar kecuali rasa malu dan siksa.” 
Rasululloh SAW bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ يَنْجُوْ مَنْهُنَّ أَحَدٌ اَلظَّنُّ وَالطِّيَرَةُ وَالْحَسَدُ وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنِ الْمَخْرَجِ مِنْ ذَلِكَ إِذَا ظَنَنْتَ فَلاَ تُحَقِّقْ وَإِذَا تَطَيَّرْتَ فَامْضِ وإِذَا حَدَّثْتَ فَلاَ تَبْغِ 
Artinya: “Ada 3 hal yang mana tidak seorang pun selamat darinya, yaitu: sangka buruk, (percaya kepada) nasib sial, dan sifat hasud / iri. Dan aku akan beritahukan kepada kalian jalan keluar dari 3 hal itu: jika engkau berprasangka janganlah engkau ikuti, jka engkau mempercayai akan nasib sial maka teruslah jalan, dan jika engkau berbicara maka janganlah engkau iri.” Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Kemungkinan yang dimaksud jalan keluar dari sifat hasud adalah tidak mengerjakan sifat hasudnya [yakni tidak dia keluarkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan kepada orang yang dihasudinya], dan bahwasanya apa yang terjadi dalam tabiat manusia berupa rasa senang akan hilangnya nikmat dari orang yang dihasudi adalah ssesuatu yang dimaafkan selama dia tidak senang terhadap sikap / tabiatnya itu dengan akalnya dan agamanya.” Bagaimanapun keadaannya, sifat hasud adalah sesuatu yang amat sangat diharamkan, dan tidak terjadi kecuali karena keburuka jiwa / hati seseorang dan kebakhilan atau karena permusuhan atau saling benci atau sifat sombong atau merasa diri mulia atau karena sifat bangga diri atau cinta kedudukan, atau karena ketakutan akan hilangnya tujuan-tujuan yang dia sukai. Itulah sebab-sebab timbulnya sifat hasud, dan dasar-dasar yang menyebabkannya. Dan hasud ini merupakan salah satu hal yang dapat membinasakan seseorang dan mencelakakannya dan termasuk salah satu penyakit hati yang besar. Sebab sifat itu merupakan suatu pengingkaran akan pembagian Allah SWT dan keadilan-Nya yang Dia dirikan dalam kerajaan-Nya, serta menunjukkan ketidaksenangan terhadap keputusan Allah SWT. Ini merupakan tindakan pidana dalam kacamata tauhid, serta kotoran dalam pandangan keimanan. Lebih dari itu (jika engkau iri) engkau telah dengki kepada sesama muslim, dan engkau meninggalkan sifat kemurnian kepada mereka, engkau juga ikut serta iblis dalam menyukai kejelekan dan bencana untuk kaum mu’minin, dan engkau telah menyalahi para nabi Allah dan wali-Nya dalam hal cinta mereka kepada kebaikan untuk kaum muslimin. Adapun sifat ghibthoh (iri yang positif) adalah seseorang suka agar dirinya juga mendapat nikmat yang sama dengan orang yang dihasudinya [tanpa menginginkan hilangnya nimat tersebut dari orang itu], maka ini tidaklah haram. Bahkan dengan sifat ini dapat diambil hikmah-hikmah dari nikmat yang dihasudinya itu. Jika nikmat yang dihasudinya itu wajib maka hukum ghibthoh-nya menjadi wajib, jika sunnah, maka sunnah; jika makruh maka makruh; jika mubah maka mubah; jika haram maka haram. Adapun sifat takabbur, maka itu seperti yang dinyatakan oleh Al-Imam Al-Ghozzaliy yaitu: merasa dirinya besar dan melihat bahwa kedudukannya di atas orang lain. Itu merupakan akhlak batin, sedangkan buahnya adalah sifat takabbur yang nampak dalam tingkah lakunya. Sedangkan akhlak batinnya adalah kibr yakni kecenderungan untuk melihat dirinya diatas orang yang disombonginya. Adapun asal dari sifat kibr / sombong adalah sifat ‘ujub (bangga diri), sedangkan kibr adalah hasilnya, sedangkan takabbur (tingkah laku yang menunjukkan kesombongan) adalah buah dari sifat kibr. Maka kibr jika nampak pada anggota tubuh maka dinamakan takabbur, yakni seperti suka akan kemuliaan tempat di majlis-majlis, tidak mau menerima kebenaran, berapi-api jika memberi wejangan, tidak ada kelemah lembutan terhadap orang lain, dan mengungkit-ungkit kebaikannya serta suka memperbudak orang lain, dan menganggap orang lain seperti keledai karena memandang remeh. 
Allah berfirman tentang celaan terhadap orang yang sombong:
...إِنَّ  فِيْ صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَّا هُمْ بِبَالِغِيْهِ... (المؤمن: 56) 
Artinya: “…tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya. (Q.S Al-Mu’min: 56)” Dan Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ (المؤمن: 60)
Artinya: “…Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diridari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (Q.S Al-Mu’min: 60) 
Allah juga berfirman:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ... (الأعراف: 146) 
Artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…” (Q.S Al-A’rof: 146) 
Dikatakan dalam tafsir makna dari ayat tersebut adalah “Aku akan menghalangi hati-hati mereka dari alam malakut (alam ghaib).” Ada pula yang mengatakan maknanya: “Aku akan angkat pemahaman Al-Qur’an dari hati mereka.” Ada pula yang mengatakan maknanya adalah: “Aku akan palingkan merekka dari memikirkan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran-Ku.” 
Allah berfirman:
اَلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُوْنَ (الأنعام: 93)
Artinya: “…Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Q.S Al-An’am: 93) 
Bahaya sifat sombong adalah besar sekali dan menakutkan. Dan karenanya banyak dari para ulama dan orang-orang zuhud dan ahli ibadah lebih-lebih lagi orang awam. Penyakit sombong ini juga merupakan penghalang yang besar dari Allah SWT dan dari masuk surga-Nya. Bagaimana tidak, sedangkan orang yang memiliki penyakit sombong ini tidak dapat tawadhu’ / rendah hati yang mana itu merupakan pokok akhlak dari orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana akan datang keterangannya. Orang yang sombong itu pun tak dapat meninggalkan rasa amarah dan dengki serta iri. Orang yang mengidap penyakit sombong juga tidak dapat menerima nasihat, menahann amarah, da terus menerus berada dalam kesungguhan terhadap Allah dan kemurnian sesama orang mu’min. sedang itu semua adalah akhlak orang-orang mu’min dan pintu surga, dan semua akhlak itu di tinggalkan oleh orang-orang yang sombong. 
Oleh karena itu Rasululloh SAW bersabda:

 لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ وَلاَ يَدْخُلُ النَّارَ رَجُلٌ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِن إِيْمَانٍ 
Artinya: “Tidak masuk surga orang yang ada di hatinya sebesar zarrah (sesuatu yang terkecil) dari pada kibr / sifat sombong, dan tidak masuk neraka seorang yang di hatinya ada sebesar biji sawi dari keimanan.” 
Allah SWT berfirman:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ وَلاَ يَدْخُلُ النَّارَ رَجُلٌ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِن إِيْمَانٍ
Artinya: “Dikatakan (kepada mereka): “Masukilah pintu-pintu neraka jahannam itu sedang kalian kekal di dalamnya.” Maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (Q.S Az-Zumar: 72) 
Allah SWT juga berfirman:
...كذَلكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ (المؤمن: 35) 
Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S Al-Mu’min: 35)
Rasululloh SAW bersabda:
يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ذَرًّا فِيْ مِثْلِ صُوَرِ الرِّجَالِ يَعْلُوْهُمْ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الصِّغَارِ ثُمَّ يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ فِيْ وَادِيْ جَهَنَّمَ يُقَالُ لَهُ بُولَسُ تَعْلُوْهُمْ نَارُ الأَنْيَارِ يُسْقُوْنَ مِنْ طِيْنَةِ الْخَبَالِ وَعَصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ 
Artinya: “Orang-orang yang menyombongkan diri akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam seperti semut yang amat kecil dengan rupa semisal manusia yang mana segala sesuatu lebih tinggi darinya kemudian mereka digiring ke penjara di salah satu lembah di jahannam yang disebut ‘Buulas’ yang dipenuhi dengan api yang sangat bergejolak dan mereka diberi minum dengan minuman thiinatul khobal (lumpr yang membinasakan) dan perasan air daripada penduduk neraka.” 
Rasululloh SAW juga bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ وَالْعَظَمَةُ إِزَارِيْ فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِدا مِنْهُمَا أَلْقَيْتُهُ فِيْ جَهَنَّمَ
Artinya: “Allah SWT berfirman: “Kesombongan adalah pakaian-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku, maka barangsiapa yang merebut keduanya dari-Ku maka Aku akan lemparkan dia ke Jahannam.” 
Rasululloh SAW bersabda:
مَنْ تَعَظَّمَ فِيْ نَفْسِهِ وَاخْتَالَ فِيْ مَشْيِهِ لَقِيَ اللهُ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ 
Artinya: “Barangsiapa yang menganggap besar / agung dirinya dan sombong dalam gaya berjalannya maka dia akan bertemu dengan Allah SWt sedang Dia murka kepadanya.” 
Rasululloh SAW bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ يَتَبَخْتَرُ فِيْ بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ إِلاَّ خَسَفَ اللهُ تَعَالَى بِهِ الأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Sementara seorang laki-laki sedang melenggang (dengan sombong) dalam pakaiannya dan dia merasa bangga terhadap dirinya kecuali Allah akan menenggelamkannya di bumi, maka dia akan terbenam di dalam bumi hingga hari kiamat.” 
Termasuk penyakit orang yang sombong, dia suka jika orang-orang berdiri untuknya, dan suka berdirinya orang dihadapnnya. Termasuk penyakit sombong ini adalah dia tak suka mengunjungi orang (namun ingin dikunjungi), dan dia tidak mau orang lain duduk dekat-dekat dengannya. Termasuk penyakit sombong adalah dia tidak mau membawa barangnya ke rumahnya. Diantaranya juga ialah dia merasa berat / tidak senang jika kawannya dipuji, dan dia merasa berat untuk ke pasar untuk menunaikan hajat orang-orang miskin. Adapun ‘ujub / penyakit bangga diri maka ini termasuk hal-hal yang membinasakan dan merusak amal kebaikan. Maksud membanggakan diri adalah merasa banyak amalnya dan besarnya nikmat yang dia terima bersama itu dia lupa bahwa Allah-lah Yang mengaruniakan smua itu kepadanya tanpa ada usaha dan rekadaya dari dirinya serta tanpa dia pantas menerimanya. Orang yang membanggakan diri adalah dibenci di sisi Allah SWT, jauh dari segala kebaikan, seandainya bukan karena terputusnya dia dalam perbuatan baik maka pastilah ia menyangka bahwa dirinya telah cukup dari amal. Bagaimana tidak? Sedangkan ‘ujub adalah asal dari penyakit sombong serta mengundang penyakit itu dan dapat menyebabkan seseorang lupa akan dosanya dan menganggap kecil , dan dia tak berusaha memperbaiki diri dari dosa itu. Orang yang bersifat ‘ujub selalu mengungkit-ungkit amalnya terhadap Allah SWT dan kepada makhluk-Nya, dan dia menyangka bahwa dia berada di suatu posisi yang dekat dengan Allah serta dia merasa aman dari rekadaya / azab Allah.
...فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسْرُوْنَ (الأعراف: 99) 
Artinya: “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Q.S Al-A’roof: 99) 
Dikatakan pula bahwa sifat membanggakan diri adalah merasa banyak ketaatannya, dan mengaku sebagai orang yang kuat untuk melaksanakan ketaatan. Atau sifat ‘ujub adalah selalu mengingat-ingat amal baik dan melupakan dosa-dosa. Atau ‘ujub adalah buta dari melihat pertolongan Allah terhadap dirinya dan meninggalkan tuntutannya kepada jiwanya untuk bersungguh-sungguh. Atau ‘ujub adalah penghalang yang ada di hati yang menghalangi dari ‘melihat’ Tuhan / Allah. 
Allah berfirman:
....فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَهُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (النجم: 32) 
Artinya: “…;maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (Q.S An-Najm: 32) 
Rasululloh SAW bersabda:
ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
Artinya: “Ada 3 hal yang dapat membinasakan: sifat kikir keterlaluan yang ditaati,hawa nafsu yang diikuti, dan seorang yang membanggakan dirinya.” 
Rasululloh SAW juga bersabda:
لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَخَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ اَلْعُجْبُ
Artinya: “Seandainya kalian tidak berdosa sungguh aku khawatir atas kalian dengan sesuatu yang lebih besar daripada dosa itu yaitu sifat ‘ujub / bangga diri.” Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW:
لَوْ كَانَ رَجُلاً يُجَرُّ عَلَى وَجْهِهِ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ إِلَى يَوْمِ يَمُوْتُ هَرَمًا فِيْ مَرْضَاتِ اللهِ تَعَالَى لَحَقَرَهُ الْعُجْبُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Seandainya seseorang ditarik di atas wajahnya mulai dari hari dia dilahirkan hingga hari dimana dia mati dalam keadaan tua renta dalam ridho Allah SWT, pastilah dia akan dihinakan oleh sifat ‘ujub (yang pernah dia lakukan) pada hari kiamat.” 
Dalam riwayat lain:
وَلَوَدَّ أَنَّهُ رُدَّ إِلََى الدُّنِيَا كَيْمَا يَزْدَادُ مِنَ اْلأَجْرِ وَالثَّوَابِ 
Artinya: “dan pastilah dia sangat ingin untuk dikembalikan ke dunia supaya dia dapat menambah pahala dan ganjarannya.” Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِعَمَلٍ لَوْ وُضِعَ عَلَى جَبَلٍ َلأَثْقَلَهُ فَتُقَوَّمُ النِّعْمَةُ مِنْ نِعَمِ اللهِ تَعَالَى فَتَكَادُ تَسْتَنْفِدُ ذَلِكَ كُلَّهُ لَوْلاَ مَا يَتَفَضَّلُ بِهِ مِنْ رَحْمَتِهِ
Artinya: “Demi Dzat Yang mana jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seseorang pasti akan datang pada hari kiamat dengan membawa sebuah amalan yang mana seandainya amalan itu diletakkan di atas sebuah gunung pasti akan memberatkan gunung itu, lalu diukurlah dengan salah satu nikmat dari sekian banyak nikmat Allah, maka hampir-hampir nikmat itu menghabiskan seluruh amalannya, seandainya tidak karena rahmat / kasih sayang yang dikaruniakan Allah kepadanya.” 
Pernah ditanyakan kepada ‘Aisyah – semoga Allah meridhoinya - : “Kapakankah seorang menjadi seorang yang buruk (di ‘mata’ Allah)?” ‘Aisyah menjawab: “Jika dia telah menyangka bahwa dirinya adalah orang baik.” 
Rasululloh SAW bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يُنْجِيْهِ عَمَلُهُ قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحِمَتِهِ 
Artinya: “Tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat diselamatkan oleh amalnya.” Para sahabat bertanya: “Termasuk anda Ya Rasululloh?” Beliau bersabda: “Termasuk saya. Hanya saja Allah telah meliputi saya dengan rahmatnya.” Kita mohon kepada Allah agar Dia meliputi kita dengan rahmat / kasih sayang-Nya.

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang sifat terhormat dan menjauhi hal-hal yang melalaikan

Kemudian penggubah nazhom ini – semoga Allah memberi manfaat dengan berkahnya dan meridhoinya – berkata:
 وَكُنْ وَقُوْرًا خُشُوعًا غَيْرَ مُنْهَمِكٍ * فِي اللَّهْوِ وَالضَّحْكِ وَاْْلأَفْرَاحِ وَاللَّعِبِ 
artinya: Dan jadilah engkau orang yang terhormat / dermawan serta penuh ketenangan serta tidak tenggelam * dalam kelalaian, tertawa (berlebihan), kesenangan serta permainan (yang kesemuanya melalaikan dari Allah dan ibadah kepada-Nya).
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: ketahuilah bahwasanya tidak mungkin seseorang memperbaiki hatinya untuk menempuh jalan menuju kedekatan dengan Allah SWT selama dia tidak mencegah nafsunya dari tenggelam dan bebas dalam syahwat dan hal-hal yang membuat lupa diri. Sebab jika nafsu tidak dicegah dari sebagian hal-hal yang mubah maka (lama-kelamaan) dia akan berkeinginan untuk terjun kepada hal-hal yang dilarang. Adapun condong kepada kelalaian, permainan, bersenang-senang dengan kesenangan duniawi dan mengahbiskan umur dengan senda gurau dan hal-hal yang menyebabkan tertawa, adalah sebuah racun yang sangat berbahaya yang dapat menjalar di urat-urat, sehingga dapat mengusir rasa takut dan sedih dari hati seseorang, bahkan dapat mengusir ingat mati, ingat akan hal-hal yang dahsyat pada hari kiamat. Maka barangsiapa yang begitu sifatnya (yakni tenggelam dalam kelalaian yang tersebut), maka orang itu mati hatinya, dibenci di sisi Allah SWT, jauh dari segala kebaikan. Allah SWT berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُوْنَ قَالُوْا سَلاَمًا (الفرقان: 63)
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Q.S Al-Furqon: 63)
Rasululloh SAW bersabda:
 إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يُحِبُّ الْفَاحِشَ الْمُتَفَحِّشَ الصَّيَّاحَ فِي اْلأَسْوَاقِ 
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak suka orang yang keji dan menyebarkan kekejian, serta suka berteriak-teriak di pasar-pasar.”
Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمُؤْمِنَ صَمُوْتًا وَقُوْرًا فَادْنُوْا مِنْهُ فَإِنَّهُ يُلْقِي الْحِكْمَةَ 
Artinya: “Jika kalian melihat seorang mu’min diam (tak suka banyak bicara), dan tenang (atau terhormat dalam sikapnya), maka mendekatlah kepadanya sebab dia akan melontarkan kata-kata yang bijak.”
Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
إِنَّ الرَّجُلَ يَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ يُضْحِكُ بِهَا جَلِيْسَهُ يَهْوِيْ بِهَا أَبْعَدَ مِنَ الثُّرَيَّا 
Artinya: “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata-kata yang mana dengannya dia membuat tertawa kawan duduknya maka dia jatuh (atau celaka ke dalam api neraka) karena kata-kata itu lebih jauh dari bintang Tsuroyya.”
Diriwayatkan dari Nabi Isa – semoga salam tetap atasnya – bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang suka tertawa tanpa ada hal yang aneh, dan orang yang berjalan tanpa ada keperluan.” 
Sebagian ulama terdahulu berkata: “Barangsaiap dia tertwa sekali maka ia telah memuntahkan ilmunya sekali.” 
Umar bin Abdul Aziz – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan hati-hatilah kalian terhadap senda gurau, karena ia dapat menyebabkan permusuhan dan menarik kepada saling memutuskan hubungan. Berbicaralah kalian dengan Al-Qur’an, jika tidak maka dengan pembicaraan yang baik, dari perkataan orang-orang yang besar di mata Allah.” 
Dan telah dikatakan: “Tidaklah seorang hamba diberi pakaian yang lebih baik dari sikap khusyu’ / ketenangan. Sebab itu adalah pakaian para nabi terutama para shiddiqin (orang-orang yang sangat tinggi kualitas keimanannya).” 
Wuhaib bin Al-Ward melihat kepada sekelompok orang-orang yang sedang tertawa di tengah-tengah hari ‘Idul Fithri, maka ia pun berkata: “Jika mereka telah di ampuni oleh Allah maka bukanlah seperti itu tingkah laku orang-orang yang bersyukur, namun jika mereka belum diampuni maka bukanlah seperti itu tingkah laku orang yang takut.” 
Ibnu Abbas – semoga Allah meridhoi mereka berdua – berkata: “Barangsiapa yang berdosa sedang dia tertawa, dia akan masuk ke dalam neraka dalam keadaan menangis.” 
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Bersenda gurau yang dilarang adalah bersenda gurau yang terus menerus dan keterlaluan / melampaui batas. Adapun terus menerus bercanda dilarang karena itu termasuk menyibukkan diri dalam permainan dan hal-hal yang tak berguna. Sedangkan permainan dan hal-hal yang tidak berguan walaupun hukumnya mubah / boleh, akan tetapi terus-menerus melakukananya adalah tercela, dan keterlaluan di dalamnya dapat menyebabkan dendam / permusuhan dalam suatu kondisi, dan dapat pula mengugurkan wibawa. Maka selama tidak mengundang hal-hal yang buruk di atas maka senda gurau tidaklah tercela.” 
Diriwayatkan dari Nabi SAW:
 إِنِّي أَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا 
Artinya: “Sesungguhnya aku juga bersenda gurau namun aku tidak berkata kecuali kebenaran.” 
Adapun tertawanya Rasululloh SAW adalah tersenyum, dan begitulah semua para sahabat Rasululloh SAW dan semiga Allah meridhoi mereka semua, mereka bersenda gurau namun mereka tidak berkata kecuali kebenaran. Mereka mencukupkan senda gurau di beberapa waktu saja dan tanpa menyakiti perasaan hati orang lain, serta tidak berlebihan, begitu juga para ulama’. Akan tetapi termasuk kesalahan, seseorang menjadikan tertawa sebagai kebiasaannya dan berlebihan dalam hal itu, tanpa disertai dengan ilmu dan pengetahuan, lalu ia berkata: “Hal ini telah dilakukan oleh Fulan dan Fulan dan dilakukan oleh Nabi serta para sahabat beliau.” 
Adapun para sahabat, mereka itu seluruh waktunya digunakan untuk ibadah dan taat, dan bersungguh-sungguh, lalu mereka terkadang menghibur diri mereka terkadang dengan senda gurau dan mereka lakukan hal itu untuk mengurai kejemuan hati para sahabat mereka dan tema-teman duduk mereka, serta untuk menghibur hati mereka, namun bersama dengan itu mereka menjaga sikap saling menhormati / kewibawaan dan ketenangan. Tambah lagi, kebanyakan senda gurau yang diriwayatkan dari Rasululloh SAW adalah beliau lakukan terhadap para wanita dan anak-anak kecil. Begitu pula para ulama yang mendalam ilmunya yang menyeru kepada Allah, senda gurau mereka dan tertawa mereka adalah sikap mereka untuk turun dari level mereka kepada level / tingkatan orang awam, dan sebagai bentuk kelunakan akhlak mereka dan hal itu baik untuk mereka, namun buruk bagi para pemula. Dan tak ada yang dapat berdiri dalam sikap ini secara adil kecuali orang yang telah memaksa / menundukkan nafsunya dan mengendalikannya dengan ilmu. Kesimpulannya bahwa mengetahui bagaimanakah senda gurau yang tidak terlalu berlebihan adalah kemampuan orang yang telah kokoh dan mendalam ilmunya. Namun sebagaimana telah diketahui bahwa wajah yang berseri-seri termasuk akhlak orang-orang muslim yang salih, mak hendaklah itu jangan hilang dari dirimu. 
Tersebut dalam hadits: 
إِنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ 
Artinya: “Sesungguhnya termasuk kebaikan adalah engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri-seri / murah senyum.”

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang menjaga lisan

Sang Penggubah nazhom ini – semoga Allah meridhoinya dan memberi kita manfaat dengan berkatnya – mengatakan:
وَاحْفَظْ لِسَانَكَ مِنْ طَعْنٍ عَلَى أَحَدٍ * مِنَ الْعِبَادِ وَمِنْ نَقْلٍ وَمِنْ كَذِبِ 
artinya: Dan jagalah lidahmu dari mencela seseorang * dari hamba-hamba (Allah) dan dari memindahkan (omongan, yakni namimah / mengadu domba) dan dari dusta / bohong.
Yakni peliharalah dan jagalah sehingga terhindar dari jatuhnya ia dalam membicarkan aib salah seorang dari hamba-hamba Allah, dan dari memindahkan perkataan tentang aib orang tersebut atau memindahka perkataan darinya kepada orang lain. Dan jaglah pula dari dusta yakni mengkabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Adapun makna ‘mencela seorang muslim’ yakni yaitu mengadu domba mereka (namiimah) dan membicarkan aib mereka (ghiibah). 
Al-Habib Abdulloh Al-Haddad sendiri berkata: “Batasan ghibah secara syari’at adalah engkau menyebut-nyebut saudaramu sesama muslim dibelakangnya (ketika ia tidak di hadapnmu) dengan sesuatu yang dia benci seandainya ia mendengarnya, baik itu berupa: kekurangannya dalam hal beragama, atau pada badannya, atau pada keluarganya, atau anaknya, bahakan walaupun tentang gayanya berjalan, ataau pakaiannya dan segala yang berkaitan dengan dirinya, begitu juga engkau menulis apa yang dia benci, dan engkau memberi isyarat kepadanya dengan tangan (dengan maksud menghina). Sedangkan batasan namiimah adalah meemindahkan perkataan dari seseorang kepada orang lain dengan maksud meruak hubungan tau memfitnah. Kesimpulannya, bahaya lidah adalah sangat besar sekali, dan urusannya sangat mengerikan, dan menjaga lisan adalah sangat penting sekali. Sebab lisan adalah anggota tubuh yang paling dominant dan paling kuat untuk mengarahkan seseorang kedalam kebinasan, jika dia tidak menjaganya dari segala yang diharamkan oleh Allah atasnya.” (Sabda Nabi SAW:) 
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ ألْسِنَتِهِمْ 
Artinya: “Dan bukankah manusia ditelungkupkan diatas wajah mereka dalam api neraka hanya karena menuai hasil / keburukan lisan mereka.” Sedangkan lisan itu kecil bentuknya namun besar ketaatan dan dosanya, dan tak ada yang dapat menyelamatkan seseorang dari bahaya lisan kecuali diam, dan tidak berbicara kecuali dengan kebaikan atau dengan sesuatu yang menolong kepada kebaikan. 
Allah SWT berfirman:
لَاخَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ..... (النساء: 114) 
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia….” (Q.S An-Nisaa’: 114) 
Dan Allah SWT juga berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18) 
Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas (roqiib) yang selalu hadir ('atiid).” (Q.S Qoof: 18) 
Dririwayatkan ‘Uqbah bin ‘Aamir RA, ia berkata: “Aku berkata: “Ya Rasulalloh, apakah keselamatan itu?” Beliau bersabda:
 أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ 
Artinya: “Peliharalah atas dirimu lisanmu, dan hendaknya engkau merasa cukup dengan rumahmu (yakni jagalah dosa dengan cara berdiam di rumah), dan menangislah atas dosa-dosamu.”
 مَنْ وُقِيَ شَرُّ قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبِِهِ وَلَقْلَقِهِ وُقِيَ الشَّرُّ كُلُّهُ 
Artinya: “Barangsiapa yang dijaga dari kejelekan perutnya, kemaluannya, dan lisannya, maka dia telah dijaga dari semua kejelekan.” Sebab syhawat yang tiga itu sering membinasakan manusia. 
Ibnu Abbas – semoga Allah meridhoi keduanya – telah berkata: “Ada lima hal yang lebih berharga daripada uang yang diwakafkan di jalan Allah, diantaranya adalah: janganlah engkau berbicara dengan sesuatu yang tidak ada gunanya bagimu, sebab itu adalah suatu pemborosan, dan jangalah engkau merasa aman dari dosa, dan jangalah engkau berbicara tentang sesuatu yang berguna bagimu hingga engkau mendapati tempat yang cocok untuknya, sebab terkadang orang berbicara dengan sesuatu yang bermanfaat namun ia meletakkannya di bukan pada tempatnya sehingga ia pun menjadi sengsara.” 
Ibrohim At-Taymiy berkata: “Seorang mukmin, jika ia hendak berbicara maka ia melihat apakah ada kebaikan jika ia bicara, ketika ia lihat kebaikan maka ia pun berbicara dan jika tidak maka ia diam. Sedangkan orang yang ahli maksiat mengumbar lisannya begitu saja.” Amr bin Dinar berkata: “Seseorang berbicara di dekat Nabi SAW lalu orang itu pun banyak bicaranya, maka beliau pun bersabda kepadanya: “Berapa pintu yang menutup mulutmu?” orang itu menjawab: “Dua bibirku dan gigi-gigiku.” Rasul bersabda: “Tidakkah itu dapat mencegah pembicaraanmu.” 
Di antara penyakit / bahaya lisan: perdebatan (miroo’) dan perbantahan (jidaal). Diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda:
 مَا ضَلَّ قَوْمٌ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ 
Artinya: “Tidaklah tersesat sebuah kaum pun kecuali karena mereka diberikan kemampuan untuk berdebat.” Beliau juga bersabda:
 لاَ يَسْتَكْمِلُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يَدَعَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا 
Artinya: “Tidak ada seorang hambapun yang dapat menyempurnakan hakikat keimanan hingga dia meninggalkan berdebar walaupun dia benar.” 
Al-Imam Al-Ghozzaliy berkata: “Yang dimaksud dengan perdebatan di sini adalah menyanggah perkataan orang lain dengan menunjukkan cela / kesalahan dalam perkataan itu baik dari segi lafaz atau makna atau dalam kesalahan maksud si pembicara, baik dari segi susunan perkataan, atau tatabahasa, atau bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan perbantahan adalah mengalahkan atau melemahkan orang lain serta menghinakannya dan menjatuhkannya dengan mengkritik perkataannya. Baik perdebatan maupun perbantahan merupakan maksiat yang amat buruk. Sebab mengganggu / menyakiti perasaan kaum muslim sangatlah haram. Sebab telah datang ancaman yang berat tentangnya. Dan tak ada keselamatan dari itu kecuali dengan diam dari segala perkataan yang tidak berdosa jika kita diam darinya.” 
Termasuk penyakit / bahaya lisan adalah pertengkaran. Rasululloh SAW bersabda: 
مَنْ جَادَلَ فِي خُصُوْمَةٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سُخْطِ اللهِ تَعَالَى حَتَّى يَنْـَزعَ 
Artinya: “Barangsiapa yang berbantah-bantahan dalam suatu pertengkaran tanpa ada ilmu maka dia senantiasa dalam kemurkaan Allah Yang Maha Tinggi hingga dia mencabutnya / meninggalkannya.” 
Tidak ada seorang pun dari orang yang waro’ / hati-hati dalam masalah agama yang bertengkar dengan orang lain. Seandainya tidak ada akibat apapun dalam pertengkaran kecuali dapat membangkitkan kejengkelan dan amarah serta mengeruhkan perasaan, maka cukuplah itu (sebagai akibat yang buruk). Pertengkaran adalah asal dari segala kejelekan dalam masalah agama dan dunia. Bagaimana tidak, sedangkan orang-orang yang suka beertengkar, berdebat, dan berbantah-bantahan kehilangan pahala yang besar yang diberikan kepada orang yang berkata-kata baik, dalam Firman-Nya: 
 ...وَقُوْلٌوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا.... (البقرة: 83) 
Artinya: “…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…” (Q.S Al-Baqoroh: 83) 
Dan sabda Rasululloh SAW: 
اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ 
Artinya: “Kata-kata yang baik adalah sedekah.” 
Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits yang lain:
 يُمْكِنُكُمْ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ طِيْبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ 
Artinya: “Yang dapat memasukkanmu ke surga (di antaranya) perkataan yang baik, dan memberi makan kepada orang lain.” Di antara bahaya / penyakit lidah yang buruk adalah melaknat, mencela dan berdoa buruk kepada orang lain, walaupun kepada hewan sekalipun. 
Diriwayatkan dari Nabi SAW:
 اَلْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِلَعَّانٍ 
Artinya: “Orang mukmin bukanlah seorang yang suka melaknat.” 
Diriwayatkan juga dari Nabi SAW: 
 اَلْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ 
Artinya: “Dua orang yang saling mencela adalah seperti dua setan yang saling mencaci-maki.”
 مَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ مِثْلُ أَنْ يَقْتُلَهُ 
Artinya: “Barangsiapa yang melaknat orang mukmin maka dia seperti membunuhnya.” Dan di antara penyakit lisan adalah banyak bercanda / bersenda gurau, dan terlalu sering serta berlebihan di dalam hal tersebut, dan terlalu banyak tertawa. Tentang masalah ini akn di jelaskan secara tersendiri setelah ini. Di antara penyakit lisan adalah menyebarkan rahasia, mengejek, dan menghina orang lain. Allah SWT berfirman:
 ... لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُوْنُوْا خَيْرًا مِنْهُمْ، وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنّ ... (الحجرات: 11) 
Artinya: “…janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebik baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan)…” (Q.S Al-Chujuroot: 11) 
Diriwayatkan dari Nabi SAW:
 إِنَّ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ بِالنَّاسِ يُفْتَحُ ِلأَحَدِهِمْ بَابُ الْجَنَّةِ فَيُقَالُ: هَلُمَّ هَلُمَّ فَيَجِيْءُ بِكَرْبِهِ وَغَمِّهِ فَإِذَا جَاءَ أُغْلِقَ دُوْنَهُ 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengolok-olok orang lain kelak akan dibukakan bagi mereka pintu surga lalu dikatakan kepada mereka: “Marilah, marilah kemari.” Lalu datanglah orang itu dengan segala kesumpekannya dan kegelisahannya, namun ketika ia telah sampai dekat pintu surga itu, lalu tiba-tiba ditutuplah pintu itu tanpa dia bisa memasukinya.” 
Dikatakan oleh Al-Hasan bahwa termasuk khianat adalah engkau membicarakan rahasia saudaramu. 
Dan termasuk penyakit lisan adalah memuji, adapun mencela maka masuk di dalamnya ghibah dan namiimah, dan nanti akan kita bicarakan tentang keduanya itu insyaa Allah. diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
 إِذَا مَدَحْتَ أَخَاكَ فِي وَجْهِهِ فَكَأَنَّمَا أَمْرَرْتَ الْمُوْسَى عَلَى حَلَقِهِ 
Artinya: “Jika engkau memuji saudaramu di depan mukanya maka seolah-olah engkau melewatkan pisau di atas lehernya.” Rasululloh SAW mengatakan kepada orang yang memuji seseorang:
 عَقَرْتَ الرَّجُلَ عَقَرَكَ اللهُ 
Artinya: “Engkau telah menggorok (leher) orang itu, semoga Allah menggorokmu.” 
Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
 اُحْثُوْا فِيْ وُجُوْهِ الْمَدَّاحِيْنَ التُّرَابَ 
Artinya: “Lemparkanlah pasir di muka / wajah orang yang suka memuji.” Dan di antara penyakit lisan adalah ghibah (membicarakan aib orang lain). Allah SWT berfirman: 
 ... وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ... (الحجرات: 12) 
Artinya: “…dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik…” (Q.S Al-Chujuroot: 12) 
Allah SWT juga berfirman: 
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (الهمزة: 1) 
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (Q.S Al-Humazah: 1) 
Mujahid berkata: “yang dimaksud pengumpat adalah orang yang suka mencacat orang, sedangkan yang dimaksud dengan pencela adalah orang yang suka memkana daging manusia (yakni membicarakan aibnya).” Rasululloh SAW bersabda:
 إِيَّاكُمْ وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّ اْلغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا 
Artinya: “Hati-hatilah kalian terhadap ghibah, karena sesunguhnya ghibah lebih parah dari zina.” Diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظْفَارِهِمْ فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ 
artinya: Pada malam aku di-isro’-kan aku melewati sebuah kaum yang mencakari muka merekaa sendiri dengan kuku-kuku mereka, maka aku pun bertanya: “Ya Jibril, siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: “Mereka itu ialah orang-orang yang suka membicarakan kejelekan orang lain dan menghancurkan kehormatan / nama baik orang lain.” Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
 يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لاَ تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَبَّعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَتَهُ يَفْضَحَهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ 
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum beriman dengan hatinya, janganlah kalian saling ghibah sesama muslim, dan janganlah kalian korek-korek kesalahan / aib mereka. Sebab barangsiapa yang mengorek-ngorek kesalahan / aib saudaranya maka Allah akan mengorek-ngorek aibnya. Dan barangsiapa orang yang dikorek aibnya oleh Allah maka Allah akan membuatnya malu walau dia berada di dalam rumahnya.” Diriwayatkan pula:
 مَا النَّارُ فِي الْيَبِيْسِ بِأَسْرَعَ مِنَ الْغِيْبَةِ فِي حَسَنَاتِ الْعَبْدِ 
Artinya: “Cepatnya api dalam membakar dedaunan kering tidaklah lebih cepat dari pada ghibah membakar / menghabiskan amal kebaikan seorang hamba.” Al-Hasan – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Demi Allah, sungguh ghibah lebih cepat merusak agama seorang mukmin dari pada hewan yang memakan jasadanya.” Termasuk contoh ghibah adalah engkau mengatakan: “Si fulan buta, atau hitam atau hina atau tukang sampah atau bakhil / pelit atau lemah atau tukang bohong atau mengentengkan salat atau meremehkan zakat atau tidak tepat ruku’nya atau kurang sopa atau banyak bicara atau banyak tidur atau luas lengan bajunya atau kotor bajunya.” Dan Al-Imam Al-Ghozzaliy telah menukil kesepakatan para ulama umat ini bahwa orang yang menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu yang dibenci oleh orang itu maka ia telah berbuat ghibah, walaupun yang disebut itu merupakan kebenaran. Sebab telah datang riwayat dari Rasululloh SAW bahwa beliau bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ 
Artinya: “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.” Seorang bertanya: “Bagaimanakah jika apa yang saya sebuat tentang sudara saya itu benar adanya?” Beliau bersabda: “Jika benar hal itu ada padanya maka engkau telah ghibah (membiacarkan kejelekannya), dan jika hal yang kau sebut itu tak ada padanya maka engkau telah berbohong atas dirinya / memfitnahnya.” 
Ghibah disebut dengan tiga nama: ghibah, buhtan, dan ifk, dan semuanya itu terdapat dalam Kitabulloh. Adapun ghibah adalah engkau menyebut-nyebut apa yang ada padanya, sedangkan buhtan (fitnah) adalah engkau menyebut-nyebut sesuatu yang tidak ada padanya, sedang ifk adalah engkau mengatakan apa saja yang sampai padamu (tanpa memikirkan apakah itu benar atau dusta). 
Hujjataul Islam berkata: “Termasuk ghibah yang keji adalah perkataan seseorang: “Semoga Allah memperbaiki si Fulan, dahulu dia berbuat baik kemudian dia meninggalkannya” atau perkataan yang semacam itu, seperti perkataannya: “Si Fulan diberi cobaan (dengan terjerumus kepada kemaksiatan) sebagaimana kita telah diberi cobaan, semoga Allah menerima taubat kita dan taubatnya” namun dia ucapkan itu bukan dengan maksud mendoakan (namun mengejek). Ketahuilah sesungguhnya orang yang mendengarkkan ghibah dan diam atas ghibah itu, adalah sama dosanya dengan orang yang melakukan ghibah itu sendiri, jika dia ridho dengan ghibah-nya itu. Dan wajib bagi orang tersebut untuk mengingkari perbuatan ghibah itu dengan lisannya. Jika dia tidak bisa, maka hendaknya dia wajib meninggalkan tempat itu, jika tidak mampu maka hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan tidak boleh sama sekali ridho dengan ghibah secara mutlak. Dan tidak cukup untuk mengugurkan dirinya dari dosa hanya dengan dia berkata: “Diamlah” sedangkan dia ridho / senang dengan ghibah itu, sebab itu adalah sebuah kemunafikan, dan tidak cukup pula jika ia hanya memberi isyarat dengan tangan atau alis atau dengan mengerutkan dahi untuk melarang ghibah tersebut. Tetapi haruslah ia melarang secara tegas dan jelas. Haram ghibah kecuali dalam enam perkara, yang di nazhomkan oleh sebagian ulama dalam perkataannya:
 لَقَبٌ وَمُسْتَفْتٍ وَفِسْقٌ ظَاهِرُ * وَالظُّلْمُ تَحْذِيْرٌ مُزِيْلُ مُنْكَرٍ 
Maknanya: 
1. Laqobun (julukan), yakni jika orang yang dimaksud tidak di kenal kecuali jika disebut julukannya, misalnya: Fulan si pincang itu. 
2. Mustaftin (orang yang meminta fatwa), umpamanya dia ajukan masalahnya yang terkait dengan seseorang dan untuk meminta fatwa itu ia diperlukan untuk menyebut perbuatan buruk orang yang dimaksud.
3. Fisqun zhoohiru (kefasikan yang nyata), yakni jika seseorang sudah terkenal fasik / suka berbuat maksiat, misalnya: si fulan teah terkenal suka mabuk-mabukan, maka tidak berdosa jika seseorang menyebut tentag sifatnya itu, sebab tanpa disebut pun orang sudah mengetahui sifat buruknya itu. 
4. Azh-zhulmu (kezaliman) yakni seseorang dizalimi oleh orang lain, maka untuk melaporkan kezaliman orang tersebut maka ia diizinkan untuk menyebut nama orang yang menzaliminya dan menceriterakan tentang kezalimannya. 
5. Tachdziirun (memberi peringatan), misalnya: ada seseorang yang suka menipu dalam berdagang, maka ada satu orang lain ingin berbisnis denganorang tersebut, lalu kita memperingatkannya bahwa orang yang dimaksud itu suka menipu, tujuan kita agar saudara kita tadi tidak tertipu oleh orang yang dimaksud, maka ini bukanlah ghibah yang diharamkan. 
6. Muziilu munkarin (untuk menghilangkan kemunkaran). 
 Maka hendaklah kita berhati-hati dalam masalah ini. sebab dosa ghibah amatlah besar dan siksanya amatlah pedih. Maka wajiblah untuk bertaubat dari ghibah dengan menyesal, meninggalkan perbuatan itu, dan bertekad untuk tidak kembali lagi kepada perbuatan tersebut,dan meminta keridhoan orang yang pernah dia bicarakan aibnya. Sebab dosa ghibah termasuk kezaliman terhadap sesame hamba Allah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Rasululloh SAW, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ ِلأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فِيْ عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَلْيَتَحَلَّلْهَا مِنْهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَيْسَ هُنَاكَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ يُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَزِيْدَتْ عَلَى سَيِّئَاتِهِ 
Artinya: “Barangsiapa yang masih memiliki dosa perbuatan zalim kepada saudaranya baik dalam hal kehormatannya maupun hartanya maka hendaklah dia meminta keridhoan saudara itu sebelum datang suatu hari yang mana pada hari itu tidak berlaku lagi dinar dan dirham. Maka diambillah amal kebaikannya (sebagai bayaran kepada suadara yang dizaliminya itu), dan jika ia tidak memiliki amal kebaikan maka akan diambil dari kejelekan / dosa saudara yang dizalimi itu dan akan ditambahkan itu kepada dosa orang yang menzaliminya.” Dan hendaknya bagi orang yang dimintai kerelaan oleh saudaranya hendaklah ia merelakannya dan memaafkannya. Al-Hasan – semoga Allah merahmatinya – berakata: “Jika rapa ummat telah berlutut di atas lututnya di hadapan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung pada hari kiamat nanti maka dipangillah: “Hendaklah bangun orang-orang yang pahalanya di sisi Allah. maka tidaklah bangun kecuali orang-orang yang memaafkan kezaliman orang lain terhadapnya.” 
Termasuk penyakit / bahaya lisan adalah: namiimah (mengadu domba), merusak hubungan antara satu orang dengan yang lain, dan perkataan orang yang musafik. Para ulama salaf mengatakan bawa namiimah adalah memindahkan omongan antara satu orang dengan orang lain dengan maksud merusak dan menimbulkan fitnah, seperti misalnya seseorang berkata kepadamu: “Si fulan membicarakanmu begibi dan begitu” sedang dia membicarakan sesuatu yang mana seseorang tidak senang jika hal tersebut disingkap kepada orang lain, walaupun dengan isyarat, lambang ataupun tulisan. Jika kesalaha orang tesebut dia adukan kepada seorang yang memiliki kekuasaan, bukan dengan maksud mencegah kemunkaran, namun agar orang yang dimaksud mendapat celaka atau semacanya, maka ini disebut si’aayah. Dan jika ia memindahkan omongan dari kedua belah pihak atau lebih maka orang itu disebut dzuu lisaanain (yang memiliki dua lidah). Hal ini lebih buruk dari adu domba (namiimah). Sebab seorang bisa disebut tukang adu domba hanya dengan memindahkan omongan dari salah satu pihak saja, sedangkan dalam hal ini orang yang memiliki dua lidah (munafik) memindahkan omongan dari dua belah pihak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. عُتُلٍّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ.(القلم: 10 – 13) 
Artinya: “Dan janganlah kamu ikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (Q.S Al-Qolam: 10 – 13) Yang dimaksud dengan zaniim (yang terkenal kejahatannya) adalah anak angkat. Sedangkan Abdulloh bin Al-Mubarok berkesimpulan tentang ayat ini bahwa orang yang suka mengadu domba tidak ada kecuali dari anak zina dan itulah yang dimaksud anak angkat. Rasululloh SAW bersabda:
شِرَارُ عِبَادِ اللهِ الْمَشَّاؤُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ 
Artinya: “Paling buruknya hamba Allah adalah orang yang selalu berjalan untuk mengadu domba, yang suka memisahkan antara orang-orang yang saling berkasih sayang.” 
Rasul SAW juga bersabda:
إِنَّ النَّمِيْمَةَ وَالْحِقْدَ فِي النَّارِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِيْ قَلْبِ مُسْلِمٍ 
Artinya: “Sesungguhnya namiimah dan dengki temaptnya adalah di api neraka, dan kedua sifat itu tidak akan berkumpul dalam hati seorang muslim.” 
Rasululloh SAW juga bersabda:
لَيْسَ مِنِّيْ ذُوْ حَسَدٍ وَلاَ نَمِيْمَةٍ وَلاَ كَهَانَةٍ وَلاَ أَنَا مِنْهُ ثُمَّ تَلاَ:
Artinya: “Bukanlah termasuk golonganku orang yang memiliki sifat hasud, adu domba, dukun, dan aku pun bukan bagian dari mereka”, kemudian beliau membaca ayat ini:
وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا (الأحزاب: 58) 
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S Al-Achzaab: 58) 
Rasululloh SAW juga bersabda:
مَنْ أَشَاعَ عَلىَ مُسْلِمٍ كَلِمَةً لِيُشِيْنَهُ بِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ أَشَانَهُ اللهُ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 
Artinya: “Barangsiapa yang menyebarkan atas seorang muslim sebuah kata-kata yang menjelekkan orang muslim tersebut tanpa ada alasan yang benar maka Allah akan menjelekkan orang itu di dalam api neraka pada hari kiamat.” Dalam riwayat lain:
كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ تَعَالَى أَنْ يُذِيْـبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي النَّارِ 
Artinya: “Maka sudah menjadi hak Allah SWT untuk melelehkannya pada hari kiamat di dalam api neraka.” 
Maka wajib bagi orang yang didatangi oleh seorang yang berniat mengadu domba untuk melarang orang itu dari perbuatannya, membencinya dan jangan membenarkannya. Sebab orang yang suka mengadu domba adalah dihukumi sebagai seorang yang fasiq dan tertolak kesaksiannya, dan orang itu dibenci di dalam pandangan Allah SWT dan tidak boleh sama sekali meriwayatkan perkataannya sebab itu pun dianggap sebagai namiimah. 
Rasululloh SAW bersabda:
تَدْرُوْنَ مَنْ شَرُّ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هَؤُلاَءِ بِحَدِيْثٍ وَهَؤُلاَءِ بِحَدِيْثٍ 
Artinya; “Apakah kalian tahu siapa hamba Allah SWT yang paling jelek pada hari kiamat, dia adalah dzul wajhain (orang yang memiliki dua wajah) yang mana dia datang kepada satu kelompok dengan satu omongan dan datang ke kelompok lain dengan omongan yang berbeda.” Atau dalam riwayat lain:
هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ 
Artinya: “datang kepada satu keompok dengan satu wajah dan kepada kelompok lain dengan wajah lain.” Termasuk penyakit / bahaya hati yang membinasakan adalah dusta, sumpah palsu, persaksian palsu, dan janji palsu. Kesemuanya itu masuk dalam bohong atau dusta. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ ...... (النحل: 105) 
Artinya: “Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman…” (Q.S An-Nachl: 105) 
Allah SWT juga berfirman:
... لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِيْنَ (آل عمران: 61) 
Artinya: “…semoga laknat Allah tertimpa atas orang-orang yang berdusta.” (Q.S Aalu ‘Imroon: 61) 
Oleh karenanya, dusta dalam perkataan dan sumpah adalah dosa yang buruk dan aib yang keji sekali. Diriwayatkan dari Rasululloh SAW:
 إِنَّ الْكَذِبَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النِّفَاقِ 
Artinya: “Sesungguhnya dusta adalah salah satu pintu dari pintu-pintu penyakit munafik.” 
Diriwayatkan pula dari Rasululloh SAW:
 اَلْكَذِبُ يَنْقُصُ الرِّزْقَ 
Artinya: “Dusta dapat mengurangi rezqi.” 
Diriwayatkan pula dari Nabi SAW:
تَقْبَلُوْا لِيْ سِتًّا أَتَقَبَّلُ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ قَالُوْا وَمَا هِيَ؟ قَالَ: إِذَا حَدَثَ أَحَدُكُمْ فََلاَ يَكْذِبُ وَإِذَا وَعَدَ فَلاَ يَخْلُفْ وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلاَ يَخُنْ غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَكُفُّوْا أَيْدِيَكُمْ وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ 
Artinya: “Terimalah dariku 6 hal maka aku akan menjamin kalian dengan surga.” Para sahabat bertanya: “Apa itu?” Beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian berbicara maka janganlah berdusta. Jika berjanji maka jangan mengingkari, jika dipercaya maka jangan mengkhianati, jagalah pandangan mata kalian dan jagalah tangan kalian dan jagalah kemaluan kalian.” 
Rasululloh SAW bersabda:
 مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ بِإِثْمٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْباَنُ 
Artinya: “Barangsiapa yang bersumpah demi suatu dosa yang mana dengan sumpah itu dia mengambil harta seorang muslim tanpa hak, maka ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat sedang Allah amat murka kepadanya.” 
Rasululloh SAW juga bersabda:
كُلُّ خَصْلَةٍ يُطْبَعُ أَوْ يُطْوَى عَلَيْهَا الْمُؤْمِنُ إِلاَّ الْخِيَانَةُ وَالْكَذِبُ 
Artinya: “Setiap perangai / sifat dapat terpateri dan ada pada diri orang yang beriman, kecuali khianat dan dusta.” 
Diriwayatkan dari Ummu Kaltsum – semoga Allah meridhoinya – ia berkata:
مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرَخِّصُ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ: اَلرَّجُلُ يَقُوْلُ الْقَوْلَ يُرِيْدُ اْلإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُوْلُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا
Artinya: “Aku tidak perna mendengar dari Rasululloh SAW bahwa beliau memberi keringanan dalam berbohong kecuali dalam 3 hal: seseorang mengatakan sesuatu untuk tujuan mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, seseorang mengatakan sesuatu dalam peperangan, seorang laki-laki mengatakan sesuatu kepada isterinya atau seorang isteri kepada suaminya.”

penjelasan wasiat Al-Habib Abdulloh Alhaddad: tentang membersihkan hati dan diri dari noda dan aib serta menghindari tempat-tempat fitnah

Adapun perkataan penggubah nazhom ini – semoga Allah meridhoinya dan memberi kita manfaat dengannya - :
 وَنَقِّ جَيْبَكَ مِنْ كُلِّ الْعُيُوْبِ وَلاَ * تَدْخُلْ مَدَاخِلَ أَهْلِ الْفِسْقِ وَالرِّيَبِ 
Artinya: Dan bersihkanlah hatimu dari segala aib dan janganlah * kalian masuk ke tempat-tempat orang-orang fasik dan penuh keraguan. 
Yakni murnikanlah dan sucikanlah hatmu, dadamu, niatmu, dan segala sisimu dari segala hal yang dapat mengurangi derajatmu (di sisi Allah) dan melemahkan agamamu, dan dari segala hal yang menyebabkan kekurangan pada dirimu, baik itu berupa syahwat, kelalaian dan ibadah yang buruk. Keluarlah engkau dari jalannya orang-orang yang keluar dari jalan kebenaran, daripada olongan hali maksiat, perbuatan keji, dan buruk dan orang yang melekat pada hal-hal yang demikian, dan janganlah seklai-kali engkau masuk dalam urusan mereka. Yang dimaksud dengan pembersihan adalah mengeluarkan segala yang kotor, sedangkan yang dimaksud aib adalah segala kekurangan dalam hal agama dan akhlak. Sedangkan pokok pangkal dari semua itu adalah buruknya tujuan dan niat, yang mana tandanya adalah ridho terhadap hawa nafsu dan memperturutkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘masuk ke tempat-tempat orang fasik’ ialah menjalani jalan / tingkah laku mereka. Sedangkan yang dimaksud denggan ‘ keraguan’ adalah tuduhan yakni membawa sesuatu bukan kepada tujuan semestinya. Sungguh telah dikatakan kepada Amiirul Mukminiin Ali RA: “Siapakan orang yang paling selamat dari cela?” Ia berkata: “Orang yang menjadikan akalnya pemimpinnya, dan kekhawatiran adalah wakil pemimpinnya, dan nasehat sebagai kendalinya, dan kesabaran sebagai panglimanya, dan berpegang teguh dengan taqwa sebagai penolongnya, dan takut kepada Allah sebagai temannya, dan mengingat kematian dan bala bencana sebagai penghiburnya.” Syari’at sungguh telah melarang tentang tuduhan, maka wahjiblah ia menjaga diri dari pandangan mata yang berniat buruk, dan dari tuduhan orang-orang buruk. Sebab orang-orang yang buruk tidak mungkin berprasangka kecuali yang buruk juga. 
Sungguh Rasululloh SAW bersabda:
اتَّقُوْا مَوَاضِعَ التُّهَمِ 
Artinya: “Hati-hatilah terhadap tempat-tempat fitnah / tuduhan.” Sehingga Rasul SAW menjaga diri dari hal seperti itu, ketika lewat di depan beliau dua orang sahabat Anshor sedang beliau sedang berdampingan dengan seorang wanita yang tidak lain ialah Shoofiyyah binti Chuyayy, salah satu isteri beliau – semoga Allah meridhoinya – maka Rasulpun bersabda kepada mereka berdua: “Ini adalah isteriku Shofiyyah.” Lalu kedua orang itu berkata: “Bukankah kami hanya akan bersangka baik kepadamu.” Rasululloh SAW lalu bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْكُمَا 
Artinya: “Sesungguhnya setan mengalir di tubuh Bani Adam seperti mengalirnya darah, dan sesungguhnya aku khawatir dia akan masuk kepada tubuh kalian berdua.” 
Al-Imam Al-Ghozzali berkata: “Perhatikanlah bagaimana Rasululloh amat khawatir akan keselamatan agama kedua orrang itu dan bagaimana beliau amat saying kepada ummatnya. Sehingga beliau mengajarkan untuk menghindari temapt-tempat / kondisi yang menyebabkab fitnah / tuduhan sehingga orang yang dikenal sebagai seorang yang memegang ajaran agama / seorang salih tidak menganggap remeh segala situasi. Sehingga ia berani mengatakan: “Orang seperti aku tidak mungkin orang berprasangka buruk kepadaku.” Karena ia merasa bangga diri dengan kesalihannya. Sebab sesungguhnya seorang yang paling bertaqwa sekalipun tidak mungkin orang-orang memandangnya dengan satu pandangan (yakni pandangan baiksaja), tetapi sebagian orang memandangnya dengan pandangan yang baik sedang sebagian lagi memandangnya denga pandangan buruk. Adapun orang mukmin maka selalu mencari (yakni menerima) alasan (dari orang yang bersalah), sedangkan orang munafiq selalu mencari aib / cela (dari orang yang benar). Oleh karenanya jika engkau melihat seseorang yang berprasangka buruk dan selalu mencari aib / cela maka ketahuilah bahwa orang itu buruk batinnya.” Adapun pembersihan hati dari segala aib maka membutuhkan pengetahuan tentang kebenaran, dan pengertian yang mendalan tentang perbedaan antara kebenaran itu dengan kebatilan dalam segala keyakinan dan mengetahui perbuatan-perbuatan yang indah dan membedakan mana yang baik dan buruk dari keyakinan-keyakinan tersebut, dan juga mengetahui mana yang benar dan mana yang dusta. Kemudian dia meyakini kebenaran, lalu memeganginya dan melakukan yang baik-baik. Semua itu terkumpul dalam pengikutannya terhadap Nabi SAW dan memegang teguh sunnahnya dalam segala perkataan, perbuatan, dan akhlak, serta menolek hawa nafsu. Adapun memperinci satu persatu aib yang ada adalah sulit. Bakan aib yang di lisan saja hampir tak dapat dihitung. Sebab telah datang riwayat yang mengatakan:
 أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ 
Artinya: “Paling banyak dosa bani Adam adalah di lisannya.” 
Dan aib-aib hamba adalah banyak sekali.

Wasiat2 Alhabib Abdulloh Alhaddad: Membina Kedekatan Hubungan dengan Allah

Al-Habib Abdulloh bin Alwi Al-Haddaad berkata:
إِلْزَمْ فَرَائِضَهُ وَاتْرُكْ مَحَارِمَهُ * وَاقْطَعْ لَيَالِيْكَ وَاْلأَيَّامَ فِيْ القُرَبِ
Pegang teguhlah fardhu-fardhu, dan tinggalkanlah segala yang diharamkan-Nya * dan isilah malam-malammu dan hari-hari dengan kedekatan kepada Allah.
Yang dimaksud dengan fardhu-fardhu adalah segala yang diwajibkan oleh Allah Yang Maha Tinggi, sedangkan segala yang diharamkan-Nya yakni segala yang dilarang oleh Allah Yang Maha Tinggi. Adapun yang dimaksud dengan kedekatan kepada Allah adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh hamba untuk mecari kedekatan di sisi Allah Yang Maha Tinggi baik itu berupa amal-amal sunnah ataupun ketaatan-ketaatan yang semuanya itu mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya.
Kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya pertama kali dengan keimanan dan kepercayaannya kepada Tuhannya, dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Lalu kedekatan dengan cara menyempurnakan ketaatan tersebut dan bersifat betul-betul dan bersifat dengan sifat-sifat kehambaan.
Sedangkan kejauhan hamba dari Tuhannya adalah karena dosa yang dilakukan hamba tersebut serta ia menyalahi perintah-Nya serta jauh dari ketaatan kepada-Nya. Dan kejauhan yang pertama kali – kita mohon perlindungan dari kejauhan dari Allah – adalah jauhnya seorang hamba dari taufiq (pertolongan untuk taat). Adapun kedekatan Allah Yang Maha Benar adalah dengan ilmu (ke-Maha Tahu-an-Nya) dan kekuasaan-Nya, ini kedekatan yag bersifat umum untuk semua makhluk. Dan kedekatan dengan sifat kelembutan-Nya dan pertolongan-Nya adalah khusus untuk orang-orang yang beriman. Kemudian kedekatan dengan penghiburan yang khusus adalah khusus bagi para wali-Nya / kekasih-Nya. Dan barangsiapa yang menganggap / merasa bahwa dirinya dekat dengan Allah maka hakikatnya ia adalah orang yang terhalang dari kedekatan-Nya. Adapaun kedekatan Allah dengan Dzat-Nya maka Maha Suci Allah dari hal itu. Sebab Dia Yang Maha Tinggi lagi Maha Suci, sama sekali Maha Suci dari segala batasan, tempat, penghabisan / ujung dan ukuran . Adapun sifat kedekatan Allah Yang Maha Suci memiliki tiga makna:
- kedekatan yang mustahil yaitu kedekatan Dzat (seperti dekatnya kita dengan kawan kita ketika duduk bersama / berdekatan, dan ini adalah sifat makhluk, bukan sifat Khalik / Sang Pencipta)
- kedekatan wajib dalah sifat Allah Yang Maha Tinggi yaitu kedekatan ilmu-Nya dan ‘penglihatan’-Nya.
- Kedekatan yang boleh / mungkin yaitu kedekatan kelembutan-Nya yang dikhususkan kepada hamba-hamba tertentu yang Dia kehendaki.
Rasululloh SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Tuhan beliau SWT, Dia berfirman:
مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضَهُ عَلَيْهِ وَلاَيَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَ بِيْ َلأُعِيْذَنَّهُ.
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari mengerjakan apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Akulah yang menjadi pendengarannya yang mana ia mendengar dengannya, dan Akulah penglihatannya yang mana ia melihat dengannya, dan tangannya yang mana ia bertindak dengannya, dan kakinya yang mana ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pastilah Aku akan memberikannya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya.”
Al-Habib Abdulloh Al-Haddad berkata: “Ini adalah pakaian kewalian dan cinta dari Allah bahkan ini adalah pakaian kekhilafahan (pengganti / penerus Rasululloh). Seorang hamba dapat mencapainya dengan menunaikan segala yang difardhukan / diwajibkan oleh Allah dan memperbanyak amalan sunnah dengan niat memperoleh kedekatan dengan-Nya. Hendaklah bersegera untuk melaksanakannya / mencapainya jika engkau memang orang yang memiliki semangat untuk sampai kepada derajat orang-orang yang sempurna dan memiliki kesenangan untuk menggapai derajat orang-orang yang dikasihi Allah.”